Anggrek atau nama latin Orchidaceae merupakan anggota spesies terbesar di dalam kerajaan tumbuhan.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan biodiversitas atau keanekaragaman hayati yang sangat kaya. Kendati wilayahnya hanya sekitar 1,3 persen dari luas bumi, Indonesia menjadi rumah yang nyaman bagi sekitar 25 persen flora atau tumbuhan di muka bumi.
Tepatnya, sekitar 20.000 spesies termasuk 40 persen di antaranya adalah endemik atau asli Indonesia. Salah satunya adalah anggrek, anggota spesies terbesar di dalam kerajaan tumbuhan.
Tumbuhan bernama latin Orchidaceae atau biasa disingkat dengan orchid ini merupakan tanaman yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Mereka bisa tumbuh di mana saja dan lokasinya juga bisa sangat beragam. Mulai dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, dari kawasan yang bersuhu dingin hingga bersuhu panas.
Setidaknya telah teridentifikasi sekitar 750 famili, 43.000 spesies, dan 35.000 varietas hibrida anggrek dari seluruh penjuru dunia. Menurut buku Anggrek Spesies Indonesia terbitan Direktorat Pembenihan Hortikultura Kementerian Pertanian, sejauh ini di Indonesia sendiri terdapat 5.000 spesies anggrek. Di antara jumlah tersebut diketahui merupakan spesies asli Indonesia, baik yang tumbuh di hutan belantara maupun telah dibudidayakan oleh masyarakat.
Dari jumlah itu, 986 spesies tersebar di Pulau Jawa; 971 spesies berada di Pulau Sumatra; 113 spesies tumbuh di Kepulauan Maluku; dan sisanya bisa ditemukan di Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Tentu bukan perkara mudah untuk bisa menjumpai setiap spesies tadi di tempatnya tumbuh di masing-masing pulau. Bukan saja bakal menghabiskan biaya tak sedikit untuk mengunjungi tiap-tiap pulau, juga membutuhkan waktu dan energi lebih banyak untuk menyaksikannya.
Lantaran itulah, sejak 2002, pengelola Kebun Raya Bogor di Jawa Barat bersama Yayasan Kebun Raya Indonesia menginisiasi dibangunnya sebuah pusat konservasi ex-situ anggrek. Lokasinya berada di salah satu sudut dalam area Kebun Raya Bogor atau KRB.
Awalnya, pusat konservasi di luar habitat anggrek itu mampu menampung hingga sekitar 250 spesies berasal dari dataran rendah basah di Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Papua. Seluruh koleksi tadi ditempatkan pada sebuah rumah kaca berukuran tak lebih dari 500 meter persegi dan fungsinya untuk kegiatan eksplorasi, perawatan, isolasi, ruang koleksi dan pameran anggrek.
Seiring berjalannya waktu, koleksi anggrek yang ditampung turut bertambah setelah dilakukannya berbagai eksplorasi ke seluruh Indonesia. Terlebih lagi, anggrek yang dikoleksi di Griya Anggrek, begitu pusat konservasi tadi dinamai, juga ikut dibiakkan dengan cara hibrida atau persilangan melalui kultur jaringan. Maka, makin sesak pula koleksi dari rumah kaca di Griya Anggrek.
Oleh sebab itu, sejak pertengahan 2018 mulai disusun rencana untuk merevitalisasi bangunan Griya Anggrek dan modernisasi sejumlah fasilitas termasuk rumah kaca anggrek. Pihak Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), selaku pengelola KRB, bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bergerak cepat untuk menuntaskan revitalisasi yang dimulai pada Desember 2018 dan selesai pada November 2022.
Setelah seluruh pembangunan rampung, Griya Anggrek pun menjelma lebih megah dan modern. Tak tersisa lagi bangunan lama yang berwarna krem dan terkesan kusam. Sebagai gantinya, sebuah bangunan besar menjulang warna abu-abu berdiri megah, tepat di dekat Pintu 3 KRB.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR, Mohammad Zainal Fatah, penataan Griya Anggrek dilakukan secara bertahap. Meliputi pembangunan rumah kaca induk seluas 6.813 m2, laboratorium kultur jaringan berukuran 1.560 m2, bangunan penghubung 256 m2 dan ruang pamer (display) 35,6 m2 dengan total anggaran Rp38 miliar.
Modernisasi laboratorium kultur jaringan disiapkan untuk mendukung kerja staf, kegiatan persiapan pembuatan media tanam, ruang penanaman kultur, inkubasi, sterilisasi, dan penyimpanan media steril serta perpustakaan.
RKA Soedjana Kassan
Sedangkan untuk ruang pamer yang berada di sayap kiri dan kanan bangunan utama Griya Anggrek dijadikan tempat menayangkan memorabilia sejarah seputar KRB dan memuat bermacam informasi seputar anggrek, mulai dari jenis hingga koleksi yang ada di KRB termasuk anggrek hibrida. Selanjutnya adalah bangunan besar berstruktur besi baja mirip hanggar pesawat dan serbakaca, dinamai Rumah Kaca Anggrek Soedjana Kassan.
Seperti dikutip dari website resmi KRB, Soedjana Kassan adalah orang Indonesia pertama yang memimpin KRB pada era 1959 sampai 1969. Bangunan RKA Soedjana Kassan yang menelan biaya mencapai Rp35,2 miliar terbagi dalam dua sayap, kiri dan kanan terdiri atas wahana pembibitan dan pameran dari sekitar 450 spesies anggrek dari seluruh Indonesia. Kedua sayap RKA Soedjana Kassan ini terhubung oleh sebuah selasar tertutup dan berdinding kaca.
Dua sisi RKA Soedjana Kassan dapat diakses melalui bangunan utama Griya Anggrek. Terdapat pintu selebar 1,5 meter yang membawa kita masuk ke bangunan sayap kanan dengan lanskap mirip ketika berada di sebuah kawasan hutan hujan tropis. Terdapat belasan batang kayu besar yang digantungi aneka spesies anggrek di dalam bangunan kaca dengan atap setinggi 20 meter ini.
Orchitologis RKA Soedjana Kassan yang bernama Junaedi menjelaskan, ada beragam spesies anggrek dipamerkan di bangunan sayap kanan ini. Misalnya dari genus Dendrobium, Bulbophyllum, dan Coelogyne yang tergolong epifit atau tumbuh menempel pada tanaman lain, meski tidak bersifat parasit atau merugikan tanaman yang ditumpanginya. Ada pula Spathoglottis, Calanthe, dan Paphiopedilum yang tumbuh di tanah atau bersifat teresterial.
Beberapa koleksi di RKA Soedjana Kassan tergolong istimewa seperti anggrek tebu (Grammatophyllum speciosum), spesies orchid terbesar di dunia, hanya tumbuh di Indonesia dan bisa ditemui di hutan-hutan Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Bentuk batang tanamannya besar berdiameter sekitar 10-15 sentimeter dan panjangnya bisa mencapai 3 meter, mirip tebu. Tangkainya bisa tumbuh sepanjang 2 meter dan setiap tangkai bisa terdapat 100 bunga anggrek. Kuntum tiap bunga anggreknya mampu mencapai 50 helai.
Pihak RKA Soedjana Kassan menanamnya di area tebing berair terjun buatan dengan daun-daun menjulur bebas sepanjang hampir 50 cm dan belum berbunga. Saat berbunga, warnanya kuning dengan bintik cokelat, merah, bahkan agak kehitam-hitaman. Karena keunikannya, perburuan terhadap anggrek tebu di alam liar menjadi tak terkendali dan statusnya kini masuk kategori langka dan dilindungi.
Kemudian tepat di salah satu sudut rumah kaca ada setangkai anggrek putih jenis Dendrobium Makassar. Papan displai di sebelahnya menjelaskan, bahwa anggrek ini diberi nama Kimilsungia atau Dendrobium Bunga Kimilsung. Sepintas, namanya mengingatkan kita kepada sosok pemimpin Korea Utara, Kim Il-sung, kakek dari Kim Jong-un, pemimpin saat ini.
Dugaan itu tak salah, karena Il-sung dan anaknya, Kim Jong-il pernah berkunjung ke rumah kaca KRB pada 13 April 1965. Presiden Soekarno memberikan hadiah berupa anggrek yang dinilai paling indah yang kala itu sedang dikembangkan di rumah kaca KRB. Presiden Pertama Indonesia itu pun memberikan kepada tamu istimewanya dan menamainya sebagai Kimilsungia. Pemerintah Korut di kemudian hari menjadikan anggrek putih ini sebagai bunga nasional mereka.
Ketua Dewan Pengarah BRIN, Megawati Soekarnoputri ketika meresmikan RKA Soedjono Kassan pada Rabu (17/5/2023) turut terkenang dengan peristiwa tersebut. Terlebih, KRB yang telah berusia 206 tahun sejak dibangun pertama kali pada 18 Mei 1817 lekat dengan Presiden Kelima RI tersebut. Karena menjadi bagian dari masa kecilnya saat tinggal di Istana Bogor yang letaknya bersebelahan dengan kebun raya yang luasnya sekitar 87 hektare tersebut. "Di Kebun Raya Bogor inilah tempat saya tinggal dulu semasa kecil," tuturnya seperti dikutip dari Antara.
Hujan Buatan
Tepat di tengah miniatur hutan dan kebun pada RKA Soedjana Kassan ini terdapat dua tiang tinggi besar menjulang hingga hampir menyentuh atap. Ada delapan tiang kecil menjulur ke delapan penjuru. Menurut Junaedi, ini berfungsi sebagai wadah untuk hujan buatan dan kabut buatan. Air juga dapat memancar dari sejumlah keran kecil tersembunyi dan waktu penyemprotannya telah diatur oleh komputer. Suhu dalam rumah kaca juga diatur temperaturnya mengikuti kondisi lingkungan dari habitat asal anggrek itu.
Selain lanskap menarik mirip miniatur hutan dan taman, di RKA Soedjana Kassan ini juga dilengkapi oleh jalan mirip jembatan sepanjang sekitar 250 meter yang dibuat mengelilingi area bangunan di sayap kanan Griya Anggrek dan menyambung ke selasar dan ruang temu serbaguna di lantai dua sayap kiri. Melalui jembatan besi ini, kita dapat melihat keseluruhan koleksi anggrek dari atas.
Ketika kaki telah melangkah menuju bangunan sayap kiri, kita selain menemukan ruang temu serbaguna, dari lantai dua juga dapat menyaksikan rumah kaca kedua. Tampilannya sedikit berbeda dari rumah kaca sebelumnya karena di sini diperuntukkan bagi pembibitan anggrek, baik dari hasil pemuliaan tanaman, atau dari menanam bijinya.
Ada ribuan bibit tanam anggrek di dalam pot-pot hitam yang diletakkan pada lebih dari 10 wadah beton raksasa yang memanjang sekitar 10 meter. Setiap bibit diberi nama sesuai genus dan marganya pada salah satu sisi pot tanaman. Pagar besi putih dengan pintu pada salah satu sisinya menjadi pembatas.
Griya Anggrek bisa dikunjungi secara gratis setiap hari mengikuti jadwal KRB yakni Senin sampai Jumat pada pukul 8.00 WIB sampai 16.00 WIB. Untuk hari Sabtu dan Minggu, jadwalnya jam 7.00 WIB hingga 16.00 WIB. Akan lebih mudah jika masuk melewati Pintu 3 dan jangan lupa membayar terlebih dulu tiket masuk KRB sebesar Rp16.500 per orang di hari kerja dan Rp26.500 per orang saat akhir pekan. Selamat berwisata dan mempelajari kekayaan anggrek asli Indonesia di Griya Anggrek Kebun Raya Bogor.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari