Masalah ekonomi dan energi hijau kembali disuarakan Presiden Jokowi ketika membuka agenda Presidensi G20 Indonesia terutama Business 20 (B20) Inception Meeting 2022.
Terminologi ‘hijau’ kini mulai seringkali kita dengar. Kata hijau itu tentu tidak berdiri sendiri. Kata hijau bisa mencakup berbagai sektor dengan spektrum yang sangat luas, mulai persoalan energi, industri, hingga belakangan meluas ke ekonomi.
Tentu saja, kata sakti hijau tidak datang secara tiba-tiba. Seiring dengan kencangnya tuntutan isu perubahan iklim ke permukaan, pembicaraan mengenai ekonomi hijau pun bergulir seakan tiada henti.
Sebagai bagian negara dunia, Indonesia pun menyadari potensi dan peluang itu. Oleh karenanya, pemerintah melalui Presiden Joko Widodo dalam pelbagai kesempatan selalu mendorong implementasi ekonomi hijau, baik itu energi hijau, keuangan hijau, teknologi hijau hingga produk hijau.
Bahkan, dalam rangka mengakselerasinya, Indonesia juga sudah bergabung dengan clean energy demand initiative (CEDI), yang merupakan sebuah inisiatif dari Pemerintah Amerika Serikat yang bersedia melakukan investasi di sektor energi bersih. Bagaimana implementasi Indonesia menuju energi hijau?
Bangsa ini sudah menetapkan sejumlah target yang harus dicapainya. Misalnya, penggunaan energi baru dan terbarukan diharapkan porsinya sudah mencapai 23 persen di energi primer pada 2025.
Dengan sejumlah target itu diharapkan pengurangan emisi karbon bisa mencapai 29--41 persen berdasarkan target Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2030 dan net zero emission pada 2060 atau lebih cepat dengan dukungan internasional.
Dalam pelbagai kesempatan Presiden Joko Widodo juga sudah menyampaikan gagasannya berkaitan dengan tuntutan dunia untuk ekonomi hijau. Salah satunya, ketika di Kompas 100 CEO Forum 2021, pertengahan November 2021.
Menurut Kepala Negara, pemerintah memiliki strategi besar menuju ekonomi hijau. Presiden Jokowi menambahkan, Indonesia akan mengarah ke ekonomi hijau atau green economy. Sebab, bangsa ini mempunyai kekuatan besar. "Kita harus mulai menatanya," ujarnya.
Bahkan, potensi itu semakin besar dan menjadi peluang bagi Indonesia karena sejumlah negara di Benua Biru Eropa dan Amerika sudah tidak mau menerima produk yang berasal dari energi fosil. "Kita memiliki potensi ekonomi hijau tersebut."
Masalah ekonomi dan energi hijau kembali disuarakan Presiden Jokowi ketika membuka agenda Presidensi G20 Indonesia terutama Business 20 (B20) Inception Meeting 2022. Di acara yang berlangsung secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Kamis (27/1/2022), Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mendorong B20 untuk berkontribusi dalam upaya mempercepat transformasi energi ini.
“Kami mengharapkan kontribusi B20 untuk mempercepat transformasi energi yang mulus, tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat kecil,” ujarnya.
Solusi global dalam hal pendanaan dan kemitraan, imbuh Presiden, merupakan agenda yang harus menjadi perhatian utama termasuk alih teknologi untuk mendorong produksi berbasis ekonomi hijau. “Potensi di sektor energi terbarukan harus diikuti dengan skenario dan peta jalan yang jelas, termasuk pendanaan dan investasi,” imbuhnya.
Kepala Negara mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan sebesar 418 gigawatt, baik itu yang bersumber dari air, panas bumi, angin, maupun matahari. Indonesia juga memiliki kekayaan sumber daya mineral logam yang dibutuhkan untuk mendorong transisi menuju ekonomi hijau yang berkelanjutan.
Transisi Energi
Lebih lanjut Presiden Jokowi menyampaikan, mekanisme transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan yang dilakukan Pemerintah Indonesia akan tetap menjamin kepastian investasi. Pemerintah mendorong “pensiun dini” pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Jawa dan Sumatra dan beralih ke energi baru terbarukan seperti geotermal dan solar panel.
“Kita akan membuka partisipasi di sektor swasta untuk berinvestasi di transisi energi ini. Saat ini, ada 5,5 gigawatt PLTU yang siap untuk program early retirement ini,” imbuhnya.
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi itu benar adanya. Ekonomi hijau berserta derivatifnya memiliki tujuan akhir mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengurangi kesenjangan di masyarakat. Sembari mengurangi risiko lingkungan dan memastikan bahwa sumber daya alam lestari alias sustainable.
Tentu, posisi Indonesia sangat penting dan strategis dalam perbincangan ihwal ekonomi hijau ini. Terlebih dikaitkan dengan penanganan perubahan iklim, mengingat Indonesia merupakan salah satu gudang oksigen terbesar di dunia.
Pasalnya, Indonesia memiliki, bahkan kaya, dengan sumber daya mineral dan potensi keanekaragaman hayati, termasuk di dalamnya pertanian, perikanan, dan kehutanan. Namun, menuju ekonomi nonkonvensional yang berkelanjutan ini butuh biaya sangat besar.
Dalam satu kesempatan, Ketua OJK Wimboh Santoso mengemukakan, kebutuhan dana penanganan iklim di Indonesia mencapai USD479 miliar, atau berkisar Rp6.700 triliun hingga 2030. Itu berarti kebutuhan dana mencapai Rp745 triliun per tahun, sebuah angka yang sangat besar.
Tentu pemerintah akan kesulitan memikulnya sendiri, apabila tidak ada kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk private sector. Apalagi, dua tahun terakhir ini Indonesia dibebani dengan biaya penanganan pandemi yang menguras kocek anggaran.
Ternyata tidak cuma Indonesia. Sejumlah negara juga dipaksa mengalokasikan dana besar untuk keperluan transisi menuju ekonomi berkelanjutan ini. Sebagai contoh, Jepang mengalokasikan dana USD40 miliar.
Bila dikalkulasi dengan nilai rupiah, alokasi dana kedua negara itu tentu bukan angka recehan. Kebutuhan pembiayaan tersebut tentunya tidak dapat ditanggung hanya dengan APBN.
Dibutuhkan sinergi antara swasta dan pemerintah, bahkan bantuan organisasi internasional agar pengembangan ekonomi hijau dapat berjalan secara optimal.
Nah bagaimana mencapai level ekonomi hijau seperti diharapkan? Tentu pemerintah tidak bisa berjalan sendirian. Untuk mengakselerasi partisipasi swasta tersebut, pemerintah memberikan dukungan kebijakan dan kerangka peraturan yang menguntungkan bagi sektor swasta.
Bentuknya bisa macam-macam, seperti melalui skema insentif dan disinsentif serta kepercayaan untuk berinvestasi dalam proyek ekonomi hijau. Bila semua itu dilakukan, Indonesia diyakini sejajar dalam ikhtiar global mengembangkan ekonomi hijau yang ramah lingkungan.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari