Adalah Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, yang menyampaikan dalam pertemuan dengan para pemimpin koorporasi Eropa yang ada di Indonesia di Kementerian Luar Negeri bahwa usulan keputusan Uni Eropa terkait penghentian impor sawit dapat merugikan sekitar 20 juta petani kecil yang mata pencahariannya dari sektor perkebunan kelapa sawit. Jumlah itu lebih besar dari penduduk Belanda 17 juta jiwa dan Belgia 11 juta jiwa.
Luhut menyampaikan, bahwa hubungan bilateral antara Indonesia dan Uni Eropa selama ini sangat baik. Indonesia juga memerlukan produk dari perusahaan-perusahaan Eropa untuk membangun investasi yang lebih besar di masa depan.
Dalam paparannya Luhut mengatakan, Indonesia membutuhkan sekitar 2.500 pesawat bikinan Amerika dan Eropa dalam berbagai bentuk model dalam kurun waktu 20 tahun ke depan. Angka yang cukup besar nilainya mencapai USD40 miliar dan itu dapat menciptakan sekitar 250 juta lapangan pekerjaan untuk Eropa atau Amerika.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional memproyeksikan, sektor penerbangan Indonesia akan naik tiga kali lipat pada 2034 mencapai 270 juta penumpang per tahun. Dan itu membutuhkan pembaruan maskapai yang cukup banyak juga.
Perlu diketahui, pada 13 Maret 2019 lalu, Komisi Eropa telah meloloskan aturan pelaksanaan atau delegated act dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Beleid ini secara jelas merencanakan penghapusan secara bertahap penggunaan biofuel berbasis minyak kelapa sawit (CPO) hingga mencapai 0% pada 2030.
Meski belum diterapkan, kebijakan ini rencananya secara resmi berjalan setelah mendapat ijin dari sidang Parlemen Eropa pada sekitar 25-28 Maret 2019 atau paling lambat 15 April 2019. Dan akan mulai diadopsi pada 12 Mei mendatang.
Cuma disayangkan studi yang digunakan sebagai landasan tersebut sama sekali tidak mencantumkan data-data dari Indonesia. Karena di Indonesia sendiri, sejak lama sudah dilakukan berbagai langkah perbaikan terhadap dampak lingkungan atas hal tersebut.
Petani dan industri sawit Indonesia pun sudah mencoba mengelola sawit dengan mengikuti standar yang dikehendaki pasar Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah juga sudah mulai turut berbenah dengan menerapkan kebijakan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO). Bukti perbaikan itu terlihat dengan menurunnya perusakan hutan akibat budidaya kelapa sawit, yang mana sebelumnya sempat mencapai 2 juta hektare (ha) per tahun, menjadi hanya 400 ribu ha per tahun pada 2018. Artinya, terjadi perbaikan hingga 1,6 juta ha.
Melihat fakta tersebut sepertinya ada indikasi diskriminasi terhadap produk kelapa sawit ini berhubungan dengan perdagangan bunga matahari, rape seed, dan soya (minyak kedelai) antara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Sehingga ketika impor minyak sawit untuk biofuel disetop, otomatis karpet merah terbuka bagi minyak kedelai dari Amerika Serikat untuk memenuhi pasar Benua Biru.
Langkah diskriminasi yang dilancarkan UE terhadap komoditas kelapa sawit itu menjadi lebih meyakinkan setelah melihat Benua Biru itu tengah fokus memperbaiki neraca perdagangannya.
Perdagangan UE ke Indonesia tercatat mengalami defisit. Sebaliknya, perdagangan kelapa sawit RI ke UE justru selalu tercatat surplus. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan pada 2018, neraca perdagangan Indonesia ke UE mengalami surplus, bahkan selama lima tahun terakhir. Tahun lalu, nilai ekspor Indonesia ke UE sebesar USD17,1 miliar, sebaliknya impor UE ke Indonesia sebesar USD14,1 miliar.
Total perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa mencapai USD31,2 miliar atau meningkat 8,29% dibandingkan periode yang sama tahun 2017 (year on year/yoy). UE merupakan tujuan ekspor dan asal impor nonmigas terbesar ke-3 bagi Indonesia.
Tahun lalu, ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa hampir lima juta ton, dan lebih dari setengahnya digunakan untuk biofuel. Jumlah itu mencapai empat belas persen dari total ekspor sawit. Pasar besar sawit Indonesia yang masih terbuka adalah Cina, RRT, India, dan Afrika.
Data GAPKI, pada 2018 ekspor sawit Indonesia ke Uni Eropa 4,7juta ton, 60% di antara digunakan untuk biofuel. Atau mencapai sekitar €2 miliar atau Rp30 triliun per tahun dan sekitar 45% di antaranya atau hampir Rp15 triliun adalah biofuel. Sedangkan produksi minyak sawit Indonesia pada 2017 mencapai 38 juta ton. Dari angka ini, sekitar 27 juta ton terserap di pasar domestik.
Saat ini sedang ada upaya yang dijalankan pemerintah telah masuk kepada tahap litigasi atau upaya gugatan ke pengadilan internasional Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization/WTO). Gugatan dari para pengusaha akan disodorkan melalui Pengadilan Tinggi Uni Eropa (the Court of Justice/CJEU).
Dan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guerend, menanggapi bahwa pertemuan dengan delegasi Indonesia di WTO akan lebih baik ketimbang perseteruan berlarut-larut. Menurutnya kalau Indonesia sampai memboikot produk UE ini akan menjadi lose-lose dan Uni Eropa maunya ada win-win. (E-2)