Indonesia tetap mendorong implementasi komitmen-komitmen perubahan iklim. Pemanfaatan EBT tetap jadi prioritas.
Dari pegunungan Alpen Bavaria, Jerman, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengajak negara-negara G7 untuk berkontribusi memanfaatkan peluang investasi di sektor energi bersih di Indonesia.
“Terutama peluang investasi di sektor energi bersih di Indonesia, termasuk pengembangan ekosistem mobil listrik dan baterai litium,” ucap Presiden Jokowi saat menghadiri Konferensi Tingkat Tingkat Tinggi (KTT) G7 sesi working lunch dengan topik perubahan iklim, energi, dan kesehatan, di Kastil Schloss Elmau dekat Garmisch-Partenkirchen, Jerman Selatan, Senin (27/6/2022).
Menurut Presiden Jokowi, potensi Indonesia sebagai kontributor energi bersih, baik di dalam perut bumi, di darat, maupun di laut, sangat besar. Indonesia membutuhkan investasi besar dan teknologi rendah karbon untuk mendukung transisi menuju energi bersih yang cepat dan efektif.
“Indonesia membutuhkan setidaknya USD25 miliar--30 miliar untuk transisi energi delapan tahun ke depan. Transisi ini bisa kita optimalkan sebagai motor pertumbuhan ekonomi, membuka peluang bisnis, dan membuka lapangan kerja baru,” ungkap Presiden Jokowi.
Pada kesempatan itu, Kepala Negara juga menyampaikan bahwa di Indonesia dan juga di negara-negara berkembang lainnya, risiko perubahan iklim sangat nyata apalagi Indonesia adalah negara kepulauan dengan 17 ribu pulau. Risikonya bukan hanya mengganggu kesehatan, tetapi juga membuat petani dan nelayan dalam kesulitan.
Presiden Jokowi sebagai pemegang Presidensi G20 Indonesia 2022 sekaligus juga mengajak para pemimpin G7 agar hadir dalam forum KTT G20 di Bali pada November mendatang untuk mendorong proses transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Percepatan transisi energi ramah lingkungan merupakan salah satu topik utama dalam Presidensi G20 Indonesia. Peralihan pemanfaatan energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) diperlukan untuk menjaga keberlanjutan serta keberlangsungan dalam segala aspek kehidupan.
Sebagai tuan rumah dalam forum G20, Indonesia akan memperkenalkan skenario mencapai Net Zero Emission di 2060.
Hal itu merupakan perwujudan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement dan Konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (COP26). Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon hingga 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional di 2030 mendatang. Komitmen yang tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC) itu mengacu pada perkiraan tingkat emisi jika aktivitas di tanah air berlangsung tanpa intervensi tertentu.
Upaya untuk memenuhi komitmen tersebut dilakukan Indonesia melalui pengembangan ekosistem kendaraan listrik serta pembangunan pembangkit tenaga surya. Pemanfaatan EBT dan niat untuk mengurangi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara juga turut dilakukan. Ragam pemodelan upaya itu bakal disajikan dalam forum G20.
Tujuannya agar negara anggota G20 juga dapat mengimplementasikan komitmennya sekaligus berfokus pada sumber pendanaan investasi ke EBT.
“Ada semacam model yang sedang dibahas dengan ADB (Asian Development Bank) dan lembaga keuangan lain yakni model yang akan optimal secara ekonomi untuk mempercepat transisi, terutama energi yang berbasis fosil, khususnya PLTU,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Selasa (28/6/2022).
Namun upaya untuk mempercepat pengurangan pemanfaatan energi fosil tampaknya akan mengalami sedikit kendala. Hal ini dikarenakan sejumlah negara Eropa tengah mengantisipasi kemungkinan terjadinya krisis energi akibat perang antara Rusia dan Ukraina.
Antisipasi itu dilakukan dengan pengutamaan ketahanan energi, di mana negara-negara Benua Biru memerlukan diversifikasi sumber energi untuk menghadapi musim dingin. Karena adanya kebijakan tak menerima komoditas energi dari Rusia, sejumlah negara Eropa akan mencari sumber energi berupa Liquefied Natural Gas (LNG) dan batu bara dari negara lain.
Kendati begitu, kata Airlangga, Indonesia akan tetap mendorong implementasi komitmen-komitmen terhadap perubahan iklim. Pemanfaatan EBT dinilai tetap menjadi prioritas dalam jangka menengah ini.
Indonesia, lanjutnya, memandang transisi energi tak hanya harus adil antara kepentingan negara berkembang dan negara maju, tetapi juga harus terjangkau, baik dari sisi teknologi maupun pembiayaannya. Karenanya konsistensi dan keberlanjutan upaya ini menjadi krusial.
Tiga Isu Utama ETGW G20
Adapun pembahasan mengenai percepatan transisi energi dilakukan dalam forum Transisi Energi G20 2022 yang terdiri dari Rangkaian Pertemuan Energy Transitions Working Group (ETWG) dan Energy Transition Ministerial Meeting (ETMM).
Pada 23-24 Juni silam, telah dilaksanakan pertemuan kedua sidang ETWG dan menghasilkan kesepakatan (principles) dalam mempercepat transisi energi, termasuk adanya rancangan Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (Compact).
Keseluruhan draf Bali Compact mengacu pada tiga isu utama, yaitu akses energi, teknologi, dan pendanaan. “Kita kembalikan kepada dasar isu. Kalau ini ditangani dengan baik, harapannya dapat (menjawab) tema besar, yaitu recover together, recover stronger,” ujar Chair of ETWG Yudo Dwinanda Priaadi.
Salah satu poin dalam Bali Compact adalah ketahanan energi. Yudo menekankan, akses energi menjadi permasalahan untuk negara maju maupun negara berkembang. Di samping itu, penurunan emisi merupakan salah satu hasil nyata dalam forum energi G20.
Sejauh ini, hasil persidangan belum menentukan secara spesifik jenis teknologi yang dimanfaatkan untuk percepatan transisi energi. Selama persidangan G20, Indonesia justru mendapatkan tawaran dari beberapa negara G20 untuk menerapkan teknologi tertentu, seperti carbon capture.
Forum energi G20 sendiri sepakat akan pentingnya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) secara perlahan-lahan untuk menggantikan sumber energi fosil. Kendati begitu, impelementasi kebijakan tetap menyesuaikan kondisi masing-masing negara.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari