Memapaki tahun 2019, bisnis penerbangan nasional masih harus menjelajahi medan yang berawan cumulus tebal. Arus penumpang terus menyusut. Bandara Ngurah Rai di Bali dan Bandara Kualanamu Medan mencatat penurunan penumpang yang signifikan.Secara nasional, sepanjang Januari-Mei 2019 terjadi penyusutan 21,33 persen dibandingkan periode yang sama di tahun 2018.
Kenaikan harga tiket dituding sebagai biang keladinya. Era tiket murah, yang mendorong pertumbuhan bisnis penerbangan domestik di kisaran 10 persen per tahun, pun berakhir. Perusahaan airlines sendiri merasa harus menyesuaikan harga tiketnya di tengah kenaikan biaya operasionalnya.
Bagi Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), fluktuasi bisnis itu adalah hal biasa. Dalam jangka panjang, industri penerbangan diperkirakan akan terus tumbuh pesat. Bahkan, menurut proyeksi IATA, di tahun 2034 nanti, jumlah penumpang untuk penerbangan domestik Indonesia akan mencapai 270 juta orang. Tiga kali lipat dari penumpang domestik 2018.
Untuk melayani 91 juta penumpang domestik itu, industri penerbangan nasional mengoperasikan tidak kurang dari 1.030 unit pesawat dari berbagai jenis dan ukuran. Semuanya memerlukan perawatan dan reparasi rutin. Seiring bertambahnya jumlah pesawat, jasa perawatanan, perbaikan, dan bongkar mesin (maintenance, repair, dan overhaul) akan meningkat pula.
Maka, memanfaatkan momentum suasana HUT ke-74 Kemerdekaan RI, Menko Perekonomian Darmin Nasution terbang ke Batam (14/8/2019). Ia menghadiri acara penandatanganan nota kerja sama, peresmian, dan peletakan batu pertama Hanggar dan Fasilitas MRO di Kompleks Bandar Udara Hang Nadim Batam. Darmin hadir mewakilii pemerintah mendorong pengembangan pusat MRO di tanah air.
Di Batam sendiri telah hadir Batam Aero Technic (BAT), perusahaan miilik Lion Air, yang merintis bisnis layanan MRO. Untuk menambah kapasitasnya, Kompleks BAT itu kini sedang dikembangkan jadi 30 ha, dan di situ dibangun hanggar baru untuk fasilitas MRO. Di situ BAT bergandengan tangan dengan anak perusahaan Garuda Indonesia, yakni GMF (Garuda Maintenance Fasility).
Di kompleks itu pula BAT dan GMF berkongsi dengan Michelin, perusahaan asal Thailand, membangun bengkel vulkanisir ban seraya mendirikan pusat pendidikan dan pelatihan aviasi bertaraf internasional.
Darmin menganggap kerja sama GMF-BAT itu adalah langkah penting demi mendukung daya saing air lines nasional. Dengan 1.030 unit pesawat, industri penerbangan nasional kini membelanjakan sekitar Rp26 triliun per tahun untuk maintenance, repair, atau overhaul. Dari jumlah sebesar itu hanya 30-35 persen yang terserap oleh perusahaan MRO nasional semacam GMF atau BAT. Selebihnya, terbang ke luar negeri. Bahkan, untuk vulkanisir ban saja harus terbang ke Thailand.
Penyediaan MRO di Indonesia memang tertinggal dari cepatnya pertumbuhan industri penerbangan. Sejauh ini fasilitas MRO hanya ada di Bandara Soekarno-Hatta oleh GMF, di Bandara Juanda Surabaya (GMF kerja sama dengan Merpati) dan di Hang Nadim Batam oleh BAT. Rencana pengembangan GMF ke Makassar, dan pembangunan fasilitas MRO oleh Sriwijaya di Bandara Depati Amir di Bangka belum terealisasikan.
Dengan fasilitas MRO baru di dalam negeri itu, diharapkan beban industri penerbangan nasional bisa ditekan. Mulai dari vulkanisir ban, pergantian komponen, pembaikan airframe (bodi) pesawat, hingga pemeliharaan yang lebih menyeluruh. Baik GMF maupun BAT telah mengantungi sertifikat dari FAA (Federal Aviation Agency), badan pengawas keselamatan penerbangan Amerika Serikat, yang dijadikan rujukan secara internasional.
Bukan hanya peluang pasar domestik, jasa MRO boleh mengincar pasar Asia-Pasifik. Dengan populasi 8.500 unit pesawat, industri penerbangan Asia-Pasifik membelanjakan uang USD75,5 miliar (Rp1.057 triliun) per tahun untuk MRO. Angka ini tumbuh sekitar 4,5 – 5 persen per tahun. Darmin menyerukan agar penyedia jasa MRO nasional ikut aktif membidik pasar jumbo tersebut. Setidaknya dari airliners di Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Dari area fasilitas MRO Hang Nadim Batam itu memang banyak hal bisa dikembangkan. Ada jasa MRO untuk engines, penyediaan komponen, airframe, modifikasi, jaringan elektrifikasi , sistem mekanik dan aspek lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan itu tentu diperlukan tenaga muda terampil serta cekatan. Dalam urusan inilah Menko Darmin Nasution sekaligus meresmikan Politeknik Avionik Kirana Angkasa, pendidikan vokasional yang langsung menempel di Kompleks BAT di Hang Nadim.
Investasi yang telah ditanam di Hang Nadim untuk segala keperluan itu tidak kurang dari USD466 juta (Rp6,3 triliun). Darmiin berharap agar investasi iitu tidak hanya mendorong perekonomian di Batam. Llebih dari itu, ikut mendukung pengembangan industri penerbangan nasional terutama untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi. Dengan efisiensi tinggi, isu tiket mahal tak akan berkepanjangan.
Lokasi area MRO BAT-GMF di Hang Nadim Batam itu juga dianggap membawa sejumlah keunggulan. Di antaranya dekat dengan Singapura, yang secara resmi menjadi lokasi Original Equipment Manufacturer (OEM) untuk stok sparepart pesawat . Singapura sendiri adalah hub penerbangan internasional. Bukan hal yang sulit bila burung-burung besi yang datang dan pergi dari negeri Singa itu singgah ke Batam untuk tujuan check line dan reparasi.
Ditambah pula status Batam sebagai area Free Trade Zone (FTZ) alias Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), dengan berbagai kemudahan bisnis dan insentif fiskal. Lalu lintas spareparts akan lebih cepat dan murah sehingga jasa MRO di Batam lebih kompetitif.
Satu hal lagi yang tak bisa diabaikan, secara geografis Batam tak jauh dari negara-negara Asia Tenggara dan Asia Selatan yang berpotensi menjadi target market jasa MRO kawanan burung besi itu. Tak heran Darmin Nasution tampak bersemangat mendorong bengkel MRO di Batam itu segera beraksi. (P-1)