Indonesia.go.id - Investor Global Semakin Melirik Indonesia

Investor Global Semakin Melirik Indonesia

  • Administrator
  • Senin, 17 Desember 2018 | 02:18 WIB
LAYANAN TEKNOLOGI FINANSIAL
  Ilustrasi

Teknologi finansial menjadi alternatif sumber pembiayaan dan memudahkan masyarakat mendapatkan pendanaan.

Layanan keuangan berbasis teknologi, atau saat ini popular dengan sebutan teknologi finansial (tekfin) makin berkembang dan makin diminati masyarakat. Indikasinya, layanan keuangan itu kian marak dalam dua tahun ini.

Dengan adanya tekfin, akses masyarakat untuk memperoleh pendanaan juga semakin mudah dan telah menjadi alternatif sumber pembiayaan. Dahulu, bila masyarakat membutuhkan dana hanya mengandalkan layanan keuangan konvensional seperti dari bank.

Oleh karena itu, wajar di mata investor global Indonesia dinilai sebagai pasar yang menjanjikan dan sangat potensial di industri tekfin. Besarnya potensi, karena negara ini didukung populasi penduduk nomor empat dunia, selain pengguna ponsel yang cukup besar.

Berdasarkan data CEIC Data Co.ltd, McKensey and Co & Statica, pengguna ponsel saja mencapai 371,4 juta unit. Artinya, pengguna peranti itu sudah melebihi jumlah populasi negaranya, sementara pengguna mobile Internet juga sebesar 76 juta.

Bisa jadi melihat potensi itu, investor skala global berlomba-lomba masuk ke Indonesia. Dalam tahun ini saja, industri tekfin dikejutkan dengan masuknya Ant Financial (Alipay)—perusahaan yang bergerak di platform pembayaran berbasis online dari Grup Alibaba milik Jack Ma—ke negara ini.

Mereka menggandeng grup koorporasi Elang Mahkota Teknologi (EMTK) meluncurkan dompet digital bernama Dompet Digital Indonesia (Dana). EMTK merupakan kerajaan bisnis yang didirikan Eddy Kusnadi Sariaatmadja. Divisi yang paling terkenal dari EMTK adalah media melalui SCTV dan Indosiar.

Begitu juga dengan Tokopedia—perusahaan layanan e-commerce--yang mendapatkan tambahan modal senilai US$1 miliar, atau setara dengan Rp14,6 triliun dari Softbank, perusahaan asal Jepang bulan lalu. Tokopedia yang ditaksir memiliki valuasi US$7 miliar atau setara Rp102,2 triliun juga mulai masuk ke layanan pembayaran dari semula layanan e-commerce.

Hal yang sama  juga dinikmati oleh Gojek.  Sepanjang tahun ini saja, Gojek sudah memperoleh suntikan dana segar dari beberapa investor luar senilai US$3 miliar. Beberapa investor yang sudah menyuntikkan investasinya, antara lain, Tencent Holdings, Temasek Holdings, dan Warburg Pincus.

Di awal 2018, dunia ekonomi digital dikejutkan aksi perusahaan induk Google Alphabet sudah menyuntikkan dana senilai US$1,2 miliar, atau setara dengan Rp17,4 triliun. Gojek, yang semula sebuah layanan transportasi online atau ride sharing, kini layanannya menjadi multiplatform, termasuk masuk layanan keuangan dengan nama Gopay.

Kini, industri tekfin di Indonesia telah tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Bayangkan, menurut data data Asosiasi Fin Tech Indonesia (Aftech), terdapat sebanyak 235 perusahaan yang bergerak di tekfin.

Tekfin Pembayaran

Dari total 235 perusahaan tekfin yang terdata oleh Aftech, sebanyak 39% berupa layanan tekfin pembayaran. Tekfin pembayaran seperti e-money, e-wallet, pembayaran melalui kode QR (quick response), hingga sistem mutase dan pelaporan yang real time.

Selain tekfin pembayaran, tekfin pinjam meminjam (peer to peer lending) juga semakin banyak diminati. Menurut data Aftech, pelaku layanan ini kini mencapai 32% dari total pelaku di industri fintech.

Tak dipungkiri inovatif adalah kata kunci. Bagi perusahan yang tidak inovatif, ibaratnya tinggal menunggu kematian. Kemajuan teknologi dan perubahan perilaku pelanggan, sudah pasti menuntun perusahaan untuk terus melakukan perubahan.

Sinyal positif lain ditunjukkan melalui respons masyarakat dalam menerima layanan tekfin yang semakin komprehensif, terutama warga urban yang semakin lekat dengan layanan perbankan digital.

Fakta-fakta tersebut mempertegas potensi pasar Indonesia bagi para pelaku usaha industri tekfin untuk mengembangkan bisnis mereka. Pemerintah, melalui otoritas moneter dan jasa keuangan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun secara positif mendukung layanan keuangan digital, antara lain, melalui Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) sebagai upaya pembentukan cashless society.

Gairah masyarakat yang positif, berupa animo yang besar karena terkesan dengan layanan tekfin yang cepat, mudah, praktis dan aman ini, memang tidak dapat menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan bagi terobosan tekfin.

Namun yang jelas, layanan tekfin telah menjadi satu dari sekian banyak bentuk revolusi digital yang terjadi di dunia. Fenomena ini terjadi di Indonesia sejalan dengan kesiapan pasar dalam mengadopsi layanan ini dengan tumbuhnya sejumlah layanan dan variannya.

Memang tak dipungkiri, layanan tekfin tetap ada kekurangannya. Misalnya, banyaknya pengaduan berkaitan dengan layanan tekfin peer-to-peer (P2P) lending mengenai pengenaan bunga pinjaman yang terlalu tinggi kepada nasabahnya. Aduan yang sampai mencapai 1.330 kasus.

Dalam konteks ini, OJK dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sebenarnya telah sepakat mengenakan bunga hanya sebesar 0,8% per hari, yang terdiri dari bunga, biaya transfer antar bank, biaya verifikasi, denda, dan lainnya.  

Terlepas masih ada persoalan di industri tekfin, yang tentunya perlu terus dilakukan perbaikan dari seluruh pemangku kepentingan termasuk OJK sebagai pengawas, keberanian pemerintah untuk mengembangkan dan memberikan peluang tumbuhnya industri tekfin patut diapresiasi.

Apalagi, pemerintah juga menyakini, industri tekfin akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi ekonomi bangsa ini. Bahkan, hingga 2025, ekonomi Indonesia akan terdongkrak sebesar 10% melalui aktivitas ekonomi berbasis digital.

Tidak itu saja, melalui pendekatan teknologi digital juga berpotensi terjadi peluang terbukanya lapangan pekerjaan baru sebanyak 3,7 juta orang, termasuk dari skema job matching dan permintaan tenaga kerja melalui platform berbasis online pada tahun yang sama. (F-1)