Pelambatan ekonomi global di depan mata. Ekonomi dunia yang tumbuh 6 persen (2021) akan susut ke-3,2 persen (2022) dan merosot ke-2,7 persen (2023). Growth di Asean lebih tinggi.
Awan mendung diperkirakan akan terus berarakan di atas langit perekonomian global hingga 2023. Prakiraan ini muncul dalam laporan World Economic Outloook edisi Oktober 2022 yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) pekan lalu. Bayangan cuaca buruk itu mewarnai pertemuan ke-4 menteri keuangan dan gubernur bank sentral (FMCBG) yang berlangsung di Washington DC, pada Rabu malam (waktu setempat), 12 Oktober 2022.
Di depan forum FMCBG yang dihelat Pemerintah Indonesia terkait Presidensi di G20, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menanggapi situasi sulit itu seraya mengingatkan bahwa dunia menghadapi kondisi bahaya hingga 2023. Situasi bahaya itu disebutnya sebagai akumulasi dari permasalahan ekonomi, mulai dari tingginya angka inflasi, pertumbuhan ekonomi yang lemah, krisis energi dan pangan, serta terfragmentasinya geopolitik.
‘’Kita bisa perkirakan situasi global yang sulit pada 2022 itu masih akan berlanjut hingga 2023," ujar Sri Mulyani, saat memberikan pengantar pada pertemuan ke-4 FMCBG 2022, seperti yang disiarkan akun YouTube Kementerian Keuangan, Kamis, 13 Oktober 2022. Secara offline, acara itu dihadiri sekitar 360 orang, termasuk di dalamnya 24 orang menteri keuangan serta 22 gubernur bank sentral dan berbagai negara. Utamanya, anggota G20.
Mengutip laporan IMF terbaru, Sri Mulyani menyatakan, perekonomian dunia akan terus melambat hingga 2023. Menurut IMF, pertumbuhan ekonomi global yang menorehkan prestasi 6 persen pada 2021 akan merosot menjadi 3,2 persen pada 2022, dan pada 2023 akan kembali mengerut menjadi hanya 2,7 persen. IMF menilai, angka pertumbuhan ekonomi itu yang paling lemah sejak 2001.
Tidak tertutup kemungkinan, perkiraan pertumbuhan 2023 yang sudah cukup rendah itu pun masih akan direvisi turun 0,2 persen. Untuk kelompok negara-negara ekonomi maju, IMF memperkirakan, pertumbuhan ekonominya turun drastis secara merata. Amerika Serikat pada 2022 ini diperkirakan hanya tumbuh 1,6 persen pada 2023, atau turun 0,7 persen dari perkiraan semula. Inggris bahkan diproyeksikan hanya tumbuh 0,3 persen di 2023.
Untuk kategori negara-negara ekonomi maju ini, sejauh ini dalam perkiraan IMF, Jerman dan Italia yang ekonominya akan minus pada 2023, masing-masing sebesar minus 0,3 persen dan minus 0,2 persen. Walau pada 2022, menurut pantauan IMF, kedua negara ini masih tumbuh 1,5 persen dan 3,2 persen.
Untuk kategori negara-negara ekonomi berkembang, IMF perkirakan, hanya Rusia yang ekonominya akan terkontraksi. Pada 2022 diperkirakan ekonomi Rusia minus 3,4 persen dan pada 2023 menjadi 2,3 persen. Sedangkan negara lain, seperti Tiongkok akan naik dari 3,2 persen menjadi 4,4 persen, dan India turun tipis dari 6,8 persen pada 2022 menjadi 6,1 persen pada 2023.
Kawasan Asean lebih menjanjikan. Dalam perkiraan IMF, Indonesia akan tumbuh 5,3 persen di 2022 ini, dan tumbuh 5 persen (turun dari perkiraan semula yang 5,4 persen) pada 2023. Malaysia masing-masing 5,4 persen dan 4,4 persen untuk 2022 dan 2023. Adapun Vietnam 7 persen dan 6,2 persen, Filipina 6,5 persen dan 5 persen, serta Thailand 2,8 persen dan 3,7 persen.
Sri Mulyani juga mewanti-wanti bahwa di tengah kondisi ekonomi global yang berat di 2022, justru direspons oleh bank sentral dari berbagai negara dengan menaikkan suku bunga acuan dan memperketat likuiditas di pasar keuangan. Tujuannya ialah meredam inflasi. Namun, menurut Sri Mulyani, kebijakan itu berpotensi memantik resesi pada 2023.
‘’Kita tidak bisa mengacuhkan kemungkinan peningkatan risiko resesi. Maka, kepemimpinan yang kuat dan kerja sama yang solid dibutuhkan untuk melindungi kehidupan orang-orang yang berada dalam bahaya ini. Kita harus membawa masyarakat kembali kuat," ujar Sri Mulyani.
Toh, dia masih yakin bahwa forum G20 bisa membawa harapan, sekaligus menavigasi, ketika terjadi krisis seperti yang terjadi saat ini. Di tengah forum FMCBG itu, yang menjadi side event bagi KTT G20, Menkeu Sri Mulyani kembali mengingatkan, adanya tantangan global seperti konflik geopolitik, kenaikan harga energi maupun pangan, serta tekanan inflasi tinggi yang berpotensi melemahkan pertumbuhan. Tantangan ini tak bisa dihadapi tiap negara secara sendiri-sendiri.
Semua pihak perlu kerja sama satu sama lain dalam untaian kerja sama global. Terutama, bagi G20 yang memberikan pengaruh besar dengan sumbangannya kepada 85 persen perekonomian dunia. G20 menjadi tumpuan untuk mencari solusi bersama.
Namun begitu, Sri Mulyani mengakui, keberagaman anggota G20 merupakan dinamika yang dapat menghambat kesepahaman dalam merespons isu global. ‘’Kita pasti punya perbedaan dalam posisi, manfaat, dan pengalaman dalam berbagai hal. Tapi perbedaan ini dapat mengizinkan untuk mencari solusi terbaik yang inklusif bagi dunia," ucap Sri Mulyani di depan forum FMCBG tersebut.
Indonesia sebagai pemegang Presidensi G20 di 2022, seperti ditegaskan Menkeu Sri Mulyani, terus berupaya untuk menularkan semangat kerja sama, kolaborasi, dan konsensus bersama yang bermanfaat guna mencari solusi untuk mengatasi isu global dalam konteks semangat multilateral. FMCBG yang ke-4 ini adalah ajang terakhir sebelum KTT G20 digelar November 2022 di Nusa Dua, Bali. FMCBG pertama dihelat di Jakarta (Februari), yang kedua di Washington DC (Mei), ketiga di Bali (Juli), dan keempat di Washington Oktober 2022.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari