Sebagai bagian dari visi Nawacita, Presiden Joko Widodo mengusung Program 1 Juta Rumah. Tentu tujuan itu sangat mulia. Meskipun banyak kendala yang menghadang, seperti terus melambungnya harga tanah dan fasilitas pembiayaan yang belum tersosialisasi dengan baik, program itu diperkirakan bisa tercapai.
Tak dipungkiri, rumah sudah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sayangnya, kebutuhan ini kerap kali terabaikan karena harganya yang selangit. Tingkat kenaikan gaji sudah tidak mampu menandingi kenaikan harga rumah.
Di kota-kota besar, harga rumah tumbuh lebih tinggi dari tingkat inflasi. Real Estate Indonesia (REI) mencatat, kenaikan harga rumah di kota besar sudah mencapai 10%--30%. Angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan inflasi Indonesia yang rata-rata mencapai di bawah 5% dalam lima tahun terakhir.
Harga itu semakin tidak masuk akal manakala berbicara harga rumah di DKI Jakarta. Di Ibu Kota Negara, harga tanah sudah di kisaran di atas puluhan juta rupiah per meter. Tak heran, tingkat warga yang menyewa atau mengontrak rumah di Jakarta lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Namun, pengadaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) telah menjadi janji sesuai dengan misi yang tertuang dalam Nawacita Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dalam konteks pengadaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, sebenarnya setiap periode pemerintahan selalu menjadi bagian dari yang dijanjikan. Demikian pula dengan Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang mencanangkan Program Satu Juta Rumah pada 29 April 2015.
Program ini adalah gerakan bersama seluruh pemangku kepentingan bidang perumahan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengembang perumahan, perbankan, perusahaan swasta, dan masyarakat. Mereka memiliki kepentingan yang sama untuk mengatasi masalah backlog perumahan di Indonesia.
Backlog Rumah
Backlog rumah adalah salah satu indikator yang digunakan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) terkait bidang perumahan. Tujuannya untuk mengukur kebutuhan rumah.
Peraturan Presiden 2/2015 tentang RPJM tahun 2015--2019 menetapkan baseline backlog (kepenghunian) rumah di Indonesia pada 2014 sebesar 7,6 juta. Konsep menghuni dalam perhitungan backlog itu memrepsentasikan setiap keluarga tidak diwajibkan untuk memiliki rumah, tetapi pemerintah menfasilitasi dan mendorong setiap keluarga, terutama yang tergolong MBR, agar bisa menghuni rumah yang layak.
Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan backlog perumahan berdasarkan konsep penghunian ditargetkan turun menjadi 6,8 juta unit pada 2019.
Untuk meningkatkan jumlah pasokan rumah layak huni, terutama yang terjangkau MBR, ada banyak tantangan yang dihadapi. Antara lain, tingkat keterjangkauan MBR yang masih rendah, baik membeli rumah dari pengembang, membangun secara swadaya, maupun meningkatkan kualitas rumah yang tidak layak huni.
Masalah ketersediaan dana juga salah satu kendala pengadaan pasokan rumah. Pola atau skema pembiayaan perumahan bagi MBR juga terbatas. Di sisi lain, akses MBR ke sumber pembiayaan perumahan terutama dari lembaga keuangan untuk mendapatkan kredit kepemilikan rumah (KPR) masih terbatas.
Tidak itu saja, sumber pembiayaan perumahan masih bersifat jangka pendek sehingga tidak dapat berkelanjutan untuk KPR yang bersifat jangka panjang. Artinya dalam kaitan dengan MBR, sebenarnya permintaannya banyak, namun akses sulit.
Pemerintahpun kembali merilis program pembiayaan perumahan. Program itu adalah KPR Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga kredit perumahan (SSB), subsidi bantuan uang muka (SBUM) dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT).
Selain kendala masalah pembiayaan, program MBR juga terkendala masalah lahan terutama di kota metropolitan. Oleh karena itu, Kementerian PUPR juga mendorong terbentuknya land banking system. Kini, konsepnya yang sedang dikaji oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR).
Tidak itu saja, regulasi masalah pengadaan rumahpun sedang ditata kembali. Pemerintah kini tengah membahas perubahan regulasi mengenai hunian berimbang antara rumah menengah atas dan MBR yang harus dibangun pengembang untuk dapat mempercepat program satu juta rumah.
Kerja sama semua pemangku kepentingan, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengembang, sektor perbankan, mutlak diperlukan untuk mengejar pasokan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tersebut.
Apalagi, pemerintah kini telah memberikan kesanggupan mengalokasikan 20% dari APBN untuk pembiayaan rumah bagi MBR itu. Dari dana ABPN, pemerintah juga siap membantu 30% berupa subsidi. Dan sisanya sebanyak 50%, diharapkan dari swasta dan pengembang yang ikut mendanai pembangunannya.
Terlepas dari semua itu, tekad pemerintah untuk pengadaan satu juta rumah setiap tahun menunjukkan tren yang terus meningkat. Dan, kita patut mengapreasiasi kerja keras tersebut.
Sebagai gambaran, menurut data Kementerian PUPR, capaian program Satu Juta Rumah sudah mencapai 1.076.856 unit. Angka ini terdiri dari rumah untuk katagori MBR 729.876 unit dan non MBR sebanyak 346.980 unit hingga 3 Desember 2018.
Dari sisi tren, pencapaian pasokan rumah bagi segmen MBR dari tahun ke tahun terus meningkat sejak dicanangkan pada 2015. Pada 2015, realisasi program mencapai 699.770 unit, 805.169 unit (2016) dan 904.758 unit (2017).
Prestasi Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla melalui Program Satu Juta Rumah sudah terlihat membuahkan hasil dan kinerja itu patut diapreasiasi. Namun, patut diingat, program ini bukan hanya milik pemerintah.
Program satu juta rumah ini adalah program bersama seluruh pemangku kepentingan di sektor itu untuk menciptakan hunian yang layak bagi masyarakat. Artinya, dibutuhkan komitmen yang kuat, dan bersama-sama untuk mewujudkan tekad tersebut. (F-1).