Jagung sontak menjadi topik viral seusai Debat Capres (calon presiden), yang dihelat di Hotel Sultan, Jakarta, Ahad (17/2/2019) malam. Di situ, Presiden (petahana) Joko Widodo menyebut ihwal adanya kenaikan produksi jagung nasional. ‘’Saya sampaikan terima kasih pada petani jagung,’’ ujar Jokowi. Menurutnya, pada 2014 Indonesia masih mengimpor 3,5 juta ton, dan di 2018 volume impornya tinggal 180 ribu ton. Ada kenaikan produksi 3,3 juta ton. ‘’Itu lompatan besar,’’ ia menambahkan.
Segera saja, data yang dikutip presiden petahana itu mengundang debat di luar arena, utamanya di media sosial. Beragam data berseliweran, di antaranya data yang menunjukkan impor jagung 2018 lebih tinggi dari yang disebut Presiden Jokowi.
Kementerian Pertanian (Kementan) bergegas melansir klarifikasi, bahwa apa yang disebut Presiden adalah impor untuk pakan ternak. Sesuai lingkup tugasnya, Kementan mendorong produksi jagung untuk pemenuhan pakan ternak, utamanya unggas. Kebutuhannya cukup tinggi, mencapai 7,8 ton pada 2018. Ditambah lagi 2,5 juta ton lainnya untuk peternak mandiri, yakni pengusaha ternak yang memproduksi sendiri keperluan pakannya.
Kebutuhan lain yang besar adalah untuk industri makanan, yang umumnya berupa tepung maizena. Volumenya mencapai 4,8 juta ton tahun 2018. Di luar itu, tentu ada serapan lain, untuk industri kecil, mikro, serta untuk rumah tangga sebagai makanan pokok atau tambahan. Kebutuhan ini tidak mudah terekam oleh radar statistik.
Lepas dari validitas angkanya, para pemangku kepentingan sektor pertanian umumnya bisa melihat adanya tren yang konsisten tentang kenaikan produksi jagung nasional. Bila pada dekade 1990-an produksi nasional masih di bawah 10 juta ton jagung pipilan kering, angka itu diyakini telah di atas 20 juta ton.
Tidak mengherankan bila Kementan menyatakan bahwa Indonesia telah mengekspor jagung sebesar 372 ribu ton jagung pada 2018. Termasuk di dalamnya ekspor benih jagung ke Sri Langka, Thailand, dan Filipina. Bahwa, di satu waktu berlangsung impor jagung dan ekspor pada waktu yang lain, itu memang lazim dalam urusan pengadaan bahan baku industri. Biasanya untuk mempercepat pasokan dan meredam gejolak harga.
Sentra produksi jagung nasional masih di Pulau Jawa. Kontribusinya 54% terhadap produksi nasional. Sumatra menyumbang 21% , Sulawesi 14%, dan selebihnya tersebar di berbagai daerah dalam porsi yang jauh lebih kecil.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1550750255_ekspor_benih_jagung.jpg" />
Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian Sumarjo Gatot Irianto melepas ekspor benih jagung di Gudang Pabrik Jagung PT. BISI Internasional di Kediri. Sumber foto: Dok Humas Kementan
Tak seluruh produk yang ada bisa didorong masuk ke pasar lokal maupun antarpulau. Ada sebagian yang dikonsumsi untuk bahan makanan penduduk sebagai pengganti beras. Sebagian lainnya rusak, susut, atau hilang dalam proses pengolahan, pengepakan, penyimpanan, dan pengiriman.
Dengan sebaran sentra produksi yang begitu meluas, disertai pula variasi iklim yang amat beragam, ada resiko pada stabilitas pasokan jagung ke industri pakan dan peternak mandiri. Fluktuasi pasokan sering tak terhindarkan. Sementara itu, pabrik pakan ternak ini juga terkonsentrasi di Jawa.
Sebagai gambaran, dari 93 pabrik pakan ternak yang ada di Indonesia 71% (66 unit) ada Pulau Jawa. Selebihnya di Sumatra Utara 11 unit (12%), di Sumatra Barat 1 unit, Lampung 5 unit, Kalimantan Selatan 2 unit, Kalimantan Barat 1 unit, dan Sulawesi Selatan 7 unit.
Impor jagung 2018 dilakukan ketika muncul indikasi pasokan yang melemah, khususnya ke peternak mandiri. Ketika itu, lonjakan nilai tukar dolar AS mendorong sejumlah industri makanan mengalihkan pemakaian gandum impor ke jagung. Pasokan jagung menciut, peternak mandiri tak kebagian. Bulog mengimpor jagung.
Namun pada kenyataannya, impor yang terjadi melebihi dari angka impor Bulog. Pasalnya, ada pula impor jagung lainnya dalam bentuk jagung segar, benih jagung, jagung giling, tepung maizena, dan bentuk lain untuk keperluan khusus, yang semuanya tergolong jagung. Walhasil, secara faktual ada perbedaan angka impor dari jumlah yang disitir oleh Presiden Jokowi.
Toh, dalam visi Presiden (petahana) Joko Widodo, impor bahan pangan adalah sebuah keniscayaan. Dalam Debat Capres pada Ahad lalu itu, dia mengatakan bahwa produksi beras nasional 2018 sebesar 33 juta ton, sedangkan konsumsinya 29 juta ton. Masih ada surplus. Mengapa impor? “Untuk menjaga ketersediaan stok, menstabilisasikan harga. Kita harus punya cadangan untuk situasi bencana, atau gagal panen," ujar presiden.
Realitas di lapangan, belakangan ini memang stok Gudang Bulog lebih banyak diisi beras impor. Tak terelakkan karena harga besar dari petani umumnya sudah jauh di atas HPP (harga pokok produksi) yang ditetapkan, yakni sekitar Rp7.300 per kg. Pada situasi ini, harga beras petani dianggap sudah melampaui titik keekonomiannya. Bulog baru akan memborong beras petani bila harganya jatuh di bawah HPP. Sebaliknya, ia melakukan operasi pasar jika harga beras terlalu melambung. Begitulah cara kerja Bulog sejak puluhan tahun lalu.
Bila dipaksakan membeli beras petani di atas tingkat HPP, akan terjadi persaingan antara Bulog dan para pedagang pengumpul. Persaingan itu berpotensi membuat harga beras melambung. Memang, petani padi akan untung, tapi itu membuat konsumen umumnya mengeluh karena tingginya harga.
Tata kelola inilah yang oleh Presiden Jokowi sering disebut sebagai pengendalian stok dan stabilitas harga beras. ‘’Keseimbangan itu harus dijaga. Petani untung, tapi masyarakat juga bisa menjangkau harga di pasar,’’ ujarnya dalam Debat Capres di Hotel Sultan itu.
Toh, tak berarti Pemerintahan Jokowi-JK mengabaikan sisi peningkatan produksi. Pengadaan sarana produksi pertanian terus digenjot, khususnya yang terkait pengadaan pupuk, pestisida, benih, serta penanganan pascapanennya. Perluasan area tanam juga dilakukan, termasuk dengan tumpangsari jagung-sawit dan pemanfaatan areal perhutanan masyarakat.
Namun, yang lebih menonjol pada Pemerintahan Jokowi-JK adalah pengadaan prasarana pengairan. Pemerintahan Jokowi-JK membangun 69 unit bendungan, 16 di antaranya melanjutkan proyek yang belum selesai atau yang mangkrak. Sebanyak 19 unit telah selesai, dan 10 lainnya akan rampung di tahun 2019 ini.
Bendungan ini akan membuat porsi sawah yang menerima aliran irigasi teknis meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen. Jelas, irigasi ini akan meningkatkan areal panen, karena sawah-sawah yang sebelumnya hanya bisa ditanami sekali, bisa menjadi dua kali dalam setahun. (P-1)