Indonesia.go.id - Orang Bakar Hutan, Pemerintah Divonis Bersalah

Orang Bakar Hutan, Pemerintah Divonis Bersalah

  • Administrator
  • Selasa, 30 Juli 2019 | 01:55 WIB
KEKUASAAN YUDIKATIF
  Petugas dari Satgas Karhutla Provinsi Riau berusaha memadamkan bara api yang membakar lahan gambut di Desa Karya Indah, Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (26/07/2019). Foto: ANTARA FOTO/Rony Muharrman

Putusan MA memvonis pemerintah bersalah. Hukumannya, memperbaiki tatanan hukum dan melaksanakannya sejumlah agenda. Yudikatif memaksa eksekutif melaksanakan produk legislatif. Akan muncul kerumiitan tata kelola kuasaan.

Banyak kalangan yang mengapresiasi sikap Pemerintahan Jokowi-JK yang berani tegas pada pengusaha kehutanan. Pascakebakaran besar yang menghanguskan hutan seluas 2,6 juta ha pada 2015, Presiden Joko Widodo mendorong jajarannya bersikap antikompromi dalam menegakkan hukum dan peraturan terkait  kebakaran hutan. Kasus-kasus tindak kejahatan atas hutan dibawa ke pengadilan. Banyak yang diseret ke penjara, banyak  perusahaan dijatuhi denda  dan sanksi administrasi.

Tindak pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) digencarkan. Satuan tugas (satgas) karhutla dibentuk dengan jaringannya, perkakas pemadam api disediakan, termasuk heli untuk water bombing dan pompa penyembur air. Sejumlah kanal pengering lahan gambut disumbat agar gambut kembali basah. Hasilnya, kasus karhutla turun drastis.

Namun, sejumlah aktivis kehutanan menganggap apa yang dilakukan pemerintah tidak cukup. Dengan mengambil kasus kejadian kebakaran hutan di Kalimantan Tengah, para aktivis itu menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri (PN) Palangkaraya, pertengahan 2016. Tuntutannya, antara lain, supaya pemerintah menerbitkan Peraturan Pelaksana UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan peraturan lainnya untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan melibatkan peran serta masyarakat.

Sebagai tergugat, yang dianggap mewakili pemerintah, antara lain, Presiden Joko Widodo, Menteri LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan) Siti Nurbaya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional  (BPN) Sofyan Djalil, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran.

PN Palangkaraya mengabulkan gugatan pada  22 Maret 2017. Dalam putusannya, Pemerintah  dihukum dengan sanksi menerbitkan Peraturan Perintah (PP) tentang tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, PP tentang baku mutu lingkungan air, air laut, udara dan baku mutu lainnya sesuai perkembangan.

Ada pula putusan yang meminta diterbitkannya PP tentang  kriteria baku kerusakan lingkungan terkait kebakaran hutan dan atau lahan, PP tentang instrumen ekonomi lingkungan hidup, PP tentang analisis risiko lingkungan hidup, PP penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, serta PP tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup. Selain itu, pemerintah diminta  membuat tim gabungan untuk meninjau ulang dan merevisi izin-izin usaha pengelolaan hutan dan perkebunan yang ada di Kalteng.

Masih ada lanjutannya, pemerintah juga harus melakukan penegakan hukum lingkungan perdata, pidana, maupun administrasi atas perusahaan yang  lahannya terbakar, membuat roadmap pencegahan dini, penanggulangan serta pemulihan korban kebakaran hutan, dan pemulihan lingkungan.

Tak tanggung-tanggung, pemerintah juga diwajibkan mendirikan rumah sakit khusus bagi  para korban pencemaran udara asap di Kalteng dan gratis bagi korban asap. Ada pula, tindakan kedua yang diminta ialah memerintahkan seluruh rumah sakit di Kalteng membebaskan biaya pengobatan bagi masyarakat yang terkena dampak kabut asap.

Yang ketiga, membangun tempat evakuasi ruang bebas pencemaran. Keempat, menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dengan bekerja sama dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar. Ditambah lagi, yang kelima, pemerintah juga harus membuat peta kerawanan kebakaran hutan, lahan, dan perkebunan di Kalteng. Pemerintah juga diminta membuat kebijakan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan dan perkebunan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah.

Tidak hanya itu, pemerintah juga harus melakukan empat hal. Pertama, mengumumkan kepada publik perusahaan pemegang izin yang lahannya terbakar. Kedua, membangun sistem keterbukaan informasi kebakaran hutan dan lahan di Kalteng. Ketiga, mengumumkan dana jaminan lingkungan hidup dan dana penanggulangan kebakaran dari perusahaan  yang lahannya terbakar. Keempat, mengumumkan dana investasi pelestarian hutan dari perusahaan-perusahaan pemegang izin kehutanan.

Atas putusan PN Palangkaraya, pemerintah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Kalteng, dan kalah. Mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan kandas lagi. Putusan MA  yang diketok 16 Juli lalu itu menguatkan vonis PN Palangkaraya dan PT Kalteng. Presiden Jokowi serta  jajarannya dihukum. Pemerintah kini  berupaya untuk melakukan PK (peninjauan kembali) perkara di Mahkamah Agung.

Secara umum keputusan pengadilan itu berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup serta memberi rasa keadilan pada publik. Namun, apa jadinya jika perkara yang sama diajukan pula di PN Pekanbaru, Jambi, Palembang, Pontianak, Samarinda, Jayapura, dan yang lainnya.

Bagaimana pula jika gugatan itu melebar ke urusan lain. Seperti  menggugat tanggung jawab pemerintah dalam bencana gempa bumi, banjir, kekeringan, kecelakaan lalu lintas, wabah penyakit, wabah penyakit hewan, perumahan rakyat, harga produk pertanian, pencemaran sungai, pencemaran laut, halte bus, jembatan penyeberangan, kesempatan kerja, dan ratusan jenis isu publik lainnya? Belum lagi, jika urusan publik ini dikombinasikan dengan unsur lokalitas di lebih dari 500 kabupaten/kota.

Persoalan akan semakin rumit karena ada masalah keterbatasan anggaran, dampak politik, kepentingan investasi, pertumbuhan ekonomi, prioritas pembangunan jangka panjang dan menengah. Kemerdekaan lembaga hukum yang kelewat surplus akan menimbulkan keruwetan dalam tata kelola pemerintahan.

Pemisahan kekuasaan negara menjadi eksekutif, legislatif, dan eksekutif, bisa menghadirkan suasana yang harmoni  jika  tidak ada satu cabang kekuasaan yang bertindak berlebihan. Maka, mumpung fenomena surplus kekuasaan yudikatif  belum menjadi-jadi, perlu ada jalan konstitusional untuk membawa kekuasaan itu bisa berjalan secara lebih proporsional. (P-1)