Indonesia.go.id - Program Hilirisasi Perlu Terus Didorong

Program Hilirisasi Perlu Terus Didorong

  • Administrator
  • Senin, 14 Januari 2019 | 12:57 WIB
KOMODITAS BATU BARA
  Penambang batubara. Sumber foto: Wordpress

Sektor batu bara masih sangat dibutuhkan dalam pembangunan ke depan.

Batu bara - bahan bakar fosil adalah sumber energi terpenting untuk pembangkitan listrik dan berfungsi sebagai bahan bakar pokok untuk sejumlah produk manufaktur seperti baja, semen, maupun keramik.

Namun demikian, batu bara juga memiliki karakteristik negatif. Sering disebut sebagai sumber energi yang banyak menimbulkan polusi akibat tingginya kandungan karbon.

Batubara berbeda dengan sumber energi lain, seperti gas alam, yang memiliki tingkat polusi yang lebih sedikit. Namun sayangnya, energi jenis ini sangat rentan terhadap fluktuasi harga di pasar dunia. Sehingga, itu menjadi alasan masih banyaknya industri yang memakai energi jenis batubara.

Bagi Indonesia sebagai produsen terbesar kelima dunia setelah Cina, Australia, Amerika Serikat, dan India, komoditas batu bara merupakan sumber energi primer yang sangat penting, terutama energi untuk pembangkit listrik.

Sepanjang 2018, produksi batu bara tercatat mencapai 528 juta ton, naik 14,5% dibandingkan periode yang sama pada 2017, sebanyak 461 juta ton. Dari total produksi, pemanfaatan batu bara untuk kepentingan domestic (DMO) mencapai 115 juta ton.

Kenaikan produksi yang cukup signifikan pada 2018, dipicu pulihnya harga batu bara, telah menyebabkan produsen komoditas itu menggenjot produksinya. Sepanjang 2018, harga komoditas itu pernah sempat menyentuh rekor tertinggi US$116,60 per ton pada Juli dan tercatat tertinggi sejak Desember 2012.

Sementara itu, harga batu bara acuan (HBA) pada Juli 2018 sebesar US$104,65 per ton. Harga HBA merupakan harga yang ditentukan pemerintah untuk kepentingan pasar DMO. Ada 4 indeks harga perdagangan batu bara dunia untuk menentukan HBA, yakni Indonesia Coal Index, Platts Index, New Castle Export Index, New Castle Global Index.

Khusus 2019, pemerintah pun telah memberikan perkiraan soal produksi komoditas itu. Produksi tahun ini diprediksi tidak jauh dari skala produksi yang telah dicapai pada 2018. Bahkan, harga HBA untuk Januari 2019 telah ditetapkan US$92,41 per ton.

Sinyal soal produksi dan harga untuk kepentingan DMO diungkapkan Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Gatot Ariyono di Pemaparan Capaian Kinerja Minerba di Jakarta, Rabu  (9/1/2019).

"Mengenai DMO, kebijakan 2019 masih tetap sama, besarannya berapa, mungkin 20%-25%. Itu biasanya sekitar itu, tergantung produksi nasional, harganya masih US$70 per ton," tuturnya.

Adanya sinyal porsi DMO sama dengan porsi 2018, begitu juga perkiraan produksi pada kisaran seperti 2018 tentu memberikan stimulan bagi pelaku usaha di sektor usaha pertambangan itu untuk menatap tahun ini lebih optimistis.

Wajar munculnya optimisme itu. Pasalnya tren serapan pemanfaatan batu bara domestik ini diperuntukkan untuk menjamin pasokan kebutuhan sumber energi primer dan bahan baku di dalam negeri serta pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang dari tahun ke tahun terus meningkat.

Sebagai gambaran, kebutuhan batu bara bagi DMO terus bertambah. Pada 2014,  DMO sebanyak 76 juta ton, 86 juta ton (2015), 91 juta ton (2016), 97 juta ton (2017) dan sebanyak 115 juta ton pada 2018.

Tak dipungkiri, negara ini masih tetap mengandalkan batu bara sebagai sumber energi primer negeri ini. Meski terus berupaya mendorong penggunaan energi terbarukan dalam strategi energi nasional, porsi batu bara di strategi bauran energi nasional masih tetap besar, yakni mencapai 30% hingga 2030.

Apalagi, sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang merupakan bagian dari program 35.000 MW sudah mulai beroperasi. Hingga saat ini, kapasitas terpasang pembangkit listrik, sebagian besar berbahan bakar batu bara, mencapai 62,6 Giga Watt. Selama 2018, tambahan pembangkit listrik mencapai 1,6 Giga Watt.

Kondisi harga komoditas pertambangan itu tentu diharapkan tetap terjaga pada tahun ini, baik pelaku usaha maupun pemerintah. Wajar saja munculnya harapan itu, seperti juga tergambarkan dari pernyataan pemerintah yang berencana mempertahankan tingkat produksi batu bara di kisaran seperti tahun lalu.

Pasalnya, sektor pertambangan batu bara masih memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penerimaan negara, atau menduduki peringkat kedua setelah minyak sawit. Penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sub sektor minerba (mineral dan batu bara) mencapai Rp50,01 triliun, naik 36,8% dari target yang ditetapkan pada 2018.

Pencapaian kinerja penerimaan itu merupakan yang terbaik dalam empat tahun terakhir ini. “Saya ucapkan terima kasih karena penerimaan negara berupa PNBP dari batu bara mencapai lebih dari Rp40 triliun. Ini kedua terbesar setelah minyak sawit. Ini memperlihatkan sektor batu bara masih sangat dibutuhkan dalam pembangunan ke depan,” ujar Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan di Jakarta, Selasa (18/12/2018).

Yang menjadi pertanyaan apakah optimisme terhadap kinerja sektor pertambangan batu bara 2019 merupakan sikap yang terlalu percaya diri? Perlu diketahui, tahun ini disebutkan sebagai tahun politik, tahun yang penuh ketidakpastian.

Namun, penulis juga menyakini ketakutan berkaitan dengan 2019 sebagai tahun politik yang akan mempengaruhi dunia usaha, tentu tidak beralasan. Pasalnya, negara ini dalam pelaksanaan demokrasi sudah sangat dewasa. Bukti beberapa pemilu, baik pilpres, pileg maupun pilkada terbukti aman dan damai saja.

Dari sisi permintaan pasar internasional, Badan Energi Internasional (IEA) juga sudah mengeluarkan laporan soal proyeksi permintaan batu bara akan meredup hingga 2023. Permintaan batu bara, prediksi IEA, akan memasuki periode pelambatan dalam beberapa tahun ke depan. 

IEA menyebut negara-negara maju mulai mengabaikan bahan bakar fosil. Sedangkan, India dan negara berkembang lainnya masih mengandalkan batu bara untuk pembangkit listrik mereka.

"Di beberapa negara pembangkit batu bara dikurangi sebagai kunci untuk pemenuhan tujuan kebijakan iklim global. Sementara di lainnya batu bara tetap jadi pilihan utama sumber listrik mereka karena ketersediaannya dan keterjangkauannya," tulis laporan IEA.

Terlepas dari kondisi pasar dalam negeri dan internasional sesuai dengan prediksi IEA yang memberikan gambaran yang suram tetap harus memberikan kewaspadaan bagi pelaku usaha dan pemerintah meski tetap terus ditabalkan sikap optimistis dan keyakinan terhadap pertumbuhan subsektor ini yang masih menjanjikan.

Yang jelas, komoditas batubara tetap masih seksi dan masih menjadi andalan Indonesia dan negara Asia lainnya sebagai sumber energi primer mereka, karena  harga batu bara masih lebih terjangkau dan andal, selain cadangannya masih  banyak.

Namun, membaiknya harga komoditas saat ini tetap jangan sampai membuat pemangku kepentingan terlena. Pentingnya mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah dari komoditas ini sudah menjadi keniscayaan.

Masalah tuntutan lingkungan hijau dan peduli terhadap pemanasan iklim telah menjadi isu global. Wajar saja, Cina dan Amerika Serikat yang juga tercatat sebagai produsen batu bara kini sudah mulai mengembangkan batu bara menjadi bahan bakar pesawat.

Tidak itu saja, bahan bakar batu bara itu juga bisa diubah menjadi gasifikasi batu bara berupa Dimethyl Eter (DME), jadi substitusi LPG. Inilah yang harus mulai dikembangkan negara ini, yakni mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah komoditas batu bara. (F-1)