Indonesia.go.id - Antara Tahun Politik dan Ketidakpastian Global

Antara Tahun Politik dan Ketidakpastian Global

  • Administrator
  • Rabu, 2 Januari 2019 | 08:13 WIB
PEREKONOMIAN INDONESIA
  Darmin Nasution, Menko Perekonomian. Sumber foto: Dok Kemenko Perekonomian

Pemerintah optimistis mematok angka pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Kemampuan mengantisipasi ketidakpastian kondisi global di saat memasuki tahun politik memang menjadi salah satu penentu kondisi ekonomi Indonesia di 2019.

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% pada 2019 nanti. Tampaknya angka itu sebagai refleksi sikap optimis di tengah berbagai ketidakpastian. Bahkan Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan angkanya bisa mencapai 5,4%.

Tentu saja para pengusaha lebih berhati-hati, mengingat tahun 2019 Indonesia memasuki tahun politik dimana Pilpres dan Pileg akan digelar. Memang pada tahun politik biasanya terjadi peningkatan konsumsi akibat dana kesejahteraan yang makin meningkat. Belanja pemerintah untuk kegiatan sosial juga diperkirakan lebih tinggi. "Tahun politik biasanya menggerakkan ekonomi khususnya di pemgeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga," ujar Darmin Nasuiton.

Sektor konsumsi memang punya peluang meningkat. Tapi kita tidak bisa berharap dari sektor investasi. Pengusaha akan lebih menahan diri sambil menunggu hasil Pemilu. Dari sisi ekspor, harga komoditas yang stagnan juga diperkirakan tidak bisa mendorong pertumbuhan lebih tinggi. Rata-rata pengusaha hanya berani mematok pertumbuhan ekomomi di angka 5,1% sampai 5,2% saja.

Besaran kredit yang disalurkan perbankan terhadap jumlah simpanan (Loan to Deposit Ratio/LDR) sudah mendekati 100%. Artinya likuiditas semakin ketat dan mau tidak mau, perbankan harus menaikkan suku bunganya. Sementara tingkat konsumsi dan prediksi harga minyak dunia yang naik, membuat laju inflasi semakin tinggi.

Belum lagi kondisi perekonomian global yang diliputi kecemasan perang dagang AS-China. Kedua raksasa itu diperkirakan ekonominya tidak sebagus 2018. Tiongkok misalnya diperkirakan hanya tumbuh 6,5% saja. Sementara ekonomi AS mulai menunjukan perlambatam. Dampak insentif fiskal AS sudah mulai melambat. Bahkan ada perkirakaan pada 2020 ekonomi AS akan memasuki periode resesi.

Optimisme Darmin beralasan. Meski memasuki tahun politik, Indonesia sekarang ini sudah mulai dewasa dalam berdemokrasi. Dari ratusan Pilkada serantak tidak ada gejolak serius yang perlu dikhawatirkan. Pemgaalan itu membuat pengusaha tidak terlalu mengkawatirkan dampak tahun politik ini.

Belum lagi geliat ekonomi daerah yang diperkirakan semakin tinggi. Selesainya berbagai proyek infrastruktur diperkirakan akan membuat ekonomi di sekitarnya ikut bergairah. Belum lagi kucuran dana pemerintah yang banyak disalurkan ke berbagai daerah membantu bergeraknya ekonomi mereka.

Keyakinan pemerintah mengenai perekonomian Indonesia 2019 ternyata tidak didukung oleh Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Mereka menilai agak sulit mencapai target pertumbuhan 5,3%. Bank Dunia hanya memproyeksi 5,2% untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya akan mencapai 5,2%. Ketidakpastian global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta kondisi di negara-negara Uni Eropa, menjadi penghambat utama perekonomian Indonesia.

Jika kita membaca proyeksi World Economic Outlook, pertumbuhan ekonomi dunia kemungkinan berkisar 3,73% 2018dan turun menjadi 3,70% pada 2019. Ekonomi AS juga diprediksi turun dari 3% pada 2018 menjadi 2,5% 2019. Tiongkok juga turun dari  6,6% tahun ini dan 6,5% di 2019.  

Menurunnya ekonomi Tiongkok karena ekkspor tak bisa diharapkan, lantaran perang dingin dengan AS. Tumpuan utama negara ini hanya pada investasi. Disinilah ada peluang bagi Indonesia. Karena perekonomian domestiknya melambat, investor Tiongkok cenderung menyasar pasar luar negeri, salah satunya Indonesia.

Tinggal bagaimana menjaga berjalannya Pemilu sebagai sebuah peristiwa politik biasa bukan sebagai momen yang menakutkan. Inilah salah satu tantangan Indonesia dalam mengelola proses politiknya sehingga menumbuhkan kepercayaan dunia.

Salah satu yang tetap terjaga dari perekonomian Indonesia adalah angka inflasi yang tetap terkendali. BI memproyeksi angkanya berkisar pada 2,5% sampai 4%. Angka ini menggambarkan bahwa pergerakan ekonomi berjalan di rel yang benar.

Sementara suku bunga diperkirakan sedikit meningkat pada 2019 nanti karena perbankan berlomba mengumpulkan dana pihak ketiga, yang akan berimbas pada naiknya bunga kredit. Diperkirakan kondisi tersebut tidak membuat inflasi bergerak terlalu tinggi.

Kalangan pengusaha cukup mengapresiasi kinerja perekonomian tahun ini. Meski pertumbuhan ekonomi 2018 terlalu besar dan masih di bawah target, tapi tingkat inflasi masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Kondisi ini membantu menggerakkan konsumsi rumah tangga.

Salah satu faktor yang harus diwaspadai masih rentannya fluktuasi nilai tukar dan harga minyak dunia yang terus merangkak. Kemampuan mengantisipasi ketidakpastian kondisi global plus memasuki tahun politik sepertinya menjadi salah satu penentu bagaimana ekonomi Indonesia di 2019.

Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,3% pada 2019. Tampaknya, angka itu sebagai refleksi sikap optimistis di tengah berbagai ketidakpastian. Bahkan Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan angkanya bisa mencapai 5,4%.

Tentu saja para pengusaha lebih berhati-hati, mengingat 2019 Indonesia memasuki tahun politik, di mana pilpres dan pileg akan digelar. Memang pada tahun politik biasanya terjadi peningkatan konsumsi akibat dana kesejahteraan yang makin meningkat. Belanja pemerintah untuk kegiatan sosial juga diperkirakan lebih tinggi. “Tahun politik biasanya menggerakkan ekonomi khususnya di pengeluaran pemerintah dan konsumsi rumah tangga,” ujar Darmin Nasuiton.

Sektor konsumsi memang punya peluang meningkat. Tapi kita tidak bisa berharap dari sektor investasi. Pengusaha akan lebih menahan diri sambil menunggu hasil pemilu. Dari sisi ekspor, harga komoditas yang stagnan juga diperkirakan tidak bisa mendorong pertumbuhan lebih tinggi. Rata-rata pengusaha hanya berani mematok pertumbuhan ekonomi di angka 5,1% sampai 5,2% saja.

Besaran kredit yang disalurkan perbankan terhadap jumlah simpanan (loan to deposit ratio/LDR) sudah mendekati 100%. Artinya,  likuiditas semakin ketat dan mau tidak mau perbankan harus menaikkan suku bunganya. Sementara itu, tingkat konsumsi dan prediksi harga minyak dunia yang naik, membuat laju inflasi semakin tinggi.

Belum lagi kondisi perekonomian global yang diliputi kecemasan perang dagang AS-Cina. Kedua raksasa itu diperkirakan ekonominya tidak sebagus 2018. Tiongkok, misalnya, diperkirakan hanya tumbuh 6,5% saja. Sementara itu, ekonomi AS mulai menunjukan perlambatam. Dampak insentif fiskal AS sudah mulai melambat. Bahkan ada perkirakaan pada 2020 ekonomi AS akan memasuki periode resesi.

Itulah sebabnya optimisme Darmin beralasan. Meski memasuki tahun politik, Indonesia sekarang ini sudah mulai dewasa dalam berdemokrasi. Dari ratusan pilkada serantak tidak ada gejolak serius yang perlu dikhawatirkan. Kondisi itu membuat pengusaha tidak terlalu mengkhawatirkan dampak tahun politik ini.

Belum lagi geliat ekonomi daerah yang diperkirakan semakin tinggi. Selesainya berbagai proyek infrastruktur diperkirakan akan membuat ekonomi di sekitarnya ikut bergairah. Belum lagi kucuran dana pemerintah yang banyak disalurkan ke berbagai daerah membantu bergeraknya ekonomi mereka.

Namun keyakinan pemerintah mengenai perekonomian Indonesia 2019 ternyata tidak didukung oleh Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Mereka menilai agak sulit mencapai target pertumbuhan 5,3%. Bank Dunia hanya memproyeksi 5,2% untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan hanya akan mencapai 5,2%. Ketidakpastian global akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, serta kondisi di negara-negara Uni Eropa, menjadi penghambat utama perekonomian Indonesia.

Jika kita membaca proyeksi World Economic Outlook, pertumbuhan ekonomi dunia kemungkinan berkisar 3,73% pada 2018 dan turun menjadi 3,70% pada 2019. Ekonomi AS juga diprediksi turun dari 3% pada 2018 menjadi 2,5% 2019. Tiongkok juga turun dari  6,6% tahun ini dan 6,5% di 2019.  

Menurunnya ekonomi Tiongkok karena ekspor tak bisa diharapkan, lantaran perang dingin dengan AS. Tumpuan utama negara ini hanya pada investasi. Di sinilah ada peluang bagi Indonesia. Karena perekonomian domestiknya melambat, investor Tiongkok cenderung menyasar pasar luar negeri, salah satunya Indonesia.

Tinggal bagaimana menjaga berjalannya pemilu sebagai sebuah peristiwa politik biasa bukan sebagai momen yang menakutkan. Inilah salah satu tantangan Indonesia dalam mengelola proses politiknya sehingga menumbuhkan kepercayaan dunia.

Salah satu yang tetap terjaga dari perekonomian Indonesia adalah angka inflasi yang tetap terkendali. BI memproyeksi angkanya berkisar pada 2,5% sampai 4%. Angka ini menggambarkan bahwa pergerakan ekonomi berjalan di rel yang benar.

Sementara itu, suku bunga diperkirakan sedikit meningkat pada 2019 nanti karena perbankan berlomba mengumpulkan dana pihak ketiga, yang akan berimbas pada naiknya bunga kredit. Diperkirakan kondisi tersebut tidak membuat inflasi bergerak terlalu tinggi.

Kalangan pengusaha cukup mengapresiasi kinerja perekonomian tahun ini. Meski pertumbuhan ekonomi 2018 terlalu besar dan masih di bawah target, tapi tingkat inflasi masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Kondisi ini membantu menggerakkan konsumsi rumah tangga.

Salah satu faktor yang harus diwaspadai adalah masih rentannya fluktuasi nilai tukar dan harga minyak dunia yang terus merangkak. Kemampuan mengantisipasi ketidakpastian kondisi global plus memasuki tahun politik sepertinya menjadi salah satu penentu bagaimana ekonomi Indonesia di 2019. (E-1)