Indonesia.go.id - Kini Jabodetabek, Kelak Bisa Saja Jabakupasa

Kini Jabodetabek, Kelak Bisa Saja Jabakupasa

  • Administrator
  • Jumat, 30 Agustus 2019 | 01:22 WIB
IBU KOTA BARU
  Ibu Kota Baru. Foto: IndonesiaGOID/Erna Suparno

Berada di antara  Balikpapan dan Samarinda, Ibu Kota RI akan berdiri di atas lahan datar tanpa bukit. Tak ada banjir kiriman. Air sumur butek, tapi sumber air baku PDAM melimpah. Bandaranya, bisa nebeng ke Balikpapan dan Samarinda.

Dari Kota Samarinda via Jalan Tol ke arah Balikpapan, pada sekitar kilometer 60 ada pintu exit tol kiri. Keluar dari pintu tol kendaraan akan masuk ke bulevar dua jalur, masing-masing tiga lajur, membujur dari Barat ke Timur. Pohon-pohon pelindung seperti trembesi, tanjung, ketapang, mahoni, bintaro, dan berbagai jenis lainnya berjajar di pinggir jalan dan di jalur pemisah. Itulah salah satu koridor jalan raya Timur–Barat di kota baru, Ibu Kota Baru Indonesia. Orang menyebutnya New Jakarta (NJ).

Begitulah sepenggal ilusi tentang Jakarta Baru, setelah lokasinya diumumkan Presiden Joko Widodo di Jakarta, awal pekan (26/8/2019). Dalam konferensi pers yang dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur DKI Anies R Baswedan, Gubernur Isran Noor, dan sejumlah menteri itu, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa ibu kota baru itu terletak di Kalimantan Timur, sebagian masuk Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian lainnya di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Luas lahan ibu kota itu kelak sekitar 180.000 ha atau 1.800 km2, hampir tiga kali luas DKI yang 650 km2. Kota NJ nantinya akan memiliki pantai yang menghadap Selatar Makassar. Sekiranya lebar kota 30 km, maka bagian kota lainnya akan menyusur ke barat sejauh 60 km dari Timur ke Barat. Kawasan kota NJ itu sebagian menumpang di Kabupaten Kutai Kartanegara (luasnya 27.263 km2) dan sebagian kecil ada di Penajam Paser Utara (3.334 km2). Penduduknya masih jarang. Kalau dijumlah hanya ada sekitar 900 ribu jiwa yang menghuni dua kabupaten yang luasnya hampir sama dengan Jawa Tengah itu.

Dengan pakem bahwa Ibu Kota RI sebagai negara maritim semestinya di tepi pantai, maka diasumsikan bahwa ibu kota baru itu dibangun dari tepi Pantai Selat Makassar. Bila kota baru itu mengambil 30 km garis pantai, maka kota akan menjorok 69 km ke arah pedalaman hingga menyentuh perbukitan yang sekira 100-150 meter tingginya.

Secara umum, New Jakarta akan terhampar di lahan datar, flat, dengan kemiringan sekitar 3-4 persen saja. Jalan raya dan Jalan Tol Balikpapan-Samarinda (yang akan rampung tahun ini), akan membelah West NJ di Barat ke arah pedalaman dan East NJ di sisi Timur hingga pantai. Boleh jadi, Pantai Lamaru dan Manggar Segara (saat ini masuk Kutai Kartanegara) menjadi bagian NJ. Di sekitar pantai terhampar tanah mineral yang sangat luas. Cocok untuk kantor pemerintahan, lembaga negara, sentra niaga, atau kawasan hotel.

Kawasan permukiman bisa ke pedalaman. Namun, sampai 10 km masuk ke pedalaman masih ada saja tanah gambut. Kalau bisa dihindari. Biarkan saja gambut itu menjadi taman kota atau daerah resapan air. Yang jadi masalah bagi permukiman di situ adalah soal air bersih. Meski sumur air dangkal 5 - 10 m  bisa menjamin air sepanjang tahun, tapi kualitasnya buruk, masam, butek, dan kandungan besi tinggi. Perusahaan daerah air minum (PDAM) harus hadir lebih dini.

Untuk memproduksi air bersih tidak sulit. Sumber air baku melimpah. Kawasan ini memiliki curah hujan sekitar 2.000--2.500 mm per tahun, mirip di daerah Jakarta Selatan. Di sana banyak sungai-sungai kecil yang bisa dibendung dan airnya digunakan untuk air baku PDAM. Kalau kurang, ada danau-danau besar di hulu yang bisa memasok air baku sepanjang tahun, seperti Waduk Jatilihur menghidupi Jakarta.

Untuk jangka pendek, dan berlaku sementara, bisa memanfaatkan sumur air dalam. Dengan membor tanah sedalam 100 – 120 meter, akan diperoleh sumur artesis dengan kualitas bagus. Satu sumur bisa melayani warga satu RT seperti yang kini berlaku di Kota Kutai Kartanegara.

Di kawasan ini tak ada banjir kiriman. Area NJ tidak masuk dalam daerah aliran sungai (DAS) manapun. Di sisi utara, yakni Kota Samarinda dan Kutai Kartanegara memang berada di tepian Sungai Mahakam  yang memiliki debit sangat besar, karena panjangnya 920 km dan memiliki banyak anak sungai. Justru karena di luar DAS Mahakam, areal New Jakarta itu bebas dari ancaman banjir kiriman.

Karena hanya dilewati sungai-sungai kecil, masalah air limpasan di NJ itu lebih mudah dikelola. Hanya saja, karena datarannya flat, air tidak bisa menghilir cepat. Maka, di ibu kota baru itu mau tak mau harus dibangun kanal-kanal lebar saling terhubung, termasuk dengan embung-embung (polder) yang ada.

Titik-titik yang mungkin berada di bawah muka laut atau yang selevel, perlu ditandai dari, dan dijadikan saja sebagai water reservoar. Jangan sampai terulang kisah sedih ala Kota Jakarta, di mana situ (rawa) diuruk sekadarnya dan dijadikan perumahan, begitu tergenang oleh air hujan, pemerintah disuruh tanggung jawab.

Setidaknya NJ sudah punya infrastruktur jalan tol, yakni Balikpapan-Samarinda yang akan menjadi kota pendukungnya. Jaringan lalu lintas dalam kota bisa diatur sejak dini. Jalan tol dalam kota mungkin tidak perlu. Kereta komuter bisa menjadi pilihan, bahkan terhubung ke Samarinda dan Balikpapan. Bandara? Mungkin tidak mendesak. Bandara di Balikpapan maupun Samarinda, yang masing-masing berjarak 60 km ke pusat Kota NJ, sudah berkelas internasional. Buat apa bikin baru.

Yang nanti membedakan dengan Jakarta adalah jadwal membawa payung atau jas hujan. Jakarta dan NJ punya pola hujan yang berbeda. Hujan di Jakarta bersifat monsoonal dan puncaknya di Januari-Februari, sedangkan NJ berpola equtorial dengan dua puncak hujan, yakni pada November - Desember dan April –Mei. Puncak kemaraunya sama sekitar Agustus-September.

Tata kelola transportasi, sarana umum, arus barang dan pelayanan keamanan oleh Polri, bisa saja akan mirip Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hanya saja kali ini formasi berubah, menjadi New (Ja)karta, (Ba)likpapan, (Ku)tai Kartanegara, (Pa)najam dan (Sa)marinda, yang bisa dibikin akronim menjadi Jabapakusa. Semua itu mungkin akan ada waktunya.

Rencana perpindahan Ibu Kota RI sejauh sekitar 1,800 km (garis lurus) sepertinya bakal berjalan lancar, terutama jika Presiden Joko Widodo mendapat dukungan dari para pemangku kepentingan dan segala elemen politik. (P-1)