Derasnya produk impor dari Cina dan beberapa negara lain ke negeri ini dan adanya trendefisit neraca perdagangan telah memberikan peringatan agar pengambil keputusan segera bereaksi dengan mengambil tindakan tegas untuk mengamankan perekonomian nasional.
Kebijakan Kementerian Keuangan mengeluarkan dua aturan yang tentu sangat didukung dan diapresiasi. Kebijakan itu adalah, pertama, pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 114/PMK.010/2019 mengenai pengenaan Bea Masuk Antidumping terhadap impor produk PolyesterStaple Fiber dari India, Cina, dan Taiwan.
Kedua, PMK No 115/PMIZ.010/2019 Tentang Pengenaan Bea Masuk Antidumping terhadap impor produk spin drawn yarn (SDY) dari Cina. Sebagai catatan, tarif BMAD merupakan tarif tambahan dari tarif yang berlaku secara umum atau berdasarkan pada most favoured nation (MFN).
Aturan menteri ini masing masing diteken pada 5 Agustus dan 6 Agustus 2019. Aturan ini berlaku 14 hari setelah diundangkan atau 19 Agustuus dan 20 Agustus. Menkeu menetapkan dua aturan ini berlaku untuk impor selama tiga tahun ke depan, terhitung sejak aturan berlaku.
Keluarnya PMK tentu sangat menggembirakan. Bahkan, seperti disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, kondisi industri TPT (tekstil dan produk tekstil) secara umum justru masih menjanjikan.
Bisa jadi apa yang dikatakan Ade ada benarnya. Dalam lima tahun terakhir, industri TPT sebenarnya mulai bergeliat, terlihat dari laju pertumbuhan PDB-nya. Pada 2015, pertumbuhan industri TPT turun 4,79% dan pada tahun berikutnya turun 0,09%.
Namun, memasuki 2017 geliat industri TPT mulai tumbuh. Hingga akhir 2017, industri TPT tumbuh sebesar 3,83%. Pada 2018, kinerja industri TPT kian membaik dengan laju pertumbuhan PDB mencapai 8,73%.
Kondisi industri TPT yang sedang tancap gas juga dibuktikan dengan data lainnya. Yakni, dari kinerja pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang. Dari data tersebut, industri TPT tercatat naik 19% sepanjang kuartal I/2019 (YOY). Dari pertumbuhan industri manufaktur besar dan sedang TPT, produksi pakaian jadi mencatatkan kenaikan yang signifikan sebesar 29%. Sementara itu, produksi tekstil hanya sekitar 9%.
Kendati kinerja industri TPT terlihat positif, harus diakui ada sub-sektor tertentu dari industri TPT yang kinerjanya menurun. Dalam konteks hasil produknya, industri TPT terbagi atas empat jenis pabrik, yakni pabrik serat, benang, kain dan pakaian jadi. Adapun untuk pabrik serat, benang, dan kain tersebut masuk ke dalam kelompok industri tekstil.
Dari keempat pabrik itu, seperti disampaikan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), kondisi industri serat, benang dan kain sedang lesu, terutama untuk pabrik skala mikro dan kecil. Dalam tiga tahun terakhir, utilitas produksi ketiga pabrik ini terus menurun.
Menurut data asosiasi itu, utilisasi kain sekarang tinggal 50% dari sebelumnya 60% pada 2017. Lalu benang dari 76% menjadi 70%. Begitu pun dengan produk serat dari 70% tinggal menyisakan 65%-67%.
Dan, masih menurut data asosiasi itu, produk yang masih bersaing adalah produk pakaian jadi yang masih tinggi sekitar 85%. Terlepas dari semua itu, industri TPT tetap harus mulai berbenah dan harus mampu bersaing dengan produk sejenis dari negara-negara lainnya. Misalnya, pendatang-pendatang seperti Vietnam, Myanmar, dan India.
Bayangkan, di era perdagangan bebas dan global saat ini, pelaku industri tidak lagi hanya bisa mengeluh. Mereka harus siap bertempur dan bersaing termasuk dari serbuan produk asal Cina.
Pengenaan bea masuk hingga 25% oleh Pemerintah Amerika Serikat untuk produk impor asal Cina, termasuk tekstil, telah membuat produsen tekstil asal Cina merelokasi penjualannya ke negara-negara yang lebih bersahabat seperti Indonesia. Hal ini sudah terjadi sejak Mei 2019.
Satu pengusaha yang tak mau disebut namanya mengatakan strategi Cina masuk ke pasar Indonesia adalah dengan strategi dumping. Artinya, mereka banjiri pasar dalam negeri dengan harga yang tidak masuk akal. Pasar tekstil dalam negeri pun kebanjiran pasokan (oversupply).
Strategi yang sama terjadi pada produk lainnya. Kasus banjirnya produk baja asal Cina di tengah booming pembangunan infrastruktur di Indonesia telah membuat Krakatau Steel, pabrikan berbendera Indonesia, seperti ayam mati di lumbung padi. BUMN itu kini mulai tersungkur.
Di era perdagangan bebas saat, pelaku usaha di sektor itu tidak hanya mengeluh saja. Efek perang dagang AS-Cina memang telah menjadi salah satu faktor industri tekstil makin tertekan.
Namun di sisi lain, perusahaan juga bisa mengambil peluang dari perang dagang tersebut dengan menghasilkan produk-produk tekstil yang berkualitas tinggi dan menyasar pasar kelas menengah atas (high end).
Peran pemerintah, termasuk mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terhadap impor produk PolyesterStaple Fiber dari India, Cina, dan Taiwan sudah benar. Bagi pelaku industri, kini saatnya mereka mencari peluang terutama mencari segmen baru. (F-1)