Perangkat desa tidak akan lagi identik denga aparatur yang merana. Cerita-cerita tentang perangkat desa yang yang hanya digaji sekadarnya, telah menjadi masa lalu. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 11 tahun 2019 yang diteken Presiden Joko Widodo pada akhir Februari lalu itu menetapkan bahwa penghasilan tetap perangkat desa itu disetarakan dengan pegawai negeri sipil (PNS) golongan dua. PP ini secara resmi dirilis Setneg (Sekretariat Negara) Senin lalu (11/2/2019).
Isyarat adanya kebijakan baru ini telah digulirkan dalam pertemuan massal Presiden Jokowi dengan ribuan perwakilan perangkat desa se-Indonesia di Istora Senayan medio Januari.
Dalam PP nomor 11/2019 itu disebutkan bahwa bupati/wali kota menetapkan besaran penghasilan tetap kepala desa (Kades), sekretaris desa (Sekdes), serta perangkat desa lainnya. Ketentuannya, penghasilan tetap kades paling sedikit Rp2.426.640, setara 120% dari gaji pokok PNS Gol II/a. Bagi Sekdes minimum Rp2.224.420, setara 110% dari gaji pokok PNS II/a, dan penghasilan tetap untuk perangkat desa lainnya paling sedikit Rp2.022.200 (setara 100% dari gaji pokok PNS II/a).
Kebijakan Presiden Jokowi ini menjadi solusi yang ditunggu para perangkat desa yang cukup lama dilanda ketidakpuasan soal penghasilannya. Sebelum terbit PP nomor 11/2019 ini, ketentuan yang berlaku adalah PP nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksaaan atas UU Desa tersebut.
Pada Pasal 81 PP nomor 43/2014 itu disebutkan, pos biaya untuk pendapatan kades, sekdes, perangkat desa, dan tunjangan operasional Badan Musyawarah Desa (BMD), ialah dari alokasi dana desa (ADD) yang berasal dari kucuran APBD kabupaten/kota. Bila ADD-nya kurang dari Rp500 juta per tahun, porsi untuk gaji personel ini boleh sampai 60%. Bila ADD Rp500 – Rp700 juta, porsi gaji 50%, lalu 40% untuk ADD antara Rp700 juta – Rp900 juta, serta 30% untuk yang ADD-nya di atas Rp900 juta.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1552876655_Cibalung_Bogor.jpg" /> Kegiatan pembangunan betonisasi jalan desa di Cibalung Bogor. Sumber foto: Dok infodesaku.co.id
Namun, hanya mengandalkan sumber pembiayaan dari ADD, dana yang tersedia tetap minim. Apa lagi, tidak banyak desa-desa yang beruntung kebagian ADD lebih dari Rp500 juta per tahun. Tidak heran bila ada sebagian perangkat yang hanya menerima honor Rp600 ribu/bulan, bahkan kurang dari angka tersebut.
PP nomor 11/2019 lebih memiliki fleksibilitas. Basis penghitungannya tidak hanya ADD, melainkan anggaran pendapatan dan belanja desa (APB-Desa). Sumbernya adalah pos ADD ditambah bantuan keuangan dari kabupaten/kota, bantuan rutin dari provinsi, bagi hasil pajak restribusi daerah dan yang paling signifikan adalah dana desa yang merupakan transfer langsung dari Kementerian Desa. Memang, pos untuk penghasilan kades, sekdes, perangkat, dan operasional BMD itu, dibatasi 30% saja. Namun, besarannya akan lebih tinggi ketimbang yang hanya dari basis ADD.
Sebagai contoh kasus Desa Cibalung, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Seperti ditulis di laman infodesaku.co.id, secara keseluruhan APBDesa Cibalung pada 2018 mencapai Rp2,53 miliar. Jika mengambil 26% dari APB-Desa, maka desa tersebut bisa mengalokasikan Rp657,8 juta untuk penghasilan kades, sekdes, perangkat desa, serta operasional BMD.
Jumlah Rp657,8 juta itu ternyata cukup untuk memenuhi ketentuan penghasilan tetap personil di kantor desa setara dengan PNS golongan IIa. Maka, Desa Cijeruk boleh melaksanakan pembayaran sesuai PP nomor 11/2019 mulai Maret 2019 ini juga.
Namun, tak semua beruntung seperti Desa Cibalung. Banyak yang APB-Desanya jauh di bawahnya. Dalam situasi ini PP nomor 11/2019 itu juga membuka peluang desa untuk memanfaatkan sumber yang lain, seperti dengan memanfaatkan pendapatan dari tanah bengkok milik desa, atau income dari aset produktif desa lainnya. Bila masih belum cukup, pelaksanaan pembayaran gaji baru perlu ditunda 2020, agar Pemerintah Kabupaten/Kota mengerek APB-Desanya.
Toh, di sisi lain sempat ada kekhawatiran bahwa kebijakan ini bisa memantik “ledakan” di APBN, dari pos belanja pegawai. Betapa tidak, di Indonesia kini ada hampir 75 juta desa. Bayangkan, bila ada 8 perangkat di tiap desa dan masing-masing personel menerima Rp2 juta per bulan. Biaya yang harus mengucur per tahun sekitar Rp24 juta tiap perangkat dikali 8, dan dikali lagi 75.000 desa, dengan hasil sekitar Rp14,4 triliun. Padahal, belanja ekstra ini belum direncanakan di APBN 2019.
Namun, bayangan buruk itu tidak akan terjadi, karena pemerintah pusat tidak akan secara khusus mengalokasikan dana untuk pos tersebut. Hanya saja, untuk tambahan dana bagi desa-desa yang anggarannya belum mencukupi untuk melaksanakan ketentuan baru itu, pemerintah pusat dapat membantunya dengan menambahkan anggarannya desa melalui pos-pos ADD atau dana desa.
Dengan segala fleksibilitas tersebut, bisa dipastikan kebijakan penyetaraan penghasilan perangkat desa dengan PNS golongan II/a tidak akan membebani dompet APBN 2019. Penetapan, porsi 30% dari total anggaran desa juga tak akan mengurangi kapasitas desa dalam melayani masyarakat dan melaksanakan pembangunan, pengembangan masyarakat, termasuk insentif untuk Ketua RT/RW atau kepala dusun.
Paling tidak, kenaikan pembiayaan untuk gaji kades, sekdes, dan perangkat itu akan dikompensasi dengan kenaikan dana desa. Dan pemerintah telah menyiapkan adanya kenaikan dana desa dari Rp60 triliun pada tahun 2018 menjadi Rp70 triliun pada 2019. (P-1)