Indonesia.go.id - Pemberantasan Serius, Libatkan Peran Serta Publik

Pemberantasan Serius, Libatkan Peran Serta Publik

  • Administrator
  • Rabu, 12 Desember 2018 | 09:38 WIB
HARI KORUPSI
  Poster anti korupsi pada Hari Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia di Solo, Jawa Tengah. Sumber foto: Antara Foto

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia meningkat cukup pesat. Pemberantasan korupsi telah berjalan di relnya, Pemerintah bahkan serius memburu harta koruptor hingga ke luar negeri.

Sepertinya perjuangan Indonesia memberantas korupsi bisa dibilang tidak sia-sia. Meski korupsi belum sama sekali hilang, tapi intensitasnya agak menurun. Setelah dibentuk KPK, para pelaku korupsi semakin takut bermain-main dengan uang rakyat.

Pada 1998, ketika reformasi baru bergulir, indeks Persepsi Korupsi di Indonesia termasuk paling rendah di ASEAN. Posisi kita jauh dibandingkan Malaysia, Brunei, Thailand, bahkan Vietnam.

Saat itu IPK Indonesia berada di level 20. Bandingkan dengan Filipina pada angka 33, Thailand 30, dan Malaysia mencapai skor 53. Artinya jika kita bicara korupsi pada 1998, posisi Indonesia tergolong parah. Kita menempati posisi teratas untuk negara paling korup se-Asean.

Tapi, reformasi bukan jalan di tempat. Sejak 1998 Indonesia terus memperbaiki dirinya dalam menangani korupsi. Semangat ini dimulai sejak konsensus bangsa menyadari kerusakan parah akibat perilaku korupsi.

Kerja keras itu membuahkan hasil. Pada 2018, indeks persepsi korupsi di Indonesia naik 17 poin. Angkanya menjadi 37, bisa dibilang sebagai sebuah lonjakan yang cukup luar biasa. Meskipun masih jauh dari harapan ideal.

Sementara itu, negara-negara tetangga sebagian mengalami penurunan prestasi. Artinya perilaku korupsi di negara tersebut meningkat. Malaysia yang pada 1998 IPK-nya mencapai 53 kini melorot menjadi 47. Filipina  bahkan dari 36 turun menjadi 30.

Dari segi peningkatan IPK yang mencapai 17 poin, sepertinya perlu diapresiasi tersendiri. Cina meskipun telah menetapkan hukuman mati pada koruptor hanya naik 6 poin saja. Vietnam hanya naik 10 poin, Argentina 9 poin, dan Nigeria 8 poin. Kesemuanya adalah golongan negara dengan jumlah penduduk besar.

Dengan peningkatan 17 poin, menurut ketua KPK Agus Raharjo, pertumbuhan Indonesia merupakan paling tinggi di dunia. Bisa dibaca, sejak 1998 sampai 2018, prosentase penurunan korupsi dalam persepsi publik di Indonesia jauh dibanding negara lain di dunia.

Pada 2013 Indonesia berada pada posisi 114 dari 170 negara yang disurvei Transparansi Internasional dalam soal korupsi. Angka ini terus meningkat menjadi posisi ke-107 dari175 negara pada 2014, dan naik lagi menjadi posisi 88 dari 168 negara pada posisi 2015. Secara simultan posisi Indonesia terus mengalami perbaikan.

Potret tersebut menggambarkan, hasil pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami hasil yang paling tinggi. Meskipun tingkat korupsinya bisa dibilang juga masih tinggi.

Kita bisa membaca ada semangat baru yang dibawa bangsa ini untuk menghindari diri dari korupsi. Keberanian masyarakat untuk mengadukan perkara korupsi juga semakin meningkat. Ini bisa dilihat dari jumlah penindakan korupsi yang semakin tinggi.

Tingginya tingkat penindakan korupsi jangan dibaca sebagai tanda meningkatnya korupsi. Iya kasus korupsi yang ditangani lembaga seperti KPK meningkat, tetapi justru tingginya angka penindakan sebagai indikasi Indonesia serius memberantas perilaku korupsi. Dan mulai terbuka kesadaran publik untuk bersama-sama memperbaiki bangsa ini dari perilaku curang.

Jika kita papar data, penanganan kasus korupsi meningkat dari tahun ke tahun. Contohnya pada 2005 dari 29 kasus yang disidik hanya 19 kasus yang naik ke level penyelidikan, dan 17 kasus yang diputuskan.

Sementara pada 2016, misalnya,dari 96 kasus yang disidik, justru 99 berhasil naik ke penyelidikan, 76 sudah sampai tahap penuntutan, 71 punya kekuatan hukum tetap. Sebagian lainnya masih proses persidangan.

Tren terus meningkatnya kasus korupsi yang ditangani KPK berbanding lurus dengan tren makin tingginya indeks Persepsi Korupsi di Indonesia. Hal ini menandakan bahwa dalam proses pemberantasan korupsi Indonesia sudah berjalan di rel yang benar.

Memang soal korupsi bukan hanya menjadi persoalan hukum. Korupsi juga merupakan persoalan budaya dalam masyarakat. Rendahnya tingkat pengawasan publik dan ketidakpedulian masyarakat menjadi salah satu indikasi masyarakat rajin korupsi. Semakin ketat pengawasan dan semakin tegasnya penindakan akan memberikan hasil maksimal dalam pemberantasan korupsi.

Pemerintahan Jokowi juga terlihat bersungguh-sungguh dalam menutup celah dan peluang terjadinya korupsi. Khususnya pada sektor pelayanan publik. Pelayanan publik mulai menggunakan sistem elektronik, dimana interaksi langsung antara pejabat dan masyarakat semakin sedikit.

Kini kita diperkenalkan dengan e-tilang, e-samsat, termasuk penggunaan mekanisme e-procurement, e-budgeting dan e-planing. Sistem pengaduan masyarakat seperti Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Sabet Pungki) juga disambut antusias oleh masyarakat. Sampai saat ini, menurut Presiden Jokowi, jumlah aduannya sudah mencapai 36 ribu.

Presiden sendiri telah mengeluarkan Perpres No.34/2018 tentang Strategi Nasional Pemberantasan Korupsi. Aturan tersebut merupakan upaya pemerintah membangun sistem penjagaan yang lebih komprehensif. Aturan lainnya terkait upaya pencegahan korupsi ialah PP No. 43/2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Langkah pemerintah yang membuat koruptor ketar-ketir adalah ditandatanganinya Mutual Legal Assistence (MLA) antara pemerintah Indonesia dan Swiss. Dokumen ini sebagai kesepakatan pemerintah Swiss akan membantu pemerintah Indonesia untuk mengejar dana hasil korupsi yang disimpan di bank-bank disana. (E-1)