Jalan-jalan digenangi air laksana sungai, dan gang-gang menjadi kanal-kanal kota. Begitu yang selalu terjadi di sebagian wilayah Kecamatan Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot, setiap kali hujan besar mengguyur di kawasan Bandung Raya. Sungai Citarum meluap menggenangi setiap cekungan di pinggiran kali.
Musibah ini terus berulang selama puluhan tahun dan semakin hari makin buruk seiring kerusakan lingkungan di DAS (daerah aliran sungai) hulu Citarum. Genangan kembali datang pekan lalu (6 - 8 Maret). Cukup parah karena kota Bandung sendiri diterpa hujan. Beban Citarum meningkat karena selain harus menampung air dari daerah hulu, pun menanggung gelontoran air Sungai Cikapundung dan Cidurian dari arah kota Bandung. Keruan saja, di Baleendah ada beberapa titik yang tergenang hampir tiga meter.
Ketika air surut, Presiden Joko Widodo melakukan peninjauan ke Citarum. Kali ini, Presiden Jokowi langsung ke lokasi pembangunan terowongan ganda di Kelurahan Nanjung, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, sekitar 15 km ke hilir dari Dayeuhkolot. Di situ, Presiden meninjau mulut dua terowongan sejajar, yang masing-masing bergaris tengah 8 meter itu, Ahad lalu (10/3/2019).
Nantinya, kedua tunnel itu akan menjadi sudetan (jalur by pass) yang memungkinkan sebagian air Citarum langsung menghilir tanpa harus melewati celah sempit ruas Curug Jompong. ‘’Terowongan Ini sudah lama direncanakan, tapi tertunda. Sekarang kita bangun,’’ kata Presiden Jokowi.
Dengan adanya dua tunnel ini, akan ada percepatan airan air menghilir sehingga genangan yang selama ini melimpas di Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot bisa lebih cepat menyusut.
Ide untuk membangun terowongan itu sudah bergulir sejak 15 tahun lalu. Gagasan itu lahir setelah tim teknik Kementerian Pekerjaan Umum melakukan penelitian soal genangan di wilayah Bandung Selatan itu, dan menemukan bahwa salah satu penyebabnya ialah penyempitan sungai di tikungan tajam Curug Jompong. Ruas sungai yang berbentuk huruf U itu diapit oleh tebing dari batuan cadas hitam. Pada ruas itu ada jeram yang landai setinggi sekitar 8 meter.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1552403906_IMG_20190220_WA0075.jpg" />Terowongan Nanjung. Sumber foto: Kementerian PUPR
Hingga awal 1970-an, Curug Jompong masih menjadi tujuan wisata. Air sungai mengalir deras dan bergemuruh, memercikkan keriangan. Namun, sejakpertengahan dekade 1970-an, Curug Jompong mulai ditinggalkan, karena airnya mulai keruh, berbusa, berbau, dan menimbulkan gatal. Belum lagi, air bah bisa sewaktu-waktu menerjang.
Namun, yang kini menjadi masalah, dari sisi keseimbangan hidrologisnya, ruas Curug Jompong itu ternyata menjadi leher botol bagi aliran Citarum. Alurnya yang membelok tajam dan menyempit, membuat aliran air melembat. Walhasil, massa air terus menumpuk di atas leher botol, meninggi, dan berikutnya muka air di hulu seperti di Baleendah pun ikut naik. Air melimpas ke kiri kanan dan menggenangi permukiman warga.
Sebelum rencana membuat terowongan air itu muncul, bergulir ide untuk “menormalisasi’’ Curug Jompong. Yaitu, memapras struktur batuan hitam di jeram dan melebarkan badan sungainya agar efek leher botolnya lenyap. Dalam kajian para ahli ketika itu, kalau saja paras Curug Jompong itu dipangkas 3 meter tingginya dan diperlebar mengikuti profil sungai di hulunya, permukan air Kali Citarum di Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot, bisa turun 1,6 meter. Efeknya akan semakin besar bila batuan di situ dipapras lebih dalam dan diperlebar lagi.
Namun, ide itu mendapat tentangan dari berbagai kalangan. Curug Jompong dipandang sebagai monumen geologis yang tak sepatutnya diusik. Celah itulah yang menjadi pintu keluar bagi massa air Danau Bandung Purba yang terbentuk sekitar 110--120 ribu tahun silam.
Pada puncaknya, sekitar 36.000 tahun silam, permukaan Danau Bandung Purba itu mencapai level 712 meter di atas permukaan laut. Danau Bandung Purba itu amat luas. Pajangnya mencapai 60 km dari Cicalengka di Timur hingga Saguling di Barat. Batas Utaranya di Dago Bawah, di sekitar Gedung Sate sekarang dan ke Selatan sejauh 40 km sampai ke Majalaya Ciparay, dan Banjaran.
Danau itu terbelah menjadi dua sisi Timur dan Barat. Pembatasnya disebut pematang tengah, yakni perbukitan yang membujur dari Utara ke Selatan di sekitar Curug Jompong itulah. Dalam perjalanan waktu, dinding Barat di Saguling bobol, membuat Danau Barat terkuras. Aliran airnya melalui badan Sungai Citaeum sekarang ini. Bobolnya danau Barat itu membuat air dari danau Timur pun tumpah ke Barat melalui pintu Curug Jompong itulah.
Kemungkinan, Jurug Jompong itu dulunya lebih tinggi dari posisinya yang sekarang di level sekitar 665 meter dari permukaan laut. Namun, derasnya laju kebocoran danau purba itu menggerus batu-batu di sekitar Jurug Jompong itu hingga ke posisi saat ini. Pengikisan itu melambat seiring dengan keringnya danau Bandung Purba sebelah Timur dan meninggalkan alur Citarum yang sekarang ini sebagai satu-satu pintu keluar limpasan massa air dari kawasan DAS danau purba itu.
Pintu air purba itu jelas tak mencukupi untuk tata kelola hidrologi ketika kawasan hulunya tumbuh menjadi permukiman berjuta warga. Maka, ketika memapras Jurug Jompong dinilai bukan pilihan bijak, maka terowongan air itu menjadi alternatifnya.
Kini dengan alokasi dana Rp352 miliar, terowongan kembar itu sedang dikebut penyelesaiannya. Bila berfungsi, kapasitas aliran di ruas Curug Jompong itu bisa meningkat dari yang semula 570 m3 per detik menjadi 650 m3 per detik. Dari 230 meter panjang masing-masing, yang satu sudah 60% dan yang lain 40%. Tapi, Presiden Jokowi mengintruksikan agar keduanya dirampungkan pada 2019 ini. ‘’Biar tahun depan masyarakat sudah bisa merasakan manfaatnya,’’ kata Presiden.
Toh, terowongan ini tak bisa menyelesaikan seluruh masalah. Meski amat membantu menambah kapasitas aliran air di ruas Curug Jompong, yang akan terbebas dari genangan tahunan di Baleendah, Bojoangsoang, dan Dayeuhkolot. Pada kondisi banjir besar 20 tahunan, kawasan yang bisa dihindarkan dari genangan baru sebesar 700 hektar saja. Sementara itu, pada situasi ekstrem ini potensi genangan bisa mencapai 3.460 hektar.
Namun, upanya pengendalian sungai terpenting di Jawa Barat itu tidak hanya dengan membangun terowongan. Di bawah program Citarum Harum, sejumlah pekerjaan juga sedang berjalan. Antara lain, Kolan Retensi Cienteun di Baleendah, pengendalian arus anak sungai dalam Proyek Cisangkuy Floodway di Pamampeuk, dan 140 embung penahan air di hulu. Semuanya di Kabupaten Bandung.
Pekerjaan tersebut diintegrasikan dengan program penghijauan di lahan kritis, utamanya di lereng-lereng pegunungan yang mengitari lembang Bandung Raya. (P-1)