Indonesia.go.id - Biarkan Air Kembali kepada Gambut

Biarkan Air Kembali kepada Gambut

  • Administrator
  • Senin, 19 Agustus 2019 | 01:49 WIB
LAHAN GAMBUT
  Presiden Joko Widodo Presiden Jokowi memeriksa pembuatan kanal gambut di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, (31/10/2015). Foto: ANTARA/Saptono

Selain menjadi rusak, lahan gambut yang kering mudah dilalap api. Tidak hanya moratorium, Presiden juga ingin memperbaiki kondisi lahan gambut. Embung menjadi salah satu solusi untuk terus membuatnya basah.

Embung itu cekungan untuk menampung air hujan. Bisa bentukan alam atau buatan manusia. Embung ikut menjaga supaya air tanah di lingkungannya tak mudah menyusut. Seringkali limpasan air embung ikut menambah debit sungai. Membangun embung-embung untuk membasahi lahan  gambut menjadi salah satu butir pada  instruksi presiden Joko Widodo dalam Rapat Kordinasi tentang  Bahaya Karhutla (Kebakaran Hutan dan Lahan) di Istana Negara, Jakarta, Selasa (6/8/2019).

Lahan gambut rawan menjadi korban kobaran api. Terbentuk dari 45-55% bahan organik, lahan gambut kering santapan empuk bagi api. Tak heran bila kasus-kasus karhutla hampir selalu melibatkan gambut. Betapa tidak. Lahan gambut ada di mana-mana. Indonesia memiiliki sekitar 18 juta ha dan sekitar 6 juta ha di antaranya berada di sepanjang pantai Timur Sumatra. Ukuran yang kurang lebihnya sama ada di Kalimantan. Selebihnya ada di Papua, Sulawesi, dan beberapa pulau lain Indonesia.

Hutan gambut tentu bukan khas Indonesia. Lahan gambut tropis di Asia juga ada di Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Filipina, India, dan Bangladesh. Dalam jumlah besar, lahan gambut juga di Brazilia, Peru, dan negara latin lainnya. Amerika serikat juga memiliki lahan gambut sangat luas, seperti halnya Rusia. Bahkan di Afrika pun ada lahan gambut di beberapa negara, di antaranya Kongo.

Secara umum lahan gambut bersifat asam, strukturnya rapuh, dengan tingkat kesuburan yang rendah. Para ahli tanah menyebutnya marginal and fragile. Ketebalannya di Indonesia bervariasi mulai dari satu hingga lebih dari 10 meter. Dengan kekhasannya itu, hutan gambut menjadi ekosistem tersendiri, yang berbeda dari hutan sekeliling yang tumbuh di atas tanah mineral.

Ekosistem hutan gambut itu sendiri berbeda-beda mengikuti kedalamannya. Secara umum, pohon-pohon yang tumbuh alamiah di hutan gambut Sumatra dan Kalimantan adalah keruing, meranti,  jelutung, ramin, meranti rawa, bungur, bolam pora, bolam tembaga, palem merah, dan seterusnya. Setidaknya ada 34 jenis pohon yang kayunya memiliki nilai ekonomi di berbagai jenis gambut. Sedangkan bungur dan palem merah diboyong ke kota untuk dijadikan peneduh jalan dan pohon hias.

Seiring dengan eksploitasi hutan di Indonesia sejak 1970-an, kawasan lahan gambut pun makin terbuka. Meski, sulit dijadikan lahan untuk produksi tanaman pangan, gambut ternyata bisa dimanfaaatkan untuk tanaman perkebunan seperti karet, hutan tanaman industri (HTI) dengan tegakan Eukaliptus dan Acasia untuk pulp/paper, dan yang terbesar kelapa sawit. Hingga saat ini jutaan ha lahan hutan gambut telah berubah menjadi kebun sawit atau lahan HTI.

Eksploitasi hutan di Indonesia, termasuk hutan gambut itu, telah menuai protes sejak awal tahun 1980-an dari kaum pecinta lingkungan. Ada tudingan merusak sistem tata air, merusak keanekaragaman hayati, dan sejak 20 tahun terakhir yang ramai soal emisi karbon/gas rumah kaca. Namun, pemanfaatan lahan gambut terus berlanjut, sampai Presiden Jokowi melakukan moratorium sejak 2015.

Lahan gambut ini rawan. Pengeringan yang berlebihan, untuk kebun baru, mengakibatkan kerusakan fisik pada gambut. Koloidnya, yang menjadi material utama unsur organiknya, akan hancur tersengat cuaca panas dan kering, dan tidak bisa pulih (irreversible drying). Pada kondisi itulah gambut berubah seperti arang dan tidak mampu menyediakan hara dan menahan air, dan kondisi itu akan merugikan pertumbuhan tanaman dan vegetasi.

Hutan gambut di Indonesia dan Malaysia tergolong ekosistem muda. Hutan gambut itu terbentuk pada akhir zaman es. Kenaikan permukaan laut mulai melambat. Kawasan hutan yang tergenang sedikit demi sedikit peluang vegetasinya beradaptasi. Dalam kondisi basah, vegetasi di sana tetap tumbuh, bahkan penumpukan material organik yang terjadi melampaui kecepatan dekomposisinya.

Terbentuklah lapisan organik yang karena sering tergenang, suasananya miskin oksigen. Dekomposisi bahan organik terjadi dalam suasana miskin oksigen (anaerobik). Laju penumpukan bahan organik itu antara 20-100 cm dalam 100 tahun. Walhasil, terbentuklah kawasan gambut seperti yang terlihat saat ini. Jejak karbon aktif menunjukkan bahwa gambut Indonesia umurnya antara 4.000 – 11.000 tahun. Toh, semuanya itu bisa hilang dalam sekejap ketika gambut dikelola dan dikonversi secara sembrono.

Ketika lahan gambut akan dikonversi menjadi kebun, tahap pertamanya adalah menebas semua pohon di atasnya dan hanya menyisakan perdu serta belukar. Tajuk hutan yang bisa menjulangg 40-50 meter itu lenyap. Lantas, kanal-kanal drainase dibangun untuk mengeringkan lahan yang basah dan mengatur agar muka air dipertahankan di kedalaman 70 cm. Prakteknya, muka air itu tidak terkontrol sehingga lahan gambut kerontang di musim kering.

Pada situasi ini kerawanan mulai timbul. Proses oksidasi alamiah membuat gambut memproduksi gas-gas rumah kaca (CO2, CO, NO2, SO2 , serta  metana CH4) , memicu kenaikan suhu di atmofer bumi, dan membangkitkan perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca terus terjadi, bahkan hingga gambut itu sudah menjadi kebun. Emisinya mencapai 40 ton gas rumah kaca setara CO2 bagi sawit dan 70 ton setara CO2 untuk HTI. Itu setara dengan membakar 4.500–7.800 galon bensin per tahun.

Tidak cukup hanya dengan moratorium, Presiden Joko Widodo juga bertekad merestorasinya. Melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dibentuknya pada 2015, Presiden mencanangkan aksi perbaikan di areal gambut yang tegakan hutannya sudah tercampak. Termasuk di dalamnya ialah lahan yang sudah dikuasasi oleh korporasi besar. Targetnya, sejuta lahan gambut kembali basah terairi.

BRG langsung terjun ke lapangan. Meski tak tersedia peta yang jelas, karena peta hutan yang ada tidak memberikan batas antara hutan gambut dan hutan di tanah mineral. BRG memulai di 18 dari 104 KHG (Kawasan Hidrologi Gambut) yang sudah terpetakan. Yang dilakukan BRG adalah membasahi kembali lahan gambut tersebut. Di sebuah kawasan, contoh di satu KHG di Kalimantan Barat, badan negara itu membuat 326 unit sumur bor dan 479 unit sekat kanal.

BRG juga bekerja sama dengan rakyat dan swasta untuk membasahi lahan gambut tersebut. Aksi yang dijalankan, antara lain, dengan membuat sekat kanal, agar kawasan gambut itu tetap bisa menahan air di musim kering. Upaya itu tak sia-sia. BRG mengklaim, daerah-daerah yang sudah ditanganinya itu kini tidak lagi banyak menghasilkan hotspot di tengah kemarau.

Tugas BRG kini bertambah satu lagi, yakni membangun embung. Sesuai sejarahnya, lahan gambut memang harus terjaga tetap basah. Gambut basah tak mudah terbakar. (P-1)