Indonesia.go.id - Langkah Trans-Papua Pantang Berhenti

Langkah Trans-Papua Pantang Berhenti

  • Administrator
  • Selasa, 11 Desember 2018 | 09:35 WIB
  Pasukan TNI bergerak ke Nduga, Papua. Sumber foto: Antara Foto

Aksi kekerasan yang tergolong sangat keji kembali dilakukan oleh kelompok bersenjata di Papua. Menghadapi itu, langkah sangat tegas pun dipilih TNI dan Polri.

Secara politik tindakan keji di Nduga itu diniatkan untuk merusak hubungan mesra antara Papua dan Jakarta. Trans-Papua hanya tertunda tapi tidak terhenti.

Egianus Kayoga kini menjadi sosok yang paling dicari di Papua. Pentolan kelompok bersenjata ini dianggap bertanggung jawab dalam tindak kejahatan pembunuhan atas setidaknya 19  pekerja PT Istaka Karya, yang sedang  menggarap sebuah jembatan pada jalur Trans-Papua di segmen-5,  antara Wamena-Mamugu, Kabupaten Nduga di wilayah jantung Papua. Para korban dieksekusi Ahad 2 Desember lalu.

Usai mengeksekusi korban di siang hari, malam harinya kawanan Egianus Kagoya ini menyerbu pos TNI di Distrik Yall, Nduga, yang dijaga oleh satu tim prajurit dari Batalyon Infanteri 755 Yalet Kostrad, Merauke. Sersan Dua Handoko gugur terkena tembakan, satu prajurit lain dan seorang warga sipil luka karena sambaran peluru.

Kelompok Egianus Kagoya ini berkekuatan 50 orang dengan 20 pucuk senapan campuran. Tapi, setiap kali melakukan serangan, mereka tidak segan memaksa penduduk sekitar untuk membantu aksi kekerasan mereka.

Pembunuhan keji itu hanya satu dari sederet kejahatan atas nama Egianus Kagoya. Pada 22 Juni lalu, kelompok Egi Kagoya ini menembaki Pesawat Twin Otter yang baru mendarat di Bandara Kenyam, Ndunga. Rentetan tembakan itu tidak secara langsung mengenai korban. Namun, serpihan logam akibat proyektil yang membentur kabin telah melukai Kopilot Irena Nurafdila.

Tiga hari kemudian, gerombolan Egi Kagoya itu kembali menyerbu Bandara Kenyam. Twin Otter yang sedang meluncur pelan menuju tempat parkir itu dihujani peluru. Pilot Abdillah Kamil terluka pada bagian punggungnya. Namun, 15 penumpangnya yang semuanya anggota pasokan Brimob Polri selamat. Keluar dari pesawat, pasukan Brimob itu segera melakukan pengejaran bersama petugas bandara.

Sambil bergerak mundur, kelompok bersenjata ini menyandera tiga orang warga dari Kompleks DPRD Ndunga. Kesudahannya mereka menembak mati ketiga sandera yang salah satunya adalah bocah di bawah umur. Tak berhenti di situ, gerombolan Egi Kogoya itu kembali melakukan teror. Mereka menyandera belasan guru dan tenaga medis di Mapenduma, Kabupaten Nduga. Sandera kemudian dibebaskan, tapi seorang guru telanjur menjadi korban kekerasan seksual.

Serangan brutal itu membuat pelaksanaan pembangunan 35 jembatan di segmen-5  Wamena-Mamugu dihentikan sementara waktu. Sebelumnya, ada dua kontraktor yang mengerjakan proyek ke-35 unit jembatan yang bernilai Rp431 miliar itu, yakni PT Istaka Karya dan PT Brantas Adipraya. Saat insiden terjadi, Brantas Adipraya sedang menghentikan pekerjaan karena meningkatnya gangguan keamanan.

Kelompok Egianus Kogoya ini hanya satu dari sejumlah gerombolan bersenjata yang berada di bawah komando Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat, sayap militer di bawah Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM mengklaim memiliki 2.500 orang milisi, tersebar di 29 komando daerah operasi. Salah satunya adalah kelompok Egianus Kagoya.

Meski untuk sementara pembangunan jalan di daerah rawan itu dihentikan, tak berarti Proyek-Trans Papua sepanjang 4.600 km itu akan dibiarkan mangkrak. Presiden Joko Widodo  bertekad untuk melanjutkan proyek yang sangat penting untuk kemajuan masyarakat Papua tersebut. ‘’Meski pun ada gangguan, kita akan terus lanjutkan pembangunan Trans-Papua. Gangguan ini justru membuat tekad kita malah makin membara,’’ ujar Presiden.

Dalam waktu dekat, gangguan keamanan tersebut akan segera dikendalikan. Jajaran Polri yang diperkuat oleh satuan-satuan TNI kini telah diterjunkan. Selain mengevakuasi korban dan  mengamankan kawasan Nduga, utamanya sekitar distrik Yall, pasukan gabungan itu diperintahkan untuk mengejar dan menangkap kawasan Egianus Kogoya, hidup atau mati.

Kelompok bersenjata di Papua ini memang terus saja menebar teror. Yang sering jadi sasaran sejak puluhan tahun lalu ialah kawasan sekitar Tembagapura, tempat industri pertambangan Freeport beroperasi. Mulai dari penyerangan bersenjata atas bus karyawan atau kendaraan operasional, hingga aksi penyekapan, penganiayaan, perkosaan, dan pembunuhan terhadap warga sipil.

Ada saja dalih mereka melakukan aksi kekerasan. Pembantaian terhadap pekerja PT Ista Karya itu misalnya, diikuti berbagai dalih. Mulai dari tuduhan para korban adalah anggota TNI yang menyamar, korban memotret upacara pengibaran bendera Bintang Kejora pada upacara 1 Desember (yang diklaim sebagai hari proklamasi kemerdekaan Papua), hingga soal proyek konstruksi yang tidak mempekerjakan warga setempat.

Faktanya, tidak satu pun pekerja Istaka Karya yang jadi korban itu anggota TNI. Soal memotret, kalau pun tuduhan itu benar, mestinya bukan masalah. Justru, gerombolan ini yang suka berfoto-foto dan menyebarkannya ke media. Tentang pekerjaan, tidak ada diskriminasi sejauh warga bersedia kerja seperti lazimnya, dan dalih itu baru digulirkan belakangan setelah Trans-Papua berjalan 20 tahun.

Yang sering terjadi, tindak kekerasan itu bermotif politik dan ekonomi. Kelompok Gusby Waker pun dengan enteng mengisolasi Kampung Banti dan Kimbely, tidak jauh dari Pertambangan Freeport di Tembagapura, Timika, November 2017. Gerombolan bersenjata itu menyandera 1.300 warga kedua kampung, yang 300 di antaranya perantau asal Sulawesi dan Jawa, dan mengancam akan membantai mereka bila petugas keamanan membuka isolasi tersebut.

Aksi dramatis itu mengundang perhatian pers dan netizen, dari dalam dan luar negeri. Lantas, Gusby Waker menyampaikan tuntutanya, yakni meminta pelarangan pendulangan emas dari limbah tailing Freeport dicabut. Bukan rahasia lagi, para pendulang di situ harus membayar biaya lapak ke kelompok bersenjata itu. Aksi ini dipatahkan oleh satuan TNI, namun Gusby sudah mendapat publikasi luas.  Tak ada korban jiwa, tapi seorang perempuan perantau mengalami penganiayaan seksual.

Sumber ekonomi jelas diperlukan oleh kelompok-kelompok bersenjata ini. Bukan rahasia lagi bila mereka sering memeras kegiatan-kegiatan ekonomi di pedalaman. Selain untuk biaya hidup, uang diperlukan untuk membeli senjata, amunisi, seragam, dan aksesori militer lainnya. Senjata bisa mereka beli dari Filipina Selatan dan Papua Nugini. Ironisnya, ada pula anggota Polri/TNI yang menjual amunisi kepada mereka.

Rangkaian kekerasan itu juga dilakukan sebagai provokasi. Tujuannya,  memancing reaksi balik dari Pemerintah Pusat yang berupa operasi militer masif. Pada saat itulah mereka akan membenturkan massa rakyat dengan TNI/Polri agar jatuh korban sipil. Dengan demikian mereka memetik keuntungan ganda, yaitu diakui sebagai kelompok separatis bersenjata sekaligus mendapat simpati dunia internasional. Namun, pemerintah paham betul akan modus semacam itu, dan bertindak hati-hati.

Alih-alih melakukan tindakan represif, Presiden Joko Widodo  justru berjuang memenangkan hati warga Papua dengan pembangunan konkret. Infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan, puskesmas, sekolah, dan pasar, dibangun. Harga-harga bergerak ke arah angka normal, termasuk BBM.

Secara pribadi, Presiden  Jokowi menunjukkan perhatiannya yang besar kepada Papua. Selama empat  tahun menjabat, sembilan kali ia blusukan  ke Bumi Cendrawasih. Presiden Joko Widodo punya kedekatan khusus dengan warga Papua.  Jelas, Egianus Kogoya, Gusby Waker, dan kawanannya merasa terancam akan tersisih. Belum lagi jalan-jalan yang masuk ke pedalaman itu akan membuat ruang gerak mereka semakin sempit.

Kelompok bersenjata ini tampaknya secara sengaja mencoba merusak hubungan mesra Presiden Jokowi dengan warga Papua. Tindakan ekstrim pun dilakukan. Terjadilah aksi penyerangan ke Bandara Kenyam yang berlanjut dengan pembantaiaan keji di Nduga itu.

Kali ini, TNI/Polri tidak akan memberi tolerasi. Aksi brutal itu harus dibayar dengan penegakan hukum yang setimpal. Hanya dengan jalan itulah pembangunan di pedalaman bisa dilanjutkan. (P-1)