Bentuknya gemuk pendek dengan warna kulit kuning emas, yang kadang dihiasi bercak-bercak coklat. Namun, kekhasan itu yang justru membuat pisang emas asal Tanggamus, Lampung Timur itu mudah dikenali konsumen di Sanghai dan kota-kota sekitarnya. Pisang emas Lampung itu disukai karena teksturnya lembut tapi tidak lembek, beramoma harum, dan manisnya pas. Semakin ada bercak coklat, semakin manis dan harum.
Sebagai komoditas hortikultura, pisang mas Tanggamus ini punya daya saing kuat menghadapi saingan dari Filipina, Vietam, dan utamanya dari Negara Amerika Tengah, Equador. Belakangan pasar pisang emas itu melebar ke Singapura dan Malaysia. Masih ada peluang untuk menambah pasokan ke pasar dan bukan hanya di Asia, melainkan ke Amerika Utara dan Eropa.
Tidak heran bila Menteri Kondinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution merasa perlu meninjau sentra produksi pisang emas di Tanggamus, Kamis (25/7/2019). Darmin ingin menyaksikan secara langsung sentra hortikultura yang merupakan kolaborasi masyarakat dan korporasi PT Great Giant Pineapple (GGP). Di kompleks industri PT GGP Tanggamus itu, Menko Darmin mendapat keterangan bahwa sebagian dari buah-buahan itu dihasilkan dari kebun rakyat.
PT Great Giant Pineapple itu sendiri juga memproduksi pisang, nanas, jambu, dan beberapa jenis buah lainnya di kebunnya seluas 33 ribu ha di Tanggamus. Produk utamanya adalah nanas kaleng dan nanas segar. Bahkan sejak 2017, PT GPP tercatat sebagai produsen nanas terbesar kedua di dunia. Pasar terbesarnya di Eropa dan Amerika Utara.
Menurut Government Relations and External Affair Director Welly Soegiono, perusahaannya tiap tahun dapat memproduksi lebih dari 12 ribu kontainer nanas kaleng dan 10 juta box buah segar berupa pisang, nanas, jambu kristal, dan buah-buahan segar lainnya. Khusus untuk nanas kaleng, hampir 100% diekspor dengan nilai ratusan dolar Amerika. Sedangkan porsi ekspor buah segarnya mencapai 80%.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1564553925_Pisang_Ekspor.jpg" />
Petani menyeleksi pisang yang akan diekspor. Foto: ANTARA FOTO/Agus Wira Sukarta
PT Great Giant Pineapple sudah cukup lama merintis usahanya. Dibangun sawal 1980an, GGP berjalan setahap demi setahap. Tonggak penting terjadi pada 2015 ketika perusahaan ini memperoleh fasilitas sub-kontraktor kawasan berikat bea dan cukai. Dengan begitu, PT GGP bisa memperoleh layanan impor (untuk sarana produksi, termasuk bibit dan pupuk) dan layanan ekspor (produk olahan atau pun segar) secara lebih ringkas dan cepat.
Layanan itu membuat PT GGP bisa berlari lebih cepat. Pada tahun 2015 GGP tercatat menjadi produsen nanas kaleng terbesar ke-3 di dunia, dan dua tahun kemudian naik satu level lagi. Namun, dia tak ingin berjalan sendirian. Sejak 2015 korporasi ini mengajak petani setempat masuk dalam rantai produksinya, terutama dalam hal budidaya pisang dan nanas.
Tak mudah mengajak petani untuk mengubah usaha tani yang sudah lama digelutinya. Apalagi, dengan orientasi ekspor, petani perlu bekerja ekstra untuk menjaga kualitas. Namun, rangsangan ekonomi bisa membuat petani tanggamus cepat belajar. Kini ratusan petani yang tergabung dalam koperasi-koperasi telah bergan dengan tangan dengan Great Giant. Luas lahan petani binaan itu yang sudah berproduksi 370 hektar, dan tengah bergerak ke 1.000 ha.
Adanya sub-kontrak kawasan berikat bea dan cukai khusus untuk petani sejak 2017 mendorong lebih banyak petani ikut dalam program nanas dan pisang itu. Petani bisa mendapat sarana produksi dengan harga lebih murah dengan kualitas prima. Tak heran, bila petani yang sudah puluhan tahun menanam kopi banting setir ke pisang dan nanas.
Seperti disampaikan kepada para petani yang menemui Menko Darmin Nasution di Tanggamus, mereka merasa lebih sejahtera dengan nanas dan pisang. Satu hektar kopi hanya menghasilkan Rp20 juta per tahun. Dengan menanam pisang emas, semingggu mereka bisa mengantungi Rp1,7 juta, atau Rp6,8 juta per bulan, berlipat kali dari kopi.
Petani mendapatkan bibit, pupuk, dan pestisida/insektisida dari PT Great Giant, Mereka tinggal tanam dan rawat. Hasil panen dibawa ke kantor koperasi, untuk disortir dan dikemas. Sortirannya ada grade A, B, C, dan D. Yang C dan D tidak bisa diekspor, tapi masih dapat dilempar ke pasar lokal meski harganya lebih rendah.
Kalau ada masalah penyakit atau problem produksi, para petani tinggal sampaikan ke supervisor GGP. Apalagi, belakangan mereka saling terhubung dalam aplikasi e-grower. Cukup dengan upload foto-foto pohon, atau buah, atau daunnya, lalu di-share ke group, maka akan ada berbagai komen dan ujungnya adalah rekomendasi penanganan dari supervisor.
Menko Darmin Nasution mengapresiasi pola kemitraan yang dibangun pihak swasta dan petani ini. Ke depan, katanya, pemerintah ingin menggenjot pembangunan infrastruktur dan logistik desa. “Petani akan lebih sejahtera jika ada yang mengajarkan budidaya pertanian yang baik dan ada yang membeli dengan harga yang jelas. Kita juga ingin ada logistik yang baik dari desa dan pasar pengumpul,” tegas Darmin.
Darmin Nasution juga mengatakan, kelompok tani pisang mas di Tanggamus ini kelompok tani pertama di Indonesia yang menerima manfaat fasilitas subkontrak kawasan berikat dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Menko Perekonomian ini juga mengajak para petani pisang itu untuk ikut menggenjot ekspor untuk mengurangi defisit perdagangan dan defisit pembayaran. Ia juga berharap agar pola kerja sama seperti di Tanggamus ini bisa tumbuh di tempat lain.
PT Great Giant Pineapple itu juga tak ingin berhenti di Tanggamus. Perusahaan ini juga terlah siap untuk melebarkan sayap ke tempat lain, dan yang sudah dijajaki adalah di Bali. (P-1)