Presiden Ketiga Republik Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dikenal sebagai sosok fenomenal. Perilaku cucu Kiai Haji Mohammad Hasjim Asy'arie ini dianggap banyak orang sebagai misterius, sukar ditebak. Di sepanjang pemerintahannya sudah tentu tak sedikit mengemuka kontroversi.
Bagi para pengikutnya, kyai nyentrik ini dipersepsi sebagai keturunan seorang wali atau malah setingkat wali. Apa yang disampaikan, sekalipun tak sepenuhnya dipahami oleh mereka, tak jarang dimaknai sebagai vision perihal realitas ke depan. Sementara itu bagi mereka yang tidak menyukainya, Gus Dur sering dituduh sebagai plin-plan atau bahkan asal bunyi.
Terlepas kekurangannya di sana-sini, mungkin agak berlebihan tapi barangkali tidaklah sepenuhnya salah, jika bisa dikatakan, Gus Dur bukanlah semata sosok fenomenal, tapi Gus Dur adalah fenomena itu sendiri.
Hingga suatu ketika, setelah beberapa hari terpilih sebagai presiden, Gus Dur membuat pengakuan bahwa ia pernah meluangkan waktu untuk pergi ke Desa Kajen, Margoyoso, Pati. Gus Dur berziarah ke makam keluarga dan leluhurnya. Sudah tentu perjalanan ini bukanlah nota dinas kepresidenan, melainkan lebih perjalanan personal Gus Dur.
Siapakah leluhur yang hari itu sengaja didatangi oleh Gus Dur? Sebuah harian nasional terkemuka bertanggal 24 Oktober 1999 menyebutkan, Gus Dur berziarah makam Mbah Mutamakin. Harian itu, lebih jauh mengutip pernyataan sosok yang pernah kuliah di Universitas Al Azhar, Mesir, dan Universitas Baghdat di Irak. Demikian kata Gus Dur, "Saya datang ke sini bukan sebagai presiden, tetapi sebagai keturunan Mbah Mutamakin, dan ini bukan untuk syukuran, tetapi untuk slametan, karena kita selamat bisa melaksanakan perjuangan Mbah Mutamakin. Beliau melawan sistem yang salah. Beliau menegakkan keadilan demi kepentingan rakyat dan mudah-mudahan ini bisa terwujud tidak lama lagi."
Jelas kini bahwa pernyataan Gus Dur sebagai personal dan bukan presiden merupakan merupakan sinyalamen perihal apa yang melatarbelakangi kiprah Gus Dur selama ini. Siapakah Mbah Mutamakin, dan apakah korelasi sosok itu dengan kiprah Gus Dur? Apakah pelajaran utama dari kasus Mbah Mutamakin bagi vision Gus Dur?
Jalan Islam Substansi
Haji Ahmad Mutamakin, demikianlah nama lengkap Mbah Mutamakin. Tinggal di Desa Cebolek, Tuban, sebuah wilayah di pesisir Jawa Timur. Dia hidup pada zaman kekuasaan Sunan Amangkurat IV (1719 - 1726) dan putranya, Pakubuwana II (1726 - 1749).
Cerita tentang keberadaan Mbah Mutamakin ini didapat dari Serat Cebolek, karya seorang pujangga keraton Surakarta abad ke-18 yang dikenal sangat produktif, Raden Ngabehi Yasadipura I. Ditulis dalam bentuk macapat terdiri atas 11 pupuh dan menggunakan gaya bahasa Jawa Baru.
Banyak orang menilai, karya kakek dari Rangga Warsita ini tergolong salah satu karya yang memikat. CC Berg berpendapat, Serat Cebolek merupakan sebuah karya susastra yang berisi gambaran penting tentang sinkretisme keagamaan di Jawa. Poerbatjaraka memasukkan naskah ini ke dalam kesusastraan Jawa zaman Surakarta awal.
S Soebardi (1991) dalam desertasinya yang berjudul Serat Cebolek, Kuasa, Agama dan Pembebasan memasukkan karya Yasadipura I dalam tradisi pemikiran Islam periode pertama, jauh sebelum pemikiran para reformis muncul, seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad 'Abduh, dan Muhammad Iqbal.
Saripati kisah Serat Cebolek ialah adanya ketegangan tafsiran antara ulama pembela syariat minded di satu sisi, dan ulama yang menolak kekakuan penerapan ajaran formal legalistik Islam dan tetap memegang ajaran mistik Jawa di sisi lain. Seperti diketahui di sepanjang awal Islamisasi tanah Jawa, konflik tersebut secara tematik dikenal cukup akrab oleh masyarakat Jawa. Sebutlah cerita Syaikh Siti Jenar, Sunan Panggung, ataupun Syaikh Among Raga, bisa dikata perdebatan yang mengemuka selalu seputar topik itu.
Demikian juga Mbah Mutamakin. Dia menyatakan diri telah mencapai "kasunyatan" atau esensi, yaitu mencapai maqam Muhammad sebagaimana dipahami tradisi mistis Islam-Jawa. Dalam kotbah-kotbahnya ia mengajarkan ilmu hakikat dan menganjurkan murid-muridnya meninggalkan syariah sehingga mengguncangkan fondasi komunitas Islam saat itu.
Barangkali saja ditambah dengan perilakunya yang eksentrik dan susah dipahami orang, Serat Cebolek mencatat, dia dimusuhi oleh banyak ulama. Kemarahan para ulama ini memuncak karena Mbah Mutamakin memelihara dua belas anjing. Yang terbesar dinamai Abdul Kahar seperti nama Penghulu di Tuban, dan satunya lagi dinamai Kamarudin, nama Ketib masjid besar Tuban.
Mendengar itu ulama-ulama di Pesisir kemudian bergerak. Mereka mengorganisir jaringan ulama di Pajang, Mataram, Kedu, Pagelan, dan mancanegara, mengundang mereka untuk bersama-sama mengajukan tuduhan terhadap Mbah Mutamakin kepada raja. Mereka mengeluarkan petisi, menganggap Mbah Mutamakin melanggar ajaran-ajaran Islam, dan menuntut pada raja di Surakarta untuk memberikan hukuman mati.
Dalam sidang, saat ditanya dari mana Mbah Mutamakin belajar ilmu hakikat? Mbah Mutamakin mengaku belajar ilmu hakikat pada Ki Syaikh Zain saat naik haji dulu. Menurutnya ajaran guru hakikat dari negeri Yaman tersebut isinya sama persis dengan kitab Bhima Suci.
Walhasil, setting utama cerita Serat Cebolek ialah seputar perdebatan antara Mbah Mutamakin dengan Ketib Anom dari Kudus. Yang dibedah dan diperdebatkan ialah kitab Bhima Suci, yaitu sebuah suluk Jawa yang berisi kisah pencarian Tuhan oleh Bhima atau di Jawa sohor disebut Werkudara.
Ketib Anom piawai menafsirkan dan menjelaskan isi ajaran Dewa Ruci tersebut, juga memiliki kekayaan diskursus baik bersumber dari tradisi Islam maupun Jawa. Seni retorikanya pun sangat memadai. Selain kaya dengan permainan metaforik, juga paham pesan simbolik dalam bercakap. Singkat kata, sangat terpelajar dan berkelas. Menariknya pada saat itu, Ketib Anom juga mengakui ajaran Dewa Ruci itu memiliki hubungan maknawi yang secara hakiki tidaklah berbeda dengan saripati Islam.
Sementara itu, Mbah Mutamakin ialah sisi lainnya. Selain gagal memenuhi tantangan debat tersebut, Mbah Mutamakin juga tak cakap menafsirkan permainan simbolik dalam kitab Bhima Suci. Tutur katanya buruk, bagaimana tata krama pergaulan di lingkungan birokrasi keraton, juga enggak paham. Maklum, Mbah Mutamakin miskin. Dalam perdebatan ini Mbah Mutamakin kalah telak. Hasilnya dia jadi olok-olok dan bahan tertawaan banyak orang yang hadir.
"Sekiranya ia tidak pernah pergi naik haji//ia pantas menjadi penjual jerami//atau berdagang itik" demikian olok-olok dalam Serat Cebolek Pupuh IV.
Namun nasibnya masih beruntung. Tak seperti generasi sebelumnya--Syaik Siti Jenar yang dihukum mati, Sunan Panggung dibakar api sekalipun konon tidak mati, Ki Bebeluk maupun Syaik Among Raga juga dihukum mati--Mbah Mutamakin luput dari hukuman. Raja Pakubuwana II memaafkan dan memberi ampunan.
Selain itu, raja justru punya pandangan lain. Bukan hanya merasa berempati, raja juga melihat sinar kesucian di balik wajahnya yang terkesan bodoh. Demikian ujar raja, seperti terekam dalam Serat Cebolek, pupuh IV, 33, "Telah menjadi suratan, ia diciptakan dengan tampang dungu//tapi diberi hati yang suci//untuk menjadi petugas sukma//(ia telah) ditakdirkan memiliki hati suci."
Dua setengah abad kemudian, setelah Pakubuwana mangkat. Pada 1999 Gus Dur menjadi Presiden Keempat RI. Gus Dur mungkin juga memiliki rasa yang sama seperti Pakubuwana terhadap Mbah Mutamakin. Ada empati kuat, juga masih terasa menjejak aura kesucian Mbah Mutamakin. Mudah diduga, rasa itulah yang menghantar Gus Dur ziarah ke sana.
Satu dekade lebih sebelum momen ziarah itu, sosok yang lahir dan besar di lingkungan pesantren Tebu Ireng ini, pernah menulis artikel Pribumisasi Islam di tahun 1989. Sekalipun istilah "pribumisasi" barangkali tidaklah sepenuhnya tepat, dan mungkin lebih tepat memakai "lokalisasi", pesan moral tulisan tersebut sangatlah terang benderang.
Bahwa Islam bukanlah sesederhana arabisasi. Islam adalah entitas universal, sedangkan arabisasi ialah konteks partikular. Meskipun Islam lahir di Arab, nilai-nilai Islam tidaklah selalu serta-merta identik dengan dan satu-satunya dengan budaya Arab.
Pentingnya konteks pribumisasi Islam di Indonesia adalah membuat wajah Islam di Indonesia selaras dengan budaya dan tradisi lokal, dan spirit tersebut pada abad ke-18 lebih lekat pada sosok Mbah Mutamakin sebagai representasinya. (W-1)