Program aksi pengurangan emisi karbon di Indonesia dinilai telah membuahkan hasil. Setidaknya, begitulah penilaian oleh panel kerja sama Indonesiaa-Norwegia, terkait mitigasi perubahan iklim (climate change). Program berskema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestastion Degradation) plus ini dianggap telah menyajikan hasil nyata berupa pengurangan emisi karbon setara dengan 4,8 juta ton gas CO2.
Progres pelaksanaan REDD+ itu disampaikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya di Kantor Kementerian LHK, Manggala Wana Bakti, Jakarta, Sabtu lalu (16/2/2019). Hadir di acara tersebut Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Ola Elvestuen. Dengan adanya hasil itu, seperti disebut kedua menteri, Pemerintah Norwegia akan segera membayar kompensasi ke Indonesia. Tak disebutkan angka nominalnya.
Kerja sama REDD+ itu dilakukan dalam bingkai Konvensi Perubahan Iklim. Indonesia dan Norwegia adalah penanda tangan konvensi global tersebut bersama lebih dari 180 negara dunia lainnya. Ada pun REDD+ itu sendiri adalah langkah-langkah yang didesain menggunakan insentif keuangan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan. Ada pun “plus” di sini bisa dimaknai sebagai penyimpanan karbon dalam bentuk biomassa di kawasan hutan, sebagai output dari pelestarian hutan itu sendiri.
Salah satu langkah konkret Indonesia dalam pencegahan perubahan iklim adalah dengan membuat komitmen mengurangi emisi karbon 26% dari skenario business as usual pada 2020. Bila ada skema bantuan keuangan internasional, pengurangan emisi dapat mencapai 41% pada 2030. Komitmen itu disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi Perubahan Iklim 2009 di Kopenhagen, Denmark.
Norwegia menyambut tekad Indonesia itu dengan menawarkan kerja sama. Kedua negara bergegas menandatangani nota kesepakatan 2010. Intinya, Norwegia akan membantu sampai USD1 miliar untuk REDD+ di Indonesia. Memang, jumlah itu tak cukup besar dibanding Indonesia membiarkan kawasan hutan terus dijadikan lahan komersial. Tapi, itulah komitmen Indonesia untuk melestarikan planet bumi dari ancaman perubahan iklim. Apalagi, kerusakan dan alih fungsi hutan menyumbang 16% dari emisi gas rumah kaca secara global.
Pada sisi lain, Norwegia juga punya kepentingan. Sebagai negara kepulauan, dengan lebih dari 50 ribu pulau di dalamnya, isu perubahan iklim adalah soal serius. Kenaikan suhu atmosfir, yang akan berakibat kenaikan muka laut, bisa menenggelamkan sebagian pulau-pulau itu. Jadi, ada hubungan yang mutualistik.
Walhasil, persiapan REDD+ dilakukan sejak 2011. Bergulir Inpres nomor 10/2011 yang mengatur tentang moratorium Ijin Baru Pemanfaatan Hutan dan Lahan Gambut, setidaknya untuk dua tahun. Segala prosedur dan kelembagaannya pun disiapkan, termasuk menetapkan 11 provinsi sebagai peserta program REDD+. Kebijakan ini berlanjut di era Presiden Joko Widodo, termasuk dalam hal moratorium ijin baru bagi perkebunan dan hutan tanaman industri.
Penghitungan output REDD+ itu dengan membandingkan emisi aktual tahun tertentu dengan tahun sebelumnya. Ada pun audit emisi aktual di 11 provinsi itu baru dilakukan pada 2016 setelah semua program penanganan deforestasi dan degradasi hutan berjalan. Hasil audit itulah yang kini dijadikan patokan, base line, dan dibandingkan dengan audit 2017. Walhasil, muncul hasil yang positif berupa pengurangan emisi 4,8 juta ton gas rumah kaca setara CO2 di 2017.
Tentu, 4,8 juta ton karbon itu cukup signifikan, mengingat emisi gas dari deforestasi dan degradasi hutan itu mencapai miliaran ton per tahunnya. Namun, bila program REDD+ tersebut berjalan baik, penurunan emisi akan meningkat disertai kenaikan simpanan karbon di hutan. Berikutnya, langkah menjaga hutan tetap lestari agar karbon yang terjerat tak lepas ke atmosfir lagi.
Apa yang dikerjakan Indonesia dengan REDD+ itu telah mengundang apresiasi Menteri Lingkungan Hidup Norwegia Ola Elvestuen. Ia menghargai kebijakan Indonesia yang memoratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut, memoratorium izin baru untuk perkebunan sawit, serta perbaikan tata kelola kehutanan. Masih ada satu hal lagi, yakni penegakan hukum lingkungan.
"Kami senang upaya Indonesia untuk mengurangi emisi telah menuai hasil,” kata Ola Elvestuen. Jika laju deforestasi dan degradasi hutan terus menurun, tuturnya, Norwegia siap untuk meningkatkan pembayaran dana.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1550915616_Reboisasi_hutan.jpeg" />Reboisasi hutan. Sumber foto: Istimewa
Debat Capres
Isu kehutanan ini sempat mengemuka dalam debat calon presiden (capres) di Hotel Sultan, Jakarta, Ahad (17/2/2019) malam. Menyinggung isu pembangunan lingkungan, Calon Presiden (petahana) Joko Widodo mengungkapkan komitmennya dalam menjaga kawasan hutan, antara lain, dengan menekan angka kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Presiden Jokowi memang tidak main-main menangani bencana karhutla. Sumber daya yang ada, di pusat maupun daerah, dikerahkan habis-habisan setiap kali kebakaran terjadi. Lebih dari itu, kasus karhutla tidak dianggap selesai begitu saja setelah api padam. Urusan karhutla itu ditindaklanjuti dengan penegakan hukum.
Sejumlah petinggi dari 11 korporasi dibawa ke pengadilan dan diadili sebagai penjahat lingkungan. Sebagian mereka dinyatakan bersalah dan masuk bui. Bahkan, ada vonis ganti rugi pula sebesar Rp18,3 triliun atas kerugian material yang timbul. Gebrakan itu memang membuat bencana karhutla menurun, pascakebakaran besar 2015 yang menghanguskan lebih dari 2,6 juta hektar lahan.
Kisah sukses itu yang diangkat Joko Widodo ke arena debat capres. "Kita ingin kebakaran hutan, kebakaran lahan gambut tak terjadi lagi dan ini sudah kita atasi. Dalam tiga tahun ini, tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut,’’ katanya
Alih-alih terjadi pendalaman terhadap isu kehutanan, yang bergulir justru protes atas pernyataan “tak terjadi kebakaran hutan dan lahan gambut” itu. Maka, buru-buru Presiden Jokowi meluruskan. "Saya sampaikan, kami bisa mengatasi kebakaran dalam tiga tahun ini, artinya bukannya tidak ada, tapi turun drastis, turun 85 persen lebih," kata Jokowi, esok harinya.
Laporan di Kementerian LHK sendiri menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan masih terus terjadi. Pada 2018, Januari hingga Agustus saja, terpantau sekitar 195 ribu terbakar. Jumlah itu naik dari laporan 2017 yang 165 ribu hektar. Sementara itu di sepanjang 2016 bencana kebakaran melanda 438 ribu ha lahan.
Kebakaran lahan memang sulit sepenuhnya diberantas. Peraturan perundang-undangan Indonesia masih mentolerir pembakaran hutan bagi kebun rakyat, dengan luasan maksimum 2 ha per rumah tangga. Namun, pembakaran itu akan menjadi pidana jika kobaran api meluas dan merusak lahan di sekitarnya. Untuk korporasi, pembakaran hutan dilarang sepenuhnya.
Audit Karbon
Pelepasan karbon akibat kebakaran hutan itu akan selalu terpantau oleh satuan kerja REDD+ yang telah dibentuk. Maka, meski program pencegahan deforestasi dan degradasi hutan terus bergulir, penurunan emisi karbon belum bisa terjadi secara masif.
Kegiatan ekonomi di atas kawasan hutan juga belum sepenuhnya dapat dihentikan. Maka, di masa Presiden Joko Widodo masih dikeluarkan ijin pelepasan kawasan hutan untuk keperluan tertentu. Menteri LHK Siti Nurbaya tercatat mengeluarkan ijin konversi kawaan hutan seluas 216 ribu hektar.
Toh, angka ini sudah jauh menyusut dari periode pemerintahan sebelumnya. Di era Pemerintahan Presiden SBY selama 10 tahun juga terjadi konversi serupa. Menteri Kehutanan MS Kaban (2004-2009) memberikan ijin perkebunan baru sebesar 600 ribu hektar, sedangkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan (2009-2014) menerbitkan ijin untuk lahan seluas 1,6 juta hektar.
Tak heran bila kini ada jutaan hektar lahan hutan yang dikonversi menjadi areal kebun atau hutan tanaman industri. Belum lagi, ada pula ijin-ijin penggunaan lahan untuk kegiatan tambang.
Namun, visi Presidn Joko Widodo tetap pada komitmen untuk mengurangi tingkat eksploitasi di kawasan hutan. Maka, laju konversi hutan terus dibatasi. Toh, masyarakat di sekitar hutan tidak diabaikan. Untuk mereka disediakan skema perhutanan sosial. Warga diijinkan memanfaatkan areal hutan untuk budi daya campur sari, jasa lingkungan, dan ekowisata atau memetik hasil hutan, tanpa mengurangi fungsi ekologis hutan itu sendiri. Sekitar 12,7 juta ha hutan telah dialokasikan untuk perhutanan sosial ini.
Semuanya itu bisa dikaitkan dalam skema REDD+. Bila semua berjalan dengan baik, bukan hal yang mustahil, pengurangan emisi akan mencapai nilai yang signifikan. Setidaknya, laju deforestasi dan degradasi hutan tidak lagi pada skala business as usual. (P-1)