Penerapan local currency settlement dalam perdagangan bilateral dinilai sebagai langkah tepat dalam pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Saling interaksi antarnegara kini sudah menjadi tuntutan sebagai bagian dari globalisasi. Intensitas hubungan antarnegara itu juga dipengaruhi oleh kepentingan nasional negara yang bersangkutan.
Cara untuk memenuhi kebutuhan dari masing-masing negara sebagai bagian dari national interest juga menyentuh pada kegiatan perdagangan internasional mereka. Nah, dalam konteks perdagangan internasional itulah tentu dibutuhkan mata uang yang disepakati untuk digunakan dalam transaksi perdagangan mereka.
Selama ini yang digunakan adalah dolar AS. Sayang, pelbagai peristiwa dunia telah menyebabkan volatilitas dari mata uang itu, dolar AS. Penggunaan dolar AS menyebabkan pertukaran nilai tukar rupiah terhadap dolar berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya risiko perubahan nilai tukar mata uang yang timbul karena adanya ketidakpastian nilai tukar itu sendiri. Perubahan nilai tukar ini berpengaruh langsung terhadap perkembangan harga barang dan jasa produk negara yang bersangkutan.
Menyadari bahwa terjadinya volatilitas nilai tukar mata uang juga berdampak pada apresiasi dan depresiasi mata uang, sejumlah negara di Asia pun mendorong penggunaan uang lokal untuk mengantisipasi volatilitas mata uang tersebut. Isu itu jugalah yang mengemuka di forum G20.
Beberapa negara menginisiasi penggunaan uang local (local currency). Melalui perjanjian local currency settlement (LCS), transaksi perdagangan internasional akan diselesaikan dengan mata uang lokal masing-masing negara. Tidak melulu dolar AS, seperti sebelumnya.
Penerapan local currency settlement dalam perdagangan bilateral dinilai sebagai langkah tepat dalam pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19. Skema itu dapat diterapkan dalam skala lebih besar dengan dukungan negara-negara G20.
Pernyataan itulah yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam gelaran G20 Finance Track Main & Side Events, Rabu (16/2/2022). Pertemuan yang diselenggarakan secara daring itu mengambil tema besar, yakni “Strategic Policy Framework to Enchance The Usage Local Currency Settlement in Trade and Investment in Asia”. Pertemuan itu merupakan bagian dari rangkaian acara Presidensi G20 Indonesia.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Covid-19 menunjukkan bahwa risiko pandemi dapat berdampak terhadap pasar keuangan dan sektor riil. Sebelumnya, gangguan terhadap perekonomian seringkali datang dari risiko fiskal dan moneter, bukan dari masalah kesehatan, sehingga kondisi saat ini harus menjadi pelajaran.
Diversifikasi Mata Uang
Indonesia saat ini mendorong inisiatif dengan berbagai mitra bilateral, seperti Malaysia, Thailand, dan Jepang untuk mengimplementasikan diversifikasi mata uang dalam transaksi perdagangan. Indonesia pun mendorong implementasi LCS dalam transaksi di masa pandemi Covid-19.
"Ini penting untuk mengurangi ketergantungan dari menggunakan satu jenis mata uang, khususnya dolar Amerika Serikat. LCS juga dapat menurunkan biaya transaksi, karena pelaku perdagangan tidak perlu mengkonversi [mata uangnya] ke dolar terlebih dahulu," tambah Sri Mulyani.
LCS adalah penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara, lalu penyelesaian transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing. Misalnya, penyelesaian transaksi perdagangan Indonesia dan Jepang dilakukan dalam rupiah dan penyelesaian transaksi dilakukan di Indonesia. Begitu pun sebaliknya, jika transaksi perdagangan kedua negara dilakukan dalam yen maka penyelesaian transaksi dilakukan di Jepang.
Sri Mulyani menilai bahwa LCS dapat memfasilitasi investasi yang lebih besar. Skema itu pun dapat menjadi langkah penting bagi masyarakat global untuk mengembalikan perekonomian dari kondisi pandemi Covid-19. "[Local currency settlement] dapat menjadi exit strategy untuk mendukung pemulihan ekonomi global. Diversifikasi dapat mendukung kondisi makroekonomi, pemulihan bisa sustain bukan hanya bagi satu negara, tetapi bagi global," ujar Sri Mulyani.
Pada kesempatan yang sama, Gubernur People's Bank of China (PBC) Yi Gang mengemukakan, implementasi LCS akan memperkuat ketahanan ekonomi Asia sehingga berpotensi terhindar dari imbas negatif kebijakan negara maju selama masa pemulihan.
"Pasar negara berkembang harus meningkatkan ketahanannya. Di sinilah, kerja sama keuangan regional memainkan peran kuncinya," ujarnya.
Yi Gang menambahkan, sejauh ini terdapat kemajuan substansial dalam penggunaan mata uang lokal untuk perdagangan dan investasi regional. Sehingga, ekonomi Asia lebih tahan terhadap guncangan eksternal.
Pertukaran mata uang, tambahnya, membantu meningkatkan jaring pengaman keuangan global sehingga menjadi suplemen yang berguna untuk sistem moneter internasional. Menurut Gubernur PBC itu, hingga saat ini pertukaran mata uang bilateral di antara negara-negara Asean+3 telah mencapai sekitar USD300 miliar sehingga menjadi back stop bagi stabilitas moneter dan keuangan regional.
Tiongkok dan beberapa negara di Asia telah melakukan perjanjian pertukaran mata uang, salah satunya dengan Indonesia. Bahkan, pada Januari 2022, PBC dan Bank Indonesia telah memperbaharui perjanjian pertukaran mata uang dan memperluas ukurannya dari USD31 miliar menjadi USD39 miliar.
Sependapat dengan Yi Gang, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo optimistis, transaksi perdagangan dan investasi menggunakan LCS akan mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun ini. Menurut catatan Bank Indonesia, total nilai transaksi LCS mencapai USD2,53 miliar pada 2021, meningkat signifikan dari tahun sebelumnya yang mencapai USD797 juta. “Kami memprediksi transaksi LCS akan tumbuh sebesar 10 persen pada 2022,” ujarnya.
Perry menambahkan jumlah tersebut didominasi oleh transaksi perdagangan yang mencapai 35 persen dari total transaksi, kemudian remitansi sebesar 14 persen dan investasi 1 persen, serta interbank for cover position sebesar 50 persen.
Gubernur Bank Indonesia menegaskan, transaksi LCS yang didorong oleh BI tidak hanya akan mendorong transaksi perdagangan dan investasi, tetapi juga turut mendukung pemulihan dan pertumbuhan ekonomi. Ke depan, Bank Indonesia berkomitmen terus memperluas penggunaan LCS tersebut sebagai sarana penyelesaian transaksi perdagangan dan investasi bilateral dengan negara-negara mitra utama, khususnya di Asia.
Menanggapi isu LCS, sejumlah pelaku industri, baik di sektor keuangan maupun dari sektor riil mendukung perluasan penggunaan LCS tersebut. “Melalui LCS, penanganan fluktuasi rupiah akan semakin baik. LCS membuat kemampuan perbankan untuk mendukung peluang pasar tanpa ada kekhawatiran fluktuasi nilai tukar,” ujarnya.
Demikian juga pendapat Dirut Bank BCA Jahja Setiaatmadja. “Kami salut dengan inisiatif Bank Indonesia dan partnernya di luar negeri. Inisiatif itu jadi jalan keluar untuk efektivitas dan efisiensi penggunaan mata uang,” pungkasnya.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari