TKI (Tenaga Kerja Indonesia) Siti Aisyah akhirnya terbebas dari ancaman hukuman mati di Malaysia. Terbebasnya wanita berusia 26 tahun asal Serang, Banten itu tentu menjadi kabar gembira bagi bangsa Indonesia, tak terkecuali bagi Presiden Joko Widodo.
Ucapan rasa rasa syukur tak henti-hentinya terungkap di sejumlah lini masa media sosial maupun media konvensional atas bebasnya wanita tersebut dari ancaman hukuman mati atas tuduhan ikut membunuh Kim Jong Nam, warga negara Korea Utara.
Di tengah-tengah terbebasnya Siti Aisyah, isu Siti Aisyah dan masalah perlindungan terhadap TKI pun sempat menjadi isu hangat di tengah meningkatnya suhu politik dalam negeri menuju pemilihan umum, baik pilpres maupun pileg.
Dalam konteks ini, saya tidak akan masuk ke ranah perdebatan tersebut. Namun lebih pada menyoroti sampai sejauh mana peran pemerintah melindungi warganya terutama yang menjadi pekerja di luar negeri?
Bagi pekerja migran Indonesia, mereka tentu tak berharap menjadi TKI di negeri orang. Bila ada ada pekerjaan yang lebih baik di dalam negeri, kenapa harus ke luar negeri? Itulah yang selalu dijawab TKI ketika ditanya latar belakang mereka menjadi TKI.
Tak dipungkiri, banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya pekerja migrasi Indonesia (PMI) ke luar negeri. Namun, ujung dari masalah itu adalah penyediaan lapangan kerja yang terbatas di dalam negeri. Itulah yang menjadi penyebab mereka sebagai pekerja migran.
Dalam konteks negara, populasi yang banyak dan pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah dan berdampak terhadap penyediaan lapangan kerja, menjadi masalah krusial bagi satu negara.
Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri merupakan salah satu solusi mengatasi persoalan itu, atau meminjam istilah teori ekonomi kependudukan sebagai the first stage of labor migration trantition.
Sebagai solusi sesaat, tenaga kerja migran internasional dapat memberikan dampak positif bagi negara tujuan, negara asal, dan para migran sendiri beserta keluarganya. Di sisi lain, bagi negara tujuan, kehadiran pekerja migran ini dapat mengisi segmen-segmen lapangan kerja yang sudah ditinggalkan oleh penduduk setempat karena tingkat kemakmuran negara tujuan itu sudah meningkat.
Dalam konteks perlindungan TKI, Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla harus diakui sudah sangat perhatian. Bahkan, lahirnya Undang-Undang No. 18/2018 merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap nasib TKI tersebut.
Reformasi Tata Kelola
Melalui UU yang mengatur soal Perlindungan Buruh Migran, reformasi tata kelola buruh migran yang berbasis pelayanan publik mulai berjalan. Ibarat tak ada gading yang tak retak, tak ada sesuatu yang sempurna, begitu juga dengan UU itu. Praktik-praktik yang melanggar seperti percaloan tetap masih terjadi, meski intensitasnya telah jauh menurun.
Bagaimana sumbangan pekerja migran Indonesia itu terhadap devisa negara? Data Bank Indonesia menyebutkan penerimaan remitansi pekerja migran Indonesia selama 2018 mencapai USD10,97 miliar, atau setara dengan Rp153,58 triliun.
Angka itu naik 24,66% dibandingkan dengan periode 2017 yang tercatat USD8,8 miliar. Angka yang cukup besar, dan tentunya berperan besar bagi neraca transaksi berjalan negara ini.
Namun, persoalannya Indonesia hanya terkenal sebagai negara pemasok tenaga kerja tidak terampil. Dalam beberapa tahun ini, ada upaya pemerintah untuk mengubah imej penyedia tenaga kerja kasar menjadi penyedia tenaga kerja terampil, ahli, dan berdaya saing tinggi.
Selama periode 2014-2018, ada tren yang menarik berkaitan dengan pengiriman jenis pekerjaan dari TKI tersebut. Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) selama periode itu, jumlah penempatan TKI mencapai 1,48 juta.
Dari total jumlah TKI sebanyak 1,48 juta pekerja itu. Komposisi TKI yang bekerja di sektor formal mencapai 777.650 orang dan informal 708.951 pekerja, Wajar saja, pemerintah kemudian berusaha menggenjot pengiriman tenaga kerja formal (terampil) sebagai bagian solusi untuk penyediaan lapangan kerja. Bahkan, 2019 telah ditetapkan sebagai tahun zero TKI informal.
Khusus untuk penempatan TKI formal, ada beberapa pendekatan yang dilakukan, yakni melalui skema government to government (G to G), seperti antara Indonesia-Korea Selatan dan Indonesia-Jepang. Selain melalui skema G to G, penempatan TKI formal juga dengan pendekatan government to privat (G to P), dan privat to privat (P to P).
Penempatan TKI formal terampil, professional dan mandiri telah menjadi tekad dan arah kebijakan pemerintah. Namun ada masalah TKI formal negara ini, yakni masih adanya gap antara permintaan (demand) dan potensi (supply) dalam hal kompetensi dan bahasa.
BNP2TKI—lembaga yang bertanggungjawab terhadap penempatan dan perlindungan TKI—tidak tinggal diam. Lembaga ini pun menyiapkan pelatihan untuk meningkatkan keahlian bagi pekerja yang akan dikirim ke luar negeri. Misalnya, melakukan pelatihan pelayanan bagi calon TKI dan perawat.
Promosi yang tiada henti untuk mempromosikan TKI yang terlatih agar mereka bisa segera terserap di pasar kerja di negara-negara tujuan penempatan TKI menjadi penting, termasuk dukungan dari perwakilan Indonesia di luar negeri. Negara ini sudah saatnya naik kelas dengan mulai mengurangi pengiriman TKI tak terdidik. (F-1)