Indonesia.go.id - Penundaan BK, Saatnya Produsen CPO Genjot Ekspor

Penundaan BK, Saatnya Produsen CPO Genjot Ekspor

  • Administrator
  • Senin, 11 Maret 2019 | 08:42 WIB
PUNGUTAN EKSPOR
  Produksi kelapa sawit di Pematang Raman, Kumpeh, Muarojambi, Jambi. Sumber foto: Antara Foto

Pemerintah memutuskan menunda pengenaan pungutan alias masih menerapkan pungutan USD0 per ton, setidaknya sampai satu bulan ke depan.

Pelaku usaha kelapa sawit, kini masih bisa tersenyum meski masih tetap pahit. Pasalnya pemerintah lagi berbaik hati, menunda pengenaan pungutan ekspor CPO meskipun sebenarnya harga komoditas itu sudah mulai menunjukkan tren naik.

Sebagai gambaran, harga CPO global sempat bergerak di kisaran USD470-USD507,50 per ton pada Desember 2018. Harga CPO global kembali merangkak naik pada Januari 2019 yang bergerak antara USD520-USD542.50/ton dengan harga rata-rata USD530,7/ton.

Dan, harga CPO global untuk periode Maret 2019 kembali terkoreksi positif ke angka USD595,98 per ton. Angka tersebut naik USD30,58 atau setara 5,41% dari periode Februari 2019 yang sebesar USD565,40 per ton.

Bila mengacu ke harga itu, pelaku usaha kelapa sawit seharusnya terkena pungutan ekspor apabila harga CPO berada di kisaran USD570-USD619 per ton dengan besaran pungutan USD25 per ton.

Pungutan itu menjadi lebih besar lagi menjadi USD50 per ton bila harga internasional sudah kembali normal di atas USD619 per ton. Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152/PMK.05/2018 yang berlaku 4 Desember 2018.

 PMK itu menyebutkan pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) berhak melakukan pungutan ekspor CPO itu. Namun, dengan pelbagai pertimbangan terutama harga CPO global yang cenderung masih fluktuatif, pemerintah memutuskan menunda pengenaan pungutan tersebut.

Belum Perlu Dilakukan

Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai harga CPO global yang masih fluktuatif dalam tiga bulan terakhir membuat pengenaan pungutan itu dinilai belum perlu dilakukan meski harga rata-rata CPO USD595 per ton yang diambil sebagai referensi sejak 20 Januari-19 Februari memang sudah memenuhi syarat untuk melakukan pungutan.

“Pemerintah memutuskan menunda pengenaan pungutan alias masih menerapkan pungutan USD0 per ton, setidaknya sampai satu bulan ke depan.”

Pernyataan Darmin itu dipertegas dengan siaran pers yang dikeluarkan oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan. "Pemerintah mengenakan bea keluar CPO sebesar US$0 per ton untuk periode Maret 2019."

Khusus untuk pengelola pungutan bea keluar (BK) CPO, pemerintah telah membentuk sebuah badan yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), sebuah unit organisasi noneselon di bawah Kementerian Keuangan.

Badan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Perbendaharaan. Tugas badan ini adalah melaksanakan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit, antara lain, pengembangan Sumber Daya Manusi a (SDM), penelitian dan pengembangan perkebunan, promosi, peremajaan, serta kebutuhan saran dan prasarana.

Selain itu, badan itu juga mengelola dana pengembangan maupun dana cadangan pengembangan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BPDPKS juga berhak menghimpun dana dari sumber lain di luar pungutan kelapa sawitu, seperti dari lembaga pembiayaan, masyarakat, dan sumber lain yang sah.

Pemerintah sebenarnya tidak hanya menunda pengenaan pungutan bea ekspor saja kepada pelaku usaha kelapa sawit. Namun, pemerintah berencana merevisi PMK berkaitan dengan pungutan tersebut.

Menurut Darmin, pungutan ekspor perlu mempertimbangkan konsistensi harga dalam periode 2-3 bulan agar ada kepastian kepada pelaku usaha industri sawit, termasuk petani, pedagang, Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan eksportir.

“Kami kini lagi mencari mekanismenya yang lebih representatif terhadap harga yang aktual,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan di Jakarta, Rabu (6/3/2019).

Mekanisme PMK untuk pengutan itu, seperti disampaikan Oke, akan berbeda dengan sebelumnya. Di dalam PMK tersebut akan diatur mengenai batas harga sawit yang akan dikenakan pungutan ekspor.

Di aturan sebelumnya, yakni PMK 152 Tahun 2018, pungutan ekspor sawit didasarkan pada harga referensi USD570 per ton. Pemerintah berencana mengeluarkan PMK baru berkaitan dengan pungutan bea keluar kelapa sawit tersebut.

Rencana revisi PMK itu tentu menjadi berita gembira bagi pelaku usaha kelapa sawit termasuk petani. Pasalnya, penundaan pungutan ini dapat menambah daya saing CPO asal Indonesia di pasar ekspor. Tidak itu saja, kebijakan ini diyakini dapat mengerek harga komoditas tersebut.

Namun, bagi produsen biodiesel, kebijakan ini dinilai justru akan menghambat program B20 atau kewajiban biodiesel dengan 20% bauran sawit. Pengenaan BK ketika harga CPO global di atas USD590 per ton tentu bisa menahan laju ekspor komoditas itu.

Ujungnya adalah pelaku usaha lebih nyaman melempar komodtasnya ke pasar dalam negeri, terutama produsen biodiesel. Apalagi, pemerintah berencana melakukan uji coba pencampuran B30. Artinya, masalah penyerapan produksi kelapa sawit bukan menjadi isu utama di tengah merosotnya harga internasional.

Kelebihan lain melalui program mandatori biodiesel ini adalah negara bisa menghemat pengeluaran terutama impor solar, program itu juga  dapat menggenjot harga minyak sawit global akibat pengurangan pasokan ke pasar global.

Tidak itu saja, negara ini menjadi lebih kokoh dalam ketahanan energi dan tidak perlu lagi bergantung kepada negara tujuan ekspor yang menerapkan berbagai persyaratan yang berat.

Contohnya, beberapa waktu lalu Uni Eropa menerapkan isu lingkungan sebagai cara untuk meghambat ekspor CPO ke kawasan Benua Biru tersebut. Kebijakan negara dan pelaku usaha yang teguh dengan lebih menonjolkan jati diri bangsa akan lebih memperkokoh daya saing negara di dunia internasional. (F-1)