Indonesia.go.id - Jasa Peer to Peer Lending Semakin Seksi

Jasa Peer to Peer Lending Semakin Seksi

  • Administrator
  • Jumat, 15 Maret 2019 | 02:17 WIB
TEKNOLOGI FINANSIAL
  Layanan costumer model tatap muka di outlet bank diperkirakan semakin turun seiring semakin maraknya layanan pinjam dana melalui fintech P2P Lending. Sumber foto: Istimewa

Tren pertumbuhan positif industri fintech P2P Lending ini tentunya diharapkan akan terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan.

Revolusi teknologi berbasis digital sudah tidak bisa dihindari dan telah menjadi sebuah keniscayaan. Bahkan revolusi itu kini sudah menyentuh sebuah layanan yang banyak dibutuhkan masyarakat, yakni platform pinjaman dana.

Adanya platform penyedia pinjaman dana berbasiskan teknologi atau dikenal dengan nama fintech peer to peer lending (P2P Lending) telah mendobrak stigma bahwa pinjam dana itu sulit dan selalu terganjal. Itulah yang dialami masyarakat kebanyakan di masa lalu ketika bersentuhan dengan bank konvensional.

Bayangkan, melalui kemajuan teknologi digital ‘zaman now’ telah membawa perubahan perilaku finansial masyarakat kita. Bila dahulu, kita perlu datang ke bank atau institusi keuangan lainnya untuk melakukan pinjaman dana, misalnya. Kini, semuanya cukup melalui smartphone Anda.

Tinggal klik, Anda sudah bisa memilih layanan pinjaman dana atau dikenal dengan nama P2P Lending tersebut. Tinggal lengkapi dokumen yang dibutuhkan. Tunggu beberapa hari, dana yang Anda butuhkan sudah tersedia di rekening.

Saat ini, menurut catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per akhir Januari 2019, penyaluran pinjaman P2P Lending sudah mencapai Rp25,59 triliun dari 99 penyedia layanan yang terdaftar saat ini.

Sebaran dana menjangkau lima juta nasabah dengan transaksi mencapai 17 juta transaksi. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bahkan memproyeksi penyaluran pinjaman bisa menembus Rp40 triliun hingga akhir tahun ini.

“Layanan fintech P2P Lending itu sudah menjangkau 5.160.120 nasabah per Januari 2019, atau naik 18,91%. kami melihat teknologi keuangan ini berkembang luar biasa karena menjangkau sampai daerah terpencil,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso beberapa waktu lalu

Menurutnya, peminjam fintech berasal dari masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan tetapi di sisi lain mereka sudah memiliki ponsel yang bisa mengakses layanan fintech.

“Selama ini pinjam di bank sulit karena butuh jaminan. Tapi melalui fintech sektor informal bisa mengakses, baik itu tukang jamu gendong, tukang bakso, tukang nasi goreng. Semunya bisa masuk ke fintech,” jelas Wimboh.

Berstatus Terdaftar

Saat ini ada 99 perusahaan fintech P2P Lending yang telah berstatus terdaftar di OJK. Dari total perusahaan itu, baru satu yang berstatus berizin. Dari jenisnya, ada 96 fintech P2P Lending berupa layanan konvensional, tiga sisanya perusahaan fintech syariah.

Jumlah tersebut kemungkinan akan bertambah lagi, mengingat masih ada 46 perusahaan yang dalam proses pendaftaran. Dan, sebanyak 33 perusahaan yang berstatus berminat mengajukan pendaftaran ke OJK.

Tumbuh pesatnya industri fintech P2P Lending itu tentu patut diapresiasi dan tentu sangat menggembirakan untuk mendongkrak perekonomian nasional. Namun, kisah sukses dari industri fintech P2P Lending ini juga banyak menyajikan cerita sedih terutama perlakuan buruk ketika nasabah mulai terkendala membayar angsurannya.

Ini tentu harus menjadi perhatian pelaku industri untuk memperbaikinya. Kisah nasabah P2P Lending yang mendapatkan perlakuan semena-mena sudah banyak mengemuka di media sosial. Kebanyakan dari mereka mendapatkan perlakuan dari pihak ketiga (debt collector) yang dianggap sudah melewati wilayah privasi nasabahnya. Mereka—perusahaan fintech P2P Lending—tidak segan-segan melakukan ancaman kepada nasabahnya dengan beragam cara.

Teguran melalui Whatsapp dengan cara sopan, kasar, bahkan mendatangi rumah nasabahnya. Bila perlu hingga menunggu di depan rumah nasabahnya. Itu perilaku yang lumrah ditemui ketika nasabah mulai terlambat atau tidak mampu membayar cicilan pinjamannya.

Yasasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pun sempat menerima pengaduan dari satu nasabah kredit online yang sudah di luar batas. Ceritanya, satu perusahaan fintech P2P Lending melakukan ancaman akan mempublikasikan foto album nasabah penunggak kredit bila mereka tak segera melunasi utangnya.

Bagi YLKI, perilaku perusahaan fintech itu dinilai sudah melanggar etika. Padahal soal tata cara penagihan kepada nasabah sebenarnya sudah ada tata caranya, yakni surat edaran BI No. 14/17/DASP. Selain YLKI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) juga sampai membuka posko pengaduan akibat semakin maraknya keluhan soal praktik perusahaan kredit online tersebut.

Cerita di atas hanyalah ekses dari tumbuhnya fintech P2P Lending di Indonesia. Berbeda dengan layanan pinjaman dari perbankan konvensional yang sangat prudent (hati-hati), layanan pinjaman dari perusahaan berbasis digital bisa dikatakan lebih mudah.

Pelaku industri ini mengakui rawannya jasa ini dari dari fraud nasabah. Mereka pun tidak tinggal diam untuk meminimalkan terjadinya fraud. Sejumlah langkah dilakukan industri itu bekerja sama dengan pemerintah (Ditjen Dukcapil dan OJK) serta BI.

Misalnya untuk kevalidan data, mereka bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri untuk mengetahui calon nasabahnya termasuk dengan menggunakan biometrik. Tujuannya jelas, persentase kredit bermasalah bisa ditekan.

Namun kelahiran teknologi finansial kini sudah menjadi keniscayaan. Bahkan industri jasa berbasis digital ini diyakini telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional, selain mendorong inklusi keuangan.

Pertumbuhan industri yang massif selama dua tahun terakhir sejak dikeluarkannya POJK 77/2016 (POJK 77) tidaklah mengejutkan. Indikator itu terlihat dari banyaknya perusahaan fintech P2P landing yang terus mendaftar di OJK untuk menangkap peluang bisnis jasa inklusi keuangan ini.

Tren pertumbuhan positif tentunya diharapkan akan terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan. Bagi penulis, tahun ini mungkin akan menjadi penentu pertumbuhan industri ini di masa mendatang.

Secara khusus, tahun ini akan menjadi tahun pertaruhan di mana apakah pasar, infrastruktur, siklus kredit, dan modal yang tersedia bagi industri ini akan mendorong pertumbuhan industri secara berkesinambungan.

Tahun ini juga sepertinya akan menunjukkan kepada kita bagaimana berbagai platform di dalam industri ini akan mulai terkonsolidasi. Tentunya ini adalah hal yang wajar dan tidak terhindarkan sebagai konsekuensi atas semakin ketatnya kompetisi di dalamnya. The Blue Ocean is turning Red! (F-1)