Indonesia.go.id - Batik Ciprat, Warisan Nenek Moyang yang 'Dijaga' Penyandang Disabilitas

Batik Ciprat, Warisan Nenek Moyang yang 'Dijaga' Penyandang Disabilitas

  • Administrator
  • Senin, 8 April 2019 | 08:18 WIB
BATIK NUSANTARA
  Kain Batik Ciprat. Sumber foto: Batik Ciprat Kulonprogo

Namanya batik Ciprat. Sesuai namanya, cara membuat batik ini dilakukan dengan menciprat-cipratkan larutan malam.

Batik diakui sebagai warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia. Seiring perjalanan waktu, banyak perajin batik berinovasi. Salah satunya batik Ciprat. Batik ini unik, apalagi yang buat adalah penyandang disabilitas. 

Dari dulu sejak nenek moyang, batik dibuat secara turun-temurun hingga saat ini. Terdapat lebih dari tiga ribu pola batik klasik atau tradisional di Indonesia. Tentu, disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing daerah. 

Di Pulau Jawa, terdapat beranekaragam batik. Seperti batik Pekalongan dengan gaya pesisirnya yang  masih kental dipengaruhi gaya Cina dan Arab. Kemudian batik Solo bergaya pedalaman dengan warna-warna bernuansa alam. 

Lalu batik Cirebon bergaya hampir sama dengan batik Pekalongan tetapi mempunyai variasi warna yang berbeda. Belum lagi batik Jogja, batik Semarang, batik Lasem, batik Madura, batik Baduy dan lain sebagainya.

Sekadar mengingatkan, batik telah diakui dunia sebagai hasil cipta dan karya asli Indonesia. Batik mempunyai hari peringatan sejak pada 2009, yaitu 2 Oktober.

Dari kekayaan batik Indonesia, jenis batik satu ini berbeda dan unik. Namanya batik Ciprat. Sesuai namanya, cara membuat batik ini dilakukan dengan menciprat-cipratkan larutan malam (bahan untuk menggambar kain batik). 

Malam dicipratkan menggunakan tangan, sendok, dan kuas atau lidi. Sehingga dalam pembuatannya dilakukan dengan teknik jumputan dan teknik colet atau kuas.

Perbedaan batik ciprat dengan batik yang lain adalah warnanya yang mencolok. 

Selain itu, motifnya berbeda dengan batik pada umumnya. Yaitu, bintik-bintik. Batik ini dibuat dari kain katun primisima berukuran 1,15 x 2,25 meter. Seperti batik pada umumnya, proses pembuatan batik juga menggunakan remasol, mewarnai dengan waterglass, kemudian direbus, dan dijemur.

Batik Ciprat ini berasal dari Semarang. Tepatnya Jalan Elang Raya No 2 Mangunharjo, Tembalang, Kota Semarang. Pada perkembangannya, batik Ciprat diberi nama seperti nama-nama daerah di Semarang. Sebut saja Kota Lama, Sigar Bencah, Lawang Sewu, Pecinan, dan lain sebagainya. 

Kreatifitas Penyandang Disabilitas 

Siapa sangka batik-batik yang cantik dan indah ini dibuat oleh penyandang disabilitas. Batik tersebut karya asli anak-anak tuna grahita berat, tuna rungu, tuna wicara, autis, dan down syndrome. Dalam membatik, mereka tidak menggunakan pola pasti. 

Semua motif disesuaikan dengan keinginan masing-masing anak. Jadi, hasil dari batik akan berbeda-beda pada setiap pembuatannya.

Batik ini mulai dibentuk pada 2011. Saat itu, seorang guru keterampilan di SLBN Semarang sedang melatih siswa tuna grahita berat membatik. Setelah berusaha berkali-kali, siswa kesusahan membatik menggunakan canting.

Akhirnya, mereka mencipratkan dan meneteskan larutan malam ke kain dengan acak. Jadilah batik mereka menerobos pakem pembuatan batik yang digambar menggunakan canting.

Sampai saat ini, produksi batik masih dilakukan secara handmade oleh siswa-siswi SLBN Semarang. Batik ini diberi merk sederhana, yaitu ESELBENS Poenya yang artinya SLBN Semarang punya. 

Tak hanya di Semarang, batik ini telah tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Seperti Kalimantan, Jakarta, Papua, Aceh, dan daerah lainnya. Bahkan, rombongan turis dari Eropa dan Asia yang berkunjung, kerap memborong batik Ciprat.

Kini, produksi batik Ciprat dilakukan di banyak daerah. Berawal dari Semarang, jadi inspirasi bagi para penyandang disabilitas untuk berkarya. Antara lain, Jogjakarta, Lampung, Sumsel, dan daerah lainnya. Hasilnya, banyak motif menarik yang sesuai dengan khas daerah masing-masing. (K-IS)