Mata dunia kembali melihat Indonesia setelah Pegatron, pabrikan elektronik dan perakit ponsel pintar (smartphone) asal Taiwan, memutuskan untuk memilih Indonesia sebagai wilayah relokasi pabriknya yang semula berada di Cina.
Tentu kabar ini menjadi angin segar dan salah satu indikator iklim investasi di negara ini sudah semakin baik. Seperti dikutip dari Nikkei Asian Review, Kamis (6/12/2018), pabrikan itu bersiap mengalihkan produksi produk non-iPhone ke pabrik perakitan di Batam dalam enam bulan ke depan.
Rencana itu semakin terkonfirmasi setelah PT Sat Nusapersada Tbk (PTSN)—rekanan lokal di dalam negeri--juga sudah menyatakan bahwa perusahaan itu telah mendapat kontrak dari perusahaan asal Taiwan untuk merakit smartphone non-iPhone. Tenaga kerja yang dibutuhkan mencapai sekitar 10.000 orang.
Tentu akan muncul pertanyaan kenapa produk smartphone bukan iPhone? iPhone adalah produk asal AS sehingga terhindar dari pengenaan tarif tambahan, sedangkan produk bukan asal dari AS tentu terkena kebijakan tarif itu sebagai ekses perang dagang Cina dan AS.
Masalah kemudahan berbisnis di Indonesia yang semakin baik bisa jadi salah satu alasan Pegatron memilih relokasi pabriknya ke negara ini. Tak dipungkiri adanya faktor perang dagang Cina dan AS juga menjadi faktor lain terjadinya relokasi itu.
Itu tercermin dari laporan Bank Dunia bertajuk Doing Business 2019: Training for Reform pada bulan lalu yang menempatkan Indonesia menduduki peringkat ke 73 untuk katagori easy of doing business (EODB). Secara total nilai EODB Indonesia naik 1,42 poin menjadi 67,96. Kenaikan nilai itu, menurut Bank Dunia, termasuk di atas rata-rata global.
Berkaitan dengan minat Pegatron, sesungguhnya perusahaan perakit asal Taiwan itu sempat ragu untuk melakukan investasi ke Indonesia. Itulah sebabnya perusahaan itu sempat mempertimbangkan Vietnam sebagai tujuan investasinya, meski akhirnya Indonesia yang terpilih.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan membenarkan adanya keraguan Pegatron tersebut. “Mereka sempat ragu berinvestasi ke Indonesia lantaran masalah perizinan. Namun, saya meyakinkan mereka bahwa urusan izin demi izin akan diselesaikan,” katanya.
Negara ini patut bersyukur dengan adanya rencana Pegatron untuk merakit produk smartphone di pabrik milik Sat Nusapersada. Perusahaan yang sudah listing di bursa itu juga menjadi tempat perakitan ponsel Xiaomi.
Sebelum Pegatron masuk, vendor-vendor ponsel kelas dunia sudah berlomba-lomba masuk menanamkan investasinya di Indonesia seiring dengan adanya kewajiban penggunaan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) terutama ponsel jenis 4G dengan porsi mencapai 30% bila mereka mau menjual ponselnya secara legal di Indonesia.
Ini sesuai dengan regulasi TKDN untuk ponsel 4G tahun 2017, yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 65 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri Telepon Seluler, Komputer Genggam (Handheld), dan Komputer Tablet.
Apple—produsen ponsel iPhone—salah satu yang memanfaatkan skema TKDN ini. Vendor asal AS itu berkomitmen membangun pusat penelitian dan pengembangan (R&D) berupa innovation center/software industry di Banten dengan nilai US$44 juta atau setara dengan sekitar Rp586 miliar.
Adanya komitmen itu akhirnya yang meloloskan mereka untuk bisa meraih sertifikat TKDN ponsel 4G untuk iPhone 7 dan iPhone 7 Plus, dan inilah yang membuat Apple dapat melenggang untuk menjual kedua produk tersebut di pasar Indonesia. Tentu harapan kita dengan adanya pabrik perakitan Pegatron dan R&D akan mendorong mereka membuat ponsel Apple di Indonesia.
Bagaimana dengan Samsung? Sebagai pemain lama di industri elektronik nasional, Samsung sesungguhnya sudah membangun pabrik ponsel pertama di Indonesia pada Januari 2015. Pabrik tersebut berlokasi di kawasan Jababeka, Cikarang, Bekasi.
Pabrik Samsung yang dibangun di atas lahan seluas 6.000 m2 itu mampu memproduksi sekitar satu juta sampai 1,5 juta unit per bulan yang terdiri dari smartphone, feature phone, dan komputer tablet yang sebagian besar komponennya masih didatangkan dari luar. Begitu juga beberapa merek lainnya seperti Huawei dan Advanve yang sudah digarap di dalam negeri.
Defisit perdagangan
Sejumlah langkah pemerintah dengan mengeluarkan sejumlah regulasi yang mendorong tumbuhnya investasi patut diapresiasi dan didukung di tengah-ditengah adanya tren defisit neraca perdagangan yang semakin melebar.
Menurut laporan Badan Pusat Statistik, nilai impor Indonesia melonjak tajam mencapai USD17,62 miliar selama Agustus, atau naik 20,6% dibandingkan dengan September 2018. Hal ini mendorong melebarnya defisit neraca perdagangan tahun berjalan 2018 (Januari-Oktober) mencapai USD5,51 miliar.
Begitu juga kinerja ekspor impor selama Oktober 2018. Masih berdasarkan data BPS, nilai ekspor Indonesia tercatat mencapai USD15,8 miliar. Angka tersebut sebenarnya naik 5,87% jika dibandingkan September 2018, atau naik 3,59% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Meskipun demikian, pertumbuhan impor Oktober 2018 jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekspor. Hal itu menyebabkan neraca perdagangan Oktober 2018 kembali mengalami defisit USD1,82 miliar.
Jika dilihat per sektor, defisit neraca perdagangan Oktober 2018 tersebut tidak hanya terjadi di sektor migas USD0,39 miliar. Tapi, terjadi juga di sektor nonmigas sebesar USD1,43 miliar. Tren defisit diperkirakan terus berlangsung hingga penutup tahun ini.
Wajar bila pemerintah sangat serius mencari solusi berkaitan dengan kinerja neraca perdagangan yang tidak menguntungkan di tengah-tengah lesu dan tidak menentunya ekonomi global akibat faktor perang dagang AS dan China.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sebagai penanggung jawab di sektor industri terus mendorong mengurangi ketergantungan impor (bahan baku, barang penolong, barang antara), perluasan, dan pendalaman industri dalam kerangka membangun ‘industrial linkage’ hulu ke hilir, menguatkan struktur industri nasional, meningkatkan kapasitas produksi dan ekspor serta daya saing nasional melalui inovasi dan pemanfaat teknologi.
Kali ini intrumen yang digunakan adalah mendorong pengoptimalan TKDN terhadap proyek strategis yang didanai oleh negara dan pada produksi manufaktur. Alasan yang melatarbelakangi tekad itu adalah memacu produktivitas dan daya saing industri nasional di tengah kondisi perdagangan dunia yang cenderung tertutup.
“Melalui kebijakan local content sangat jelas untuk meningkatkan kemampuan industri dalam negeri,” ujar Airlangga.
Khusus berkaitan dengan kebijakan implementasi TKDN, di antaranya, Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri, Keputusan Presiden No 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri.
Begitu juga dengan Peraturan Menteri Perindustrian No 29 Tahun 2017 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer Tablet.
“Semua regulasinya akan diharmonisasi, kami menargetkan kebijakannya akan meluncur pada Januari tahun depan," tuturnya dalam keterangan pers, Kamis (29/11/2018).
Kementerian Perindustrian berencana memperluas pengenaan TKDN, seperti industri alat kesehatan meski saat ini rata-rata nilai TKDN produk alat kesehatan nasional sudah mencapai 60%. Begitu juga dengan industri alat mesin pertanian, ketenagalistrikan, industri hulu migas, perbaikan kualitas infrastruktur jalan dan lainnya.
Yang jelas, dalam konteks makroekonomi, kebijakan TKDN sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk impor. Sedangkan bagi industri sendiri, kebijakan TKDN itu juga bagian dalam rangka menguatkan, memperluas, dan memperdalam struktur industri nasional. Siapkah pelaku ekonomi nasional mendukungnya? (F-1)