Indonesia.go.id - Astabrata, Sumber Nilai-Nilai Kepemimpinan Jawa

Astabrata, Sumber Nilai-Nilai Kepemimpinan Jawa

  • Administrator
  • Rabu, 21 Agustus 2019 | 02:10 WIB
BUDAYA
  Pandawa Lima. Foto: Istimewa

Astabrata adalah hikmah tentang jalan kebijaksanaan dalam kepemimpinan Jawa. Ada delapan jalan kebijaksanaan yang harus dipahami oleh seorang pemimpin. Jalan itu ialah jalan para dewa. Kekurangan satu saja, kedudukan Anda sebagai pemimpin akan ada kekurangannya.

Kakawin Ramaya? adalah syair berisi cerita perjalanan Rama. Ditulis dalam rupa tembang berbahasa Jawa Kuno, syair ini diduga dibuat dalam periode Mataram Hindu. Lebih tepatnya di masa kekuasaan Dyah Balitung, sekitar 870 M. Kakawin ini sohor disebut oleh banyak orang sebagai adikakawin. Selain dianggap sebagai kakawin pertama, terpanjang, dan juga terindah gaya bahasanya dari periode Hindu-Jawa.

Berkisah perihal prahara cinta yang bertepuk sebelah tangan dari seorang Rahwana kepada Dewi Sinta, istri Sri Rama, seorang raja dari negeri adidaya bernama Ayodya. Cinta yang bertepuk sebelah tangan karena dedikasi cinta Sinta kepada Rama ini bermuara pada peperangan besar dan kematian Rahwana. Di ujung kisah, Rama, yang ialah titisan Dewa Wisnu, menasihati Arya Wibisana, adik Rahwana, supaya mau menggantikan posisi kakaknya memerintah negeri Alengka.

Dalam konteks inilah, Rama menjabarkan konsep kepemimpinan pada Wibisana, calon raja baru di Alengka, setelah merasa putus asa menyaksikan keluarga besarnya gugur di medan peperangan. Ia dirundung kemalangan merasa diri sebatang kara. Melihat itu Rama memberikan ajaran kepemimpinan yang disebut Astabrata.

Seperti telah ditulis dalam artikel berjudul Etika Kepemimpinan Jawa, Astabrata adalah ajaran tentang darma atau kewajiban ratu gung binathara. Asta berarti “delapan” dan brata berarti “laku”. Dengan begitu Astabrata berarti delapan laku, atau delapan sifat, atau delapan watak, sebagai bentuk kewajiban seorang raja atau Gusti untuk menghadapi rakyat atau kawula-nya secara bijaksana.

Merujuk tuturan nasihat Rama, dalam diri seorang raja harus bersemayam delapan dewa, antara lain: Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, dan Brahma (Agni). Tak satupun dari delapan sifat itu boleh tertinggal. Yasadipura I (1919) dalam Serat Rama, sebagaimana dikutip oleh Soemarsaid Moertono (2018) dalam Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI – XIX, menuliskan ujaran petatah-petitih Rama kepada raja baru itu, Wibisana.

“Waspadalah, kedelapan dewa harus ada dalam dirimu…tidak boleh terlepas dari padamu salah satu dari yang delapan itu, kalau tidak kedudukan Anda sebagai raja akan ada kekurangannya.”

Delapan Kebijaksanaan

Bagaimanakah petatah-petitih Sri Rama saat mengajar perihal kepemimpinan kepada Arya Wibisana, sebagai raja baru di Alengka? Kembali merujuk paparan Yasadipura dalam Serat Rama, seperti dikutip dari bagian Apendiks buku karangan Soemarsaid Moertono, disebutkan bahwa:

“Adapun tingkah laku Batara Indra;

ialah yang dengan bau-bauan menghujani bumi ini

Derma-dananya menghambur tersebar

merata ke seluruh dunia

kepada semua hambanya baik yang besar maupun yang kecil

tanpa membeda-bedakan orang

Itulah tingkah laku Indra”

Maka seturut pandangan ini, seorang raja haruslah memiliki kedermawanan kepada siapapun, tanpa pandang bulu dan tak membedakan sikap baik kepada si kaya maupun si miskin. Itulah kebijaksanaan yang pertama.

Kebijaksanaan yang kedua ialah terkait konsep “equality before the law”. Menghadapi segala tindak kejahatan yang muncul, sebagai sumber hukum seorang raja harus bersikap tanpa pilih kasih. Siapapun yang lancung berbuat jahat, maka tak perduli sekalipun sanak kerabat sendiri, raja harus tegas menghukum dan bahkan memberantas hingga ke akarnya. Dipilihnya asosiasi Dewa Yama sebagai bentuk penegakan hukum secara adil, melukiskan bagaimana tak satupun manusia di dunia bisa menghindari dari ketentuan takdir kematian. Demikianlah, hukum ditegakkan.

“Itulah Batara Yama,

caranya menjaga negara agung”

Apakah ujaran Sri Rama tentang dewa yang ketiga, Batara Surya, sebagai bentuk kebijaksanaan ketiga?

“Betara Surya ialah yang ketiga;

perangainya berparamarta

menurunkan segala yang harum,

restunya menanamkan rasa suasana

yang sejuk,

Itulah yang jadi pegangannya”

Seorang raja harus mengikuti langkahnya Dewa Matahari (Batara Surya). Ia harus sabar dan setia, panas yang membara di musim kemarau, mampu memberikan kekuatan pada semua makhluk. Ia bertindak adil, berwibawa, merakyat, tanpa pamrih, setia kepada bangsa sepanjang masa.

Bicara kasih sayang raja (Gusti) kepada rakyat (kawula), dan bahkan kepada musuh-musuhnya ialah sifat Batara Candra atau Dewa Bulan. Dia memberikan penerangan dalam kegelapan, sinarnya lembut memberikan kedamaian dan kesejukan di hati rakyat. Lebih dari itu, ia juga mudah memberi ampunan kepada mereka yang selama ini memusuhinya.

“Tidak tergesa-gesa dalam segala usaha

si musuh pun dapat diluluhkan hatinya

dan tidak merasa bahwa hatinya kau masuki

karena usahamu dirasakan tidak congkak-rasa

Keempat tingkah laku Batara Candra

Penuh ampun, itu sarananya

memenuhi dunia”

Kebijaksanaan kelima ialah sifatnya Batara Bayu atau Dewa Angin. Sri Rama, merujuk karya Yasadipura, berkata:

“Yang kelima tingkah laku Batara Bayu:

Berputarnya buana yang ia awasi

Kehendak alam yang ia ingin ketahui”

“Tanpa batas dan tanpa tandalah

keinginannya menemukan hasrat alam

diketahuilah kehendaknya

dalam penggunaan tidaklah terasa

dapat dipeganglah kehendak semua abdi raja

semua gerak gerik kawula jelas baginya”

Angin bertiup menyejukkan. Seorang raja harus memberikan kesejukan bagi rakyatnya. Menurut tafsiran Moertono ialah gambaran perihal pandangan yang teliti dan pikiran yang dalam.

Ajaran kebijaksanaan keenam ialah:

“Keenam sang Hyang Kuwera

selamanya hidup berlebih pangan dan kenikmatan;

dalam memerintah dan terhadap mereka yang

ia percayakan mengatur haluan negara.

Tidaklah ia pernah melupakan keperluan jasmani mereka

ia menaruh kepercayaan yang sepenuhnya

dalam usaha mereka tidak berbuat salah”

Di sini merujuk sifat Batara Kuwera sebagai asosiasi tentang harta duniawi, maka kebijaksanaan seorang raja haruslah ditandai sikap kedermawanan dalam memberikan harta benda dan hiburan. Itulah kebijaksanaan keenam.

“Ketujuhnya adalah Baruna

selalu bersenjata itulah wataknya

hingga dapat menjamin aman jalannya;

di dalam hatinya selalu berpegang

pada ilmu dan pengetahuan yang semua ia kuasai

agar dapat mengungguli seluruh jagat

unggul dalam semua kemampuan”

Kebijaksanaan ketujuh ialah seorang raja harus berwatak samudera dalam arti sabar, berwawasan luas, bisa meredam berbagai masalah bangsa, tanggap, pemaaf, dan menentramkan jiwa rakyatnya. Namun demikian seorang raja juga harus memiliki kecerdasan yang tajam dan cemerlang dalam menghadapi kesulitan apapun. Itulah sifat dewa lautan.

Dan yang terakhir atau kebijaksanaan kedelapan ialah, seorang raja harus memiliki keberanian yang berkobar-kobar, tekad yang bulat dalam melawan setiap musuh negara. Itulah sifat Dewa Api, Brama.

“Perilaku Batara Brama

mencari sarana hidup, ia dengan semua hambanya, tinggi,

rendah,

sama berani terhadap musuh

mengerti keinginan para prajurit

musnalah semua penyerang, hancur luluh

ikutilah Batara Brama

tundukkanlah dengan hatimu”

Demikianlah tuturan nasihat Sri Rama kepada Wibisana. Dalam tuturan itu terlihat jelas pesan moral utamanya. Bahwa, alam semesta, yang di sini dianalogikan dengan dewa-dewa, sesungguhnya telah menyediakan keteladanan perihal tugas penyelarasan kehidupan untuk mencapai kehidupan yang harmonis.

Belajar dari hikmah kebijaksanaan alam semesta tersebut, maka seorang pemimpin sejati harus sanggup bukan saja menyelaraskan dirinya sendiri, menyelaraskan dirinya dengan kawula-nya, tetapi lebih jauh bahkan juga menyelaraskan dirinya dengan kosmis alam raya. Dan kata kunci penting merealisasikan tujuan itu, ialah sikap “suwung ing pamrih, tebih ajrih, dan rame ing gawe.” (W-1)

Berita Populer