Indonesia.go.id - Harlah NU, Semangat Moderat yang Makin Relevan

Harlah NU, Semangat Moderat yang Makin Relevan

  • Administrator
  • Sabtu, 9 Februari 2019 | 11:32 WIB
ORGANISASI KEAGAMAAN
  Presiden Joko Widodo hadiri Harlah ke-73 Muslimat NU di Jakarta. Sumber Foto: Antara Foto

NU berhasil menciptakan sebuah kearifan yang menyatukan dengan indah antara semangat keislaman dan semangat keindonesiaan.

Sejarah panjang menghiasi perjalanan Nahdatul Ulama (NU). Organisasi berbasis masa Islam tradisional ini merupakan wadah perkumpulan dengan jemaah terbesar di Nusantara. Lahir sebagai respons kondisi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.

Belanda saat itu membutuhkan tenaga klerk untuk memudahkan mencari SDM membantu hal-hal administratif. Mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang awalnya dikhususkan bagi anak-anwk bangsawan.

Pendidikan selain mengajarkan pengetahuan, mau tidak mau juga mengajarkan cara berpikir, transformasi budaya, dan doktrin. Sebagai penjajah, tentu saja ada banyak doktrin ketaatan pada sistem kolonial yang disuntikkan kepada anak didik.

Sementara itu, rakyat jelata belum tersentuh dengan sistem pendidikan Belanda. Tingkat literasi rakyat sangat rendah.

Para ulama yang mengenyam pendidikan memahami kebutuhan rakyat. Mereka terpicu untuk membangun lembaga pendidikan berbasis akar tradisi dan keagamaan. Mereka ingin melakukan pencerdasan kepada rakyat dengan tetap menanamkan perasaan terjajah, kecintaan pada agama, dan sesuai dengan tradisi lokal. Bukan tradisi Eropa yang dicangkokkan begitu saja kepada anak-anak Indonesia.

Jauh sebelum NU didirikan, para pendirinya sudah mendirikan organisasi bernama Nahdatul Wathon (1916) dan Nahdatul Tujjar (1918). Bahkan sebelum itu, Kiai Wahab Chasbullah telah memotori lahirnya kelompok diskusi yang dinamakan Taswikul Afkar (1914).

Berdirinya Nahdatul Ulama merupakan kelanjutan dari berbagai pergerakan tersebut. Hadirnya NU, juga merupakan respons dari keresahan kiai-kiai di Jawa atas perkembangan ideologi Islam puritan yang muncul di jazirah Arab. Kemenangan Ibnu Saud yang merampas kekuasaan di Mekah dan Madinah, lalu menjadikan ideologi tersebut sebagai azas tunggal Islam, membuat kiai-kiai di Indonesia berkomunikasi secara intens.

Para kiai yang kebanyakan belajar di Madinah dan Mekah itu sadar, Saudi sedang melakukan sebuah gerakan pemurnian Islam yang sebetulnya hanya bungkus kepentingan politik. Bagi para kiai gerakan seperti itu sesungguhnya merupakan penyimpangan terhadap ajaran Islam. Sebuah ajaran yang sebelumnya adaptif terhadap kondisi masyarakat ingin dipaksakan menjadi sebuah tafsir tunggal.

Kiai Wahab Chasbullah dan KH Hasyim Asyari sebagai dua tokoh besar waktu itu mengundang kiai-kiai lain di Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat untuk mendiskusikan antisipasi perkembangan Islam dunia.

Mereka berkumpul di rumah Kiai Wabah Chabullah di Surabaya. Intinya membahas sebuah resolusi agar penguasa Saudi tetap memberi ruang bagi mazhab-mazhab dan aliran pemikiran lain dalam Islam untuk tetap tumbuh.

Para kiai ingin mengirimkan utusan menemui penguasa Arab yang baru. Untuk itu dibutuhkan organisasi. Maka Kiai Wahab dan Kiai Hasyim Asyari sepakat mendirikan organisasi bernama Nahdatul Ulama. Organisasi itu berdiri pada 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926. Di kalangan nahdiyin, hari kelahiran NU diperingati dua kali, yang satu berdasarkan penanggalan hijriyah, sedangkan satunyanya lagi berdasarkan penanggalan masehi.

Dengan kata lain, kelahiran NU eidasari pada sikap moderat untuk membiarkan berbagai aliran pemikiran hidup dalam Islam. Kedua juga sebagai wadah untuk terus menanamkan kecintaan rakyat pada bangsanya.

Tampaknya sampai sekarang kondisi umat Islam tidak juga bergeser. Ekspansi ajaran Islam purita terus- menerus mendesakkan tafsir tunggalnya. Sementara itu, jamaah NU tetap mempertahankan pemikiran moderatnya. Yakni, bukan hanya terbuka dan menerima berbagai aliran pemikiran dalam Islam, NU juga tetap mempertahankan budaya lokal Nusantara sebagai bagian utuh dari tradisi umat Islam Indonesia.

NU pun mengambil jalan moderat ketika rasa kebangsaan ingin dibenturkan dengan semangat keagamaan. Doktrin yang paling berpengaruh dari kiai NU adalah hubbul wathon minal iman, mencintai bangsa adalah bagian dari iman.

Dengan jalan moderat itu, NU merupakan tonggak untuk terus mempertahankan Indonesia dari berbagai serangan ideologi luar. Kelenturan ideologi NU ikut menyelamatkan bangsa ini dari berbagai pertikaian ideologi.

Kini NU berusia hampir satu abad. Harlah NU ke-93 justru membuktikan apa yang menjadi dasar pemikiran berdirinya organisasi ini, makin relevan sampai sekarang. Kiprahnya terus membuktikan bisa menjadi perekat berbagai ideologi yang saling berbenturan.

NU berhasil menciptakan sebuah kearifan yang menyatukan dengan indah antara semangat keislaman dan semangat keindonesiaan. (E-1)