Kondisi global sepanjang 2018 telah memberikan derita bagi nilai rupiah. Pada tahun lalu, eskalasi perang dagang antara dua raksasa ekonomi dunia--Amerika Serikat dan Cina--telah menyebabkan negara emerging market mengalami depresiasi nilai tukar, termasuk Indonesia.
Sepanjang 2018 dari Januari hingga Desember, rupiah mengalami depresiasi 5,7%. Bahkan, rupiah sempat tertekan paling kuat pada Oktober 2018, yakni menembus di level Rp15.300 per dolar AS.
Selain faktor ekonomi global, faktor agresivitas kenaikan suku bunga The Fed juga telah menyebabkan keluarnya arus modal asing. Sehingga kepercayaan diri terhadap rupiah pun berkurang. Di sisi lain, kondisi defisit transaksi berjalan yang terus melebar memperparah pelemahan rupiah tersebut.
Berkaca dari kondisi itu, pemerintah pun berusaha keluar dari himpitan itu. Sejumlah jurus pun dikeluarkan agar negara ini bisa menahan laju pelemahan rupiah selain tetap menjaga kondisi ekonomi dalam negeri tetap kondusif.
Beberapa kebijakan itu antara lain paket kebijakan XVI, kenaikan suku Bungan BI sebanyak 175 basis poin (bps) menjadi 6% hingga kebijakan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), satu instrumen lindung nilai bagi pelaku usaha di pasar valuta asing domestik.
Gejolak fluktuasi rupiah memang sudah mulai mereda. Hingga Selasa (29/1/2019), kurs dolar terhadap rupiah bertengger di level R14.080 per dolar AS. Namun, pemerintah tentu tetap harus bersikap waspada terhadap fluktuasi kurs itu karena gejolaknya tidak bisa diprediksi terjadinya.
Lebih baik berjaga-jaga daripada sesal kemudian. Mungkin pepatah ini sangat tepat menggambarkan sikap pemerintah terhadap kondisi makro ekonomi di tahun politik ini. Setelah sejumlah kebijakan lahir, Presiden Joko Widodo kembali meneken beleid baru berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019, pada Kamis, (10/1/2019).
PP Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam (SDA). Artinya, DHE pelaku usaha—pertambangan dan perkebunan—wajib untuk ditahan di dalam negeri sehingga stabilitas nilai tukar rupiah dan kebutuhan valas dalam negeri tetap terjaga.
Langkah ini terkonfirmasi dengan pernyataan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution yang mengatakan bahwa aturan DHE hasil SDA untuk mengantisipasi arus modal dari Indonesia (capital outflow).
Wajar saja, pemerintah menerapkan mekanisme ‘berjaga-jaga’. Bila kurs mata uang asing mengamuk, berapa pun cadangan devisa yang dimiliki pasti akan bobol. Artinya ketahanan nasional dari sisi mata uang pun wajib kita miliki sehingga makro ekonomi pun stabil.
"Bagaimanapun setiap kali ada gejolak global, kita selalu mengalami outflow. Persoalannya capital outflow itu bila sebentar saja jadi tidak masalah. Tapi bila lama seperti tahun lalu, itu membuat posisi pertahanannya agak kurang," kata Darmin di Kantornya, Jakarta, Jumat (25/1/2019).
Dan, lanjutnya, kondisi itu diperparah dengan kondisi defisit neraca perdagangan. “Artinya devisa yang masuk lebih kecil dari yang keluar. Inilah alasan pemerintah mengeluarkan PP mengenai DHE terutama komoditas SDA," tambahnya.
Siapkan Pemanis
Tentu pemerintah tidak hanya memberikan batasan-batasan terutama kepada pelaku usaha. Pemerintah pun menyiapkan pemanis atau insentif dari munculnya kebijakan itu. Disebutkan, pemerintah menyiapkan insentifnya.
Apa saja itu? Insentif itu bisa berupa potongan pajak bunga simpanan. Besaran potongannya pun akan disesuaikan, bahkan bisa sampai 0%. Bila pelaku usaha menyimpannya dalam bentuk rupiah, pajak bunga pelaku usaha bisa 0%, apalagi dalam bentuk valas.
Apa sanksi bila ada pengusaha yang membandel dengan tidak memasukkan DHE ke sistem keuangan Indonesia? Ada insentif tentu ada punishment juga. Begitu juga dengan kebijakan DHE itu, pelaku usaha akan mendapat sanksi administratif, seperti denda, pencabutan izin ekspor, serta pencabutan izin usaha.
Meski diharapkan devisa hasil ekspor bisa diendapkan lebih lama, Darmin mengaku perusahaan pun bisa menggunakan devisa untuk kewajiban yang lain. Namun, penggunaan kewajiban lain pun harus disertai bukti yang jelas.
"Kalau mereka [pengusaha] ada kewajiban yang harus dia bayar pakai valas, boleh tapi tunjukkan buktinya," tambah Darmin.
Dalam rangka mempermulus kebijakan PP No. 1 Tahun 2019 itu, pemerintah pun kini tengah menyiapkan aturan turunan berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan mengatur mengenai teknis pelaksanaannya.
Bagaimana reaksi pengusaha terhadap lahirnya beleid baru itu? APBI (Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia) menilai aturan itu sebenarnya sudah ada sejak 2011 dan beberapa eksportir besar sudah menjalankan aturan tersebut.
Persoalannya, ketika itu belum adanya sanksinya. Wajar saja bila ada yang masih menyimpan DHE di bank luar. Nah, yang menjadi masalah adalah beleid itu bisa menjadi kendala bagi perusahaan berskala kecil.
Buka itu saja, beleid itu juga berpotensi memberatkan perusahaan yang sudah meneken perjanjian financing yang mana DHE disimpan ke bank luar. Selain itu, persoalan lainnya yang muncul ada komponen produksi perusahaan menggunakan dolar. Di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah atas dolar, akan lebih memberatkan meraka.
Terlepas adanya kekhawatiran itu, pokok semua persoalan itu adalah masalah nilai tukar rupiah yang sangat rentan terhadap kondisi makro ekonomi global. Dalam konteks itu, wajar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun perlu memberikan pernyataannya bahwa nilai tukar rupiah pada awal 2019 ini diprediksi masih bisa stabil, bahkan cenderung menguat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Menurut Perry, beberapa faktor di antaranya aliran modal masuk, laju kenaikan bunga The Fed yang melambat, serta konsistensi kebijakan ekonomi yang dikeluarkan BI maupun pemerintah.
"Jadi ini kembali lagi, confidence terhadap prospek ekonomi Indonesia, confidence terhadap kebijakan ekonomi Indonesia baik yang ditempuh oleh pemerintah, BI, OJK, confidence bahwa kegiatan ekonomi Indonesia akan terus naik," ujar Perry Jumat (25/1/2019).
Terlepas dari semua itu, saya menyakini semua kebijakan yang diambil pemerintah tentu yang terbaik bagi bangsa ini. Kita sebagai bagaian bangsa ini patut terus mendukungnya demi ekonomi bangsa yang lebih baik. (F-1).