Ibarat mobil, mesin birokrasi Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu bersilinder besar. Engine block dan transmisinya masih paten. Tarikannya mantap, bisa lari kencang. Tergantung sopirnya. Meski berpembawaan kalem, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) / Kepala BPN Sofyan Djalil ternyata tergolong pengemudi yang berani ngebut. Maka, di bawah kendalinya, BPN digas penuh dan meluncur kencang.
Hasilnya, di sepanjang 2018 BPN bisa menerbitkan 9.315.006 buah sertifikat. Ini melampaui target yang ditetapkan, yakni 7 juta. Ini kali kedua BPN mampu bekerja melampaui target. Sebelumnya di tahun 2017, target 5 juta sertifikat juga terlampaui, karena capaiannya tercatat 5,4 juta.
Cerita sukses ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di Blitar, Kamis (3/1/2019), dalam acara penyerahan 2.500 sertifikat kepada warga. Untuk 2019, Presiden Jokowi pasang target 9 juta sertifikat. ‘’Nanti realisasinya bagaimana, saya tidak tahu. Mungkin bisa 11 juta, 12 juta,” ujar Presiden jokowi sambil tertawa.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1547169649_Pengukuran_tanah.jpeg" style="height:213px; width:320px" />
Pengukuran tanah. Sumber foto: Istimewa
Sertifikasi tanah adalah salah satu program prioritas Pemerintahan Jokowi-JK. Program ini disebut sebagai wujud konkret kehadiran negara, di tengah minimnya perlindungan serta kepastian hukum tanah yang dikuasai masyarakat. Ketika memulai pemerintahan, Jokowi-JK dihadapkan pada fakta bahwa sekitar 86 juta bidang tanah di Indonesia belum terdaftar, dan tentunya belum bersertifikat, di luar 40 juta bidang lainnya yang sudah bersertifkat.
Bidang-bidang tanah itu dikuasai beragam pihak dan harus didaftarkan ke negara tanpa terkecuali. Bentuknya bisa sebagai aset pemerintah atau pemerintah daerah, tanah yang dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), tanah desa, tanah negara, tanah wakaf, tanah masyarakat hukum adat, kawasan hutan, obyek landreform, dan tanah transmigrasi serta bidang tanah lainnya.
Tanpa langkah terobosan akan sulit memberikan kepastian hukum secara adil dan merata kepada masyarakat, karena laju penerbitan sertifikat reguler ketika itu tak lebih dari satu juta lembar per tahun. Kebijakan percepatan menjadi pilihannya. Tugas itu harus dipikul Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil yang baru menempati pos tersebut pada Juli 2016--setelah sebelumnya menempati pos Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas.
Gerak cepat dilakukan. Menteri ATR Sofyan Djalil pun segera memancangkan percepatan program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 35 Tahun 2016 yang terbit November 2016. Salah satu norma yang ditetapkan di dalam permen tersebut adalah tidak membebankan biaya besar bagi para pemohon.
Toh, kebutuhan anggaran yang besar tak terhindarkan mulai proses pendaftaran hingga penerbitan sertifikat. Ada sosialisasi, penyuluhan, pelatihan petugas, pemeriksaan, pendaftaran, pengukuran, pematokan, pemeriksaan dokumen, verifikasi, dan seterusnya. Program ini juga melibatkan banyak tenaga di seluruh penjuru tanah air.
Untuk proses di Kantor BPN, segala biaya PTSL ditanggung anggaran negara (APBN). Namun, pada level desa dan keluruhan dimungkinkan adanya pembiayaan dari anggaran daerah (APBD) ataupun sumbangan Corporate Social Responsibility (CSR) dari BUMN/BUMD, CSR perusahaan swasta, juga dana masyarakat melalui sertifikat massal swadaya. Dalam hal yang terakhir, pungutan ke warga diijinkan sejauh sesuai aturan.
Ketentuan mengenai pembiayaan ini diatur dengan Surat Keputusaan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yakni Menteri ATR/Kepala BPN, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa Tertinggal - Transmigrasi, yang diterbitkan tahun 2017. Di situ disebutkan, antara lain, bahwa jika pengganggaran dari APBN dan Anggaran Desa tidak cukup untuk pembiayaan Program PTSL, daerah diminta mendukungnya dengan APBD sesuai kemampuan masing-masing daerah.
Klausul lainnya mengatakan, agar pemerintah daerah memberikan keringanan atau pembebasaan Pajak Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) kepada para pemohon. Dalam urusan penerbitan sertifikat, pebayaran Pajak BPHTB itu sering menjadi ganjalan di kalangan masyarakat kebanyakan karena nilainya 5% dari harga yang NJOP resmi.
Lebih jauh, SKB 3 Menteri itu menetapkan pula bahwa pungutan ke warga terkait Program PTSL ini maksimal Rp450.000 di wilayah Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan NTT (Kategori I). Untuk Kategori II, yakni Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, beberapa provinsi di Sulawesi, serta NTB, ditetapkan Rp350 ribu. Begitu seterusnya,ada Kategori III sebesar Rp250 ribu, Kategori IV Rp200 ribu, dan yang termurah Kategori V (Jawa-Bali) Rp150 ribu.
Pungutan itu diperlukan untuk biaya pengadaan dan penggandaan dokumen, materai, pengadaan dan pemasangan patok, serta operasional petugas kelurahan dan desa. Dalam pelaksanaannya, bisa ada kompromi di kantor desa/kelurahan. Untuk Kabupaten Dompu, NTB, misalnya, warga hanya membayar iuran antara Rp150 ribu--Rp170 ribu, tak sampai separuh dari batas maksimal SKB 3 Menteri. Toh, sertifikat bisa terbit beres.
Masyarakat menyambut antusias Program PTSL ini. Di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, ribuan warga berbondong-bondong mendaftarkan tanah mereka agar mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum dari negara. Dalam pendaftaran itu ada kegiatan fisik pengukuran, pemetaan, pematokan, lalu pencatatan dalam buku tanah, dan pendaftaran untuk mendapat pengakuan hak.
Pada tahap ini warga diminta alat bukti kepemilikan yang berlaku di daerah setempat. Ujudnya boleh berupa girik, pipil, petuk, verponding Indonesia, atau apapun yang sah di situ dan bukti waris bila diperlukan. Tim adjustifikasi dari Kantor BPN setempat akan melakukan verifikasi dan validasi sebelum memberikan surat tanda hak kepemilikan.
Semboyan ‘’sederhana, cepat, lancar, aman, adil, merata , transparan, dan akuntabel” bukan isapan jempol. Di Kantor BPN Maumere, Kapupaten Sikka, semuanya lancar. Memang, tidak semua tanah yang didaftarkan mendapat sertifikat. Tapi, tanah yang asal usulnya tak jelas atau dalam sengketa, bisa terpetakan. Selebihnya, sebanyak 6.800 bidang tanah mendapat sertifikat pada 2018 lalu.
Selain memberikan kepastian dan perlindungan hukum, sertifikat tanah itu juga menjamin bahwa bidang tanah itu adalah aset ekonomi bagi pemiliknya. Kalau dijual harganya jauh lebih mahal, dan bisa dijadikan agunan di bank untuk kegiatan produktif.
Presiden Joko Widodo pun menekankan pesannya yang tertulis dalam sampul map yang dibagikan ke penerima sertifikat, agar tanah perlu dijadikan aset produktif. Jangan diagunkan ke bank untuk kebutuhan konsumtif, dan jangan pula diagunkan bila tak yakin bahwa kegiatan produktifnya bisa memberikan hasil untuk membayar cicilan. (P-1)