Perjuangan untuk memperkuat ketahanan pangan, mengakhiri kelaparan, dan perbaikan gizi menjadi krusial untuk dijadikan prioritas di dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan global.
Menteri Pertanian RI Syahrul Yasin Limpo (SYL) secara resmi membuka kegiatan Global Forum sebagai awal dari rangkaian kegiatan Agriculture Ministers Meeting (AMM) G20 Indonesia, di Hotel Intercontinental Jimbaran, Bali, pada Selasa (27/9/2021) siang. Mengangkat tema “Transformasi Pertanian Digital dalam Percepatan Kewirausahaan Perempuan dan Pemuda”, Menteri SYL mengajak dunia mengimplementasikan teknologi digital dalam sektor pertanian.
Saat membuka Pertemuan Agriculture Ministers Meeting (AMM), Menteri SYL menegaskan bahwa persoalan pangan adalah persoalan human rights. “Kehadiran seluruh delegasi di sini menunjukkan komitmen kita semua untuk mengatasi ancaman krisis pangan global dan memberi dukungan penuh kepada Presidensi G20 Indonesia,” ungkap Menteri SYL, pada 27 September 2022.
Pangan adalah kebutuhan dasar bagi keberlanjutan hidup manusia, yang jika tidak tersedia dapat menciptakan kondisi yang mengancam kehidupan. Oleh karenanya, hak atas pangan yang layak adalah hak asasi manusia.
Hak atas pangan ditegaskan dalam ICESCR Pasal 11 Ayat (1) sebagai berikut: “Negara-negara peserta kovenan mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian dan perumahan layak, serta perbaikan kondisi hidup terus-menerus. Negara-negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin terwujudnya hak ini, dan mengakui pentingnya kerja sama internasional sukarela untuk mencapai tujuan ini.”
Hak atas pangan juga dinyatakan di dalam UUD 1945 Pasal 28H tentang hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir batin. Hak serupa juga disebutkan di dalam Undang-Undang Pangan 18/2012, dan karena Indonesia juga merupakan peserta ICESCR, maka hal tersebut disebutkan pula pada UU 11/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Ekosob.
Hak atas pangan mencakup tiga pilar utama, yaitu ketersediaan, akses, dan kelayakan. Itulah sebabnya, untuk menjamin hak setiap orang atas pangan, ketiga pilar tersebut harus dijadikan dasar pelaksanaan upaya nasional untuk pemenuhan hak atas pangan.
Meskipun sudah memiliki UU tentang ketahanan pangan, Indonesia masih berada di peringkat ke-72 dari 109 negara dalam hal kerawanan pangan dan ketahanan pangan, menurut Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index). World Food Program menemukan tantangan-tantangan sebagai berikut:
- Ketahanan pangan meningkat antara 2009 dan 2015, dengan 58 dari 398 kecamatan (district) pedesaan yang sangat rentan pada 2015. Namun kemajuan ini dapat terhambat jika tantangan terkait akses pangan, malnutrisi, dan kerentanan terhadap bahaya terkait iklim tidak diatasi;
- Stunting mempengaruhi 37 persen balita, dan bersama dengan berat badan rendah (underweight) dialami secara luas di seluruh kelompok pendapatan; sementara itu prevalensi berat badan berlebih (overweight) dan obesitas di kalangan orang dewasa meningkat tajam, juga untuk seluruh kelompok pendapatan;
- Kemiskinan dan harga pangan yang tidak stabil menghambat akses kepada pangan khususnya di wilayah terpencil. Mayoritas masyarakat Indonesia, termasuk 60 persen petani subsisten, membeli bahan pangan mereka di pasar; Indonesia bercita-cita menjadi mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras, jagung, kedelai, daging sapi, dan gula. Upaya untuk meningkatkan produksi sedang berjalan, namun perubahan iklim mengakibatkan pertanian dan pencaharian masih rentan terhadap iklim ekstrem; Indonesia juga mengalami ancaman bencana alam dalam frekuensi yang tinggi.
Seluruh tantangan itu membuat perjuangan untuk memperkuat ketahanan pangan, mengakhiri kelaparan, dan perbaikan gizi menjadi krusial untuk dijadikan prioritas di dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam arahannya di acara AMM G20 Indonesia, Menteri SYL pun mengungkapkan, tantangan global saat ini, mulai dari krisis perubahan iklim, pandemi Covid-19, serta diperparah oleh eskalasi ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia.
Hal itu menuntut gerakan dan komitmen bersama seluruh negara-negara G20 untuk mengambil tindakan segera mendorong percepatan transformasi sistem pertanian dan pangan. “Kita harus melakukan tindakan segera dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, untuk mendorong percepatan transformasi sistem pertanian dan pangan menjadi lebih efisien, inklusif, tangguh, dan berkelanjutan serta memastikan produksi pangan, gizi, dan lingkungan yang lebih baik, tidak ada yang terlewatkan dan tertinggal,” jelas Menteri SYL.
Oleh karena itu, pertemuan tersebut akan difokuskan pada diskusi tiga isu prioritas. Pertama, mempromosikan sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan berkelanjutan. Kedua, mempromosikan perdagangan pertanian yang terbuka, adil, dapat diprediksi, transparan, dan nondiskriminatif untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan untuk semua. Yang ketiga, kewirausahaan pertanian inovatif melalui pertanian digital untuk meningkatkan penghidupan petani di pedesaan.
Ketiga isu prioritas tersebut, lanjut Menteri SYL, akan mudah terealisasi apabila semua negara G20 berkomitmen untuk bergerak bersama. “Kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi tantangan saat ini dan di masa datang. Kami yakin, hanya dengan kolaborasi dan sinergi yang erat kita dapat mewujudkan Recover Together, Recover Stronger,” tutupnya.
Berbagai komitmen yang dihasilkan pada Forum AMM nantinya, diharapkan memiliki kontribusi nyata dalam mendukung pemulihan ekonomi pascapandemi. Tentunya, diharapkan juga dapat mendukung ketahanan sistem pangan dan pertanian di tingkat global.
Teknologi-Digitalisasi Jadi Kunci
Menurut Menteri SYL, teknologi dan digitalisasi menjadi jawaban untuk kemajuan sektor pertanian dunia. Indonesia sendiri kini mengusung pertanian maju mandiri modern. Oleh karena itu, pada pertemuan global forum itu para delegasi bisa berbagi perspektif tentang upaya meningkatkan kapasitas anak muda dan perempuan dalam mengimplementasikan pertanian digital.
Para wirausaha muda itu dapat menjadi pengusaha inovatif melalui perannya sebagai produsen, distributor, pemasar, dan penjual dengan menggunakan teknologi dan model bisnis yang inovatif. “Pada era Industri 4.0 saat ini, kegiatan pertanian tidak lagi mengandalkan tenaga kerja manual. Melainkan, menggabungkan mekanisasi dengan teknologi digital yang dapat mengkondisikan usaha budi daya pertanian menjadi lebih presisi,” jelasnya
Pelibatan wirausaha muda berbakat, termasuk perempuan, dalam pembangunan pertanian telah menjadi agenda utama di banyak negara, termasuk negara anggota G20. Terkait hal ini, banyak negara, termasuk Indonesia yang telah melakukan berbagai upaya untuk memahami karakteristik yang khas dari para wirausaha muda, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi mereka, dan mengidentifikasi metode terbaik untuk mengembangkan bakat mereka.
Menteri SYL pun lantas mengajak semua negara untuk membangun semangat untuk bekerja sama. “Kita tidak lagi bicara atas nama bangsa sendiri, tapi harus bicara atas nama bangsa-bangsa G20. Mari kita bicarakan hal-hal yang bisa mempersatukan. Semua perbedaan semestinya bisa kita satukan dalam waktu singkat,” ujarnya.
Pada kesempatan itu, Menteri SYL mengungkapkan, Indonesia siap bekerja sama dengan negara-negara lain, terutama dalam menghadapi krisis pangan. “Indonesia membutuhkan negara lain. Dan negara bapak dan ibu juga membutuhkan kami. Forum AMM bisa menjadi kesempatan bagi kita semua untuk menghilangkan barrier dalam menjaga rantai pasok dunia,” sebutnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Food and Agriculture Organization (FAO) Qu Dongyu turut mendukung kerja sama dunia. Saat menjadi keynote speech, Qu mengungkapkan bahwa dibutuhkan komitmen untuk menjadikan pertanian dunia lebih baik. Sehingga dibutuhkan cara bekerja yang efisien, efektif, dan inovatif.
“Sistem digital adalah masa depan pertanian dunia. Suka atau tidak suka, kita saat ini berada di fase transisi sektor pertanian,” jelasnya.
Qu menegaskan kembali dukungannya terhadap upaya Indonesia untuk mengembangkan strategi e-agrikultur nasional termasuk panduan integritas data pertanian dalam penggunaan informasi geospasial.
“Digitalisasi memainkan peran penting dalam mempercepat kemajuan menuju pencapaian sustainable development goals dengan mendiversifikasi pendapatan dan membuka lapangan kerja dan peluang bisnis di dalam dan di luar pertanian, terutama bagi generasi baru petani dan kaum muda,” ungkapnya.
Ia juga memuji pendirian agriculture war room di Kementerian Pertanian RI yang menggunakan teknologi digital canggih untuk meningkatkan pengambilan keputusan berbasis data dan bukti lapangan. Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Dedi Nursyamsi, selaku penanggung jawab kegiatan Global Forum, mengungkapkan bahwa partisipasi anak muda bisa menjadikan sektor pertanian, termasuk di wilayah pedesaan menjadi lebih produktif dan menarik.
“Kami saat ini berupaya untuk bisa memahami karakteristik kelompok anak muda, termasuk perempuan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif, serta mencarikan metode terbaik untuk mengasah bakat mereka dalam bertani,” jelas Dedi.
Dedi pun menyebutkan pihaknya akan memaksimalkan Global Forum sebagai wadah untuk berbagi kebijakan, program pengembangan, serta strategi dan program dalam transformasi pertanian digital untuk mengakselerasi kewirausahaan muda dan perempuan. Diskusi Global Forum dibuka oleh penyampaian pernyataan dari menteri pertanian dan perwakilan dari negara Turki, Kanada, Amerika Serikat, Italia, dan Afrika Selatan yang dilanjutkan oleh diskusi panel.
Sesi pertama diskusi panel diisi oleh IFAD, CGIAR, GIZ, dan MAFF-Jepang. Sementara sesi kedua diisi oleh start-up dan perusahaan global, yaitu PT Bali Organik Subak dari Indonesia, Pinduoduo dari Cina, AgUnity dari Australia, dan Microsoft Indonesia.
Penulis: Eri Sutrisno
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari