Jelang pelaksanaan KTT G20, kasus karhutla di Indonesia mencatat titik terendah dalam lima tahun terakhir. Cuaca Bali dan sebagian NTB-NTT diperkirakan sudah basah lembab.
Kasus kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) adalah isu sensitif di tengah suasana pelaksanaan KTT G20, yang dijadwalkan berlangsung pada 15-16 November 2022, di Kawasan Wisata Nusa Dua, Bali. Salah satu semangat G20 adalah penanggulangan perubahan iklim global, akibat emisi karbon yang tak terkendali. Karhutla tergolong emisi karbon yang masif dan tidak bertanggung jawab.
Di Indonesia, karhutla adalah ancaman laten, yang dalam skala besar atau kecil, terus terjadi. Maka, menjelang pelaksanaan G20 itu, Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melaksanakan rapat koordinasi (rakor) antisipasi karhutla bersama seluruh pemangku kepentingan di Kuta, Bali secara tatap muka dan daring pada pertengahan Oktober lalu.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Laksmi Dhewanthi menyampaikan, tujuan dilaksanakan rakor itu adalah mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan beserta segala dampaknya, pada KTT G20 di Bali. Maka, Laksmi perlu mewanti-wanti kepada pimpinan daerah di Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT) akan potensi gangguan karhutla tersebut.
“Kepada seluruh instansi pemerintah, terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT agar secara bersama-sama dan terkoordinir serta bahu-membahu mencegah sedini mungkin terjadinya kebakaran hutan dan lahan,“ imbau Laksmi.
Kondisi iklim dan cuaca seperti yang disampaikan BMKG menunjukkan, sebagian besar Jawa Timur, Bali, dan NTB, pada periode 10 hari (dasarian) pertama di November 2022 sudah mulai memasuki awal musim hujan. Sedangkan bagi wilayah NTT, sebagian sudah masuk ke musim hujan pada dasarian I November 2022 dan sebagian lagi di dasarian II dan III November 2022.
Pada awal November diprediksi, wilayah Jatim, Bali, NTB, dan NTT masih berpotensi mengalami hujan intensitas ringan-sedang. Kemungkinan potensi hujan lebat dalam durasi singkat masih bisa terjadi terutama pada siang, sore, atau malam. Meskipun potensi hujannya cukup signifikan di awal November, kewaspadaan akan potensi karhutla di beberapa wilayah yang rawan karhutla tetap harus ditingkatkan.
Peringatan senada disampaikan langsung Direktur Pengendalian Karhutla KLHK Basar Manullang. Dia mengingatkan, meskipun potensi hujan cukup signifikan di awal November, kewaspadaan akan potensi karhutla di beberapa wilayah yang rawan tetap harus ditingkatkan.
"Satgas Kesiapsiagaan Bencana Karhutla yang melibatkan para pemangku kepentingan yang ada di kabupaten dan kota di wilayah Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT perlu meningkatkan sinergitas serta koordinasi di antara perangkat daerah, TNI-Polri, pengelola hutan, dan masyarakat dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan," ujar Basar Manullang.
Basar Manullang mengajak, semua pihak menyiagakan SDM dengan segala sarana dan prasarananya guna mencegah karhutla. Kegiatan sosialisasi dan kampanye, pembentukan/pembinaan Masyarakat Peduli Api dan patroli di daerah rawan perlu diaktifkan. Termasuk, di pengawasan indikasi kejadian karhutla dan melakukan cek lapangan pada setiap titik-titik panas (hotspot) yang terpantau satelit.
‘’Penyebaran informasi hotspot, sebagai indikator kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan, perlu disebarluaskan secara rutin untuk mengantisipasi karhutla,’’ kata Basar. Ia pun mengingatkan bahwa keberhasilan mencegah karhutla selama kegiatan KTT G20 berlangsung adalah keberhasilan bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan acara tingkat dunia.
Rakor pencegahan karhutla itu dipandu Kepala Balai Pengendalian Perubahan Iklim Wilayah Jawa Bali Nusa Tenggara Haryo Pambudi dan dihadiri perwakilan dari BMKG, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Balai Besar/Balai KSDA dan Taman Nasional, BPBD, dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dari Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT.
Karhutla di Lapangan
Catatan Kementerian LHK menunjukkan bahwa karhutla di Indonesia 2022 (sampai awal Oktober) mencapai luasan 187,75 ribu hektare. Kemungkinan akan menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir. Melanjutkan tren beberapa tahun terakhir, karhutla di 2022 di NTB dan NTT menunjukkan cakupan yang cukup tinggi, masing-masing 26,1 ribu dan 67,3 ribu ha.
Ditopang oleh musim hujan yang turun sepanjang tahun di sejumlah wilayah, karhutla di Sumatra dan Kalimantan 2022 relatif rendah dibandingkan di tahun-tahun sebelumnya. Kecuali, di Sumatra Utara yang mencatat karhutla di hampir 7.500 ha sampai Oktober ini.
Cakupan karhutla di Sulawesi, Maluku, dan Papua pada 2022 relatif lebih rendah. Curah hujan yang tinggi di hampir sepanjang 2022 pada 10 persen zona musim di Indonesia ikut menekan potensi karhutla. Risiko karhuta di sekitar hari-hari pelaksanaan KTT G20 ini pun dinilai relatif lebih rendah. Selain 10 persen zona musin di Indonesia terus mengalami iklim basah di sepanjang tahun 2022 ini, 16 persen sudah masuk musim hujan sejak akhir September, dan 25 persen lainnya di Oktober dan selebihnya secara bertahap pada November 2022. Jawa Timur, Bali, dan sebagian NTB serta NTT masuk musim hujan mulai awal November 2022.
Dalam prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), cuaca di Bali dan sebagian NTB serta NTT sudah cukup basah dan lembab pada November 2022. Angin monsun telah bekerja dan membangkitkan musim hujan reguler. Indeks La Nina pun menguat ke level moderat, hingga menambah peluang terjadinya hujan di berbagai wilayah di Indonesia.
Puncak musim hujan pada sebagian besar wilayah akan jatuh secara reguler pada Desember-Januari. Namun hingga akhir Oktober situasi kering puncak kemarau masih terpantau di Pulau Sambu, Pulau Rote, dan Pulau Timor. Bila kewaspadaan mengendor, bisa terjadi karhutla di wilayah tersebut, dan bila berlanjut sampai November saat KTT G20 berlangsung.
Maka, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim Laksmi Dhewanthi pun secara dini mengkoordinasikan koleganya di daerah agar memantau hotspot di lapangan yang bisa memicu api karhutla. Asap karhutla tentu bukanlah sambutan yang pantas untuk peserta perhelatan sebesar KTT G20.
Penulis: Putut Trihusodo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari