Suka atau tidak-suka, bicara awal mula sejarah penanggalan di Nusantara, khususnya Jawa, ialah bermuladari sistem Tahun Saka. Benar, bahwa sebelum era itu, sering disebutkan, Nusantara sebenarnya telah memiliki sistem pemerian waktu sendiri yang khas dan asli Indonesia.
Dalam berbagai bahasa etnis atau lokal sistem penanggalan ini jamak disebut dengan nama ‘Pawukon’. Sistem ini digunakan masyarakat sebagai dasar perhitungan mengenai pranata mangsa. Pranata yang berarti tatanan, dang mangsa yang berarti musim atau waktu. Pranata mangsa di Nusantara dibagi dalam dua belas musim atau waktu (Tanojo, 1962). Keberadaan tradisi ini dikenal luas dalam berbagai masyarakat etnis di Indonesia.
Pada 2014, Pawukon telah resmi tercatat terdaftar sebagai warisan budaya tak benda Indonesia di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan kategori Pengetahuan dan Kebiasaan Perilaku Mengenai Alam Semesta. Diajukan Propinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Depansar-Bali, dan Nusa Tenggara Barat.
Menurut para pakar, sistem pawukon ini telah dikenal sejak era kabuyutan atau sebelum masuknya pengaruh budaya dan agama yang datang dari luar ke Indonesia. Sayangnya hingga kini, tidak ada sumber referensi secara adekuat yang sanggup menjelaskan secara akurat, dari mana dan sejak kapan sistem Pawukon diberlakukan di Indonesia.
Benar, di beberapa prasasti kuno telah dicatat perihal sistem Pawukon. Sebutlah yang tertua ialah Prasasti Lintakan, berangka tahun 841 Saka (919 Masehi). Sedangkan lainnya, nisbi lebih muda seperti Prasasti Watu Kura di Prambanan Jawa Tengah (abad ke-10) dan Prasasti Sirah Keteng di Wengker Jawa Timur (abad ke-12).
Tentu juga benar bahwa topik seputar Pawukon pun ditemui pada tradisi sungging (seni lukis tradisional), seni pahat baik arca maupun relief candi, seni susastra, dan lain sebagainya, yang sekali lagi, menguatkan hipotesa bahwa sistem ini telah mendarah daging dalam tradisi masyarakat Indonesia.
Namun demikian, jika disimak baik-baik, maka akan segera tampak bahwa seluruh periodesasi pelbagai prasasti itu dibuat pada kurun waktu yang nisbi lebih muda, dibandingkan pemerian waktu berdasar Tahun Saka muncul pertamakali dalam prasasti.
Walhasil, sekali lagi, suka atau tidak-suka jikalau bicara sistem penanggalan awal di Nusantara secara ilmiah lazimnya dirujukan pada diadopsinya Tahun Saka dari India, yang secara folklore sohor dikenal dengan kisah Raja Aji Soko.
Kalender Saka-Hindu
Sistem penanggalan masyarakat Jawa sebelum memasuki era Mataram-Islam tercatat masih menggunakan sistem kalender tahun Saka. Seperti telah disinggung di muka, masyarakat etnis Jawa tentu sangat mengenal folklore Raja Aji Saka.
Sosok legenda ini selain selalu dihubungkan dengan keberadaan aksara ha-na-ca-ra-ka, tokoh Raja Aji Saka juga sekaligus dimitoskan sebagai pencipta huruf Jawa. Denys Lombard menggarisbawahi, dalam legenda Raja Aji Saka ini telah terjadi persilangan yang sangat kuat antara budaya Jawa dan India.
Konon, datang dari India dan menetap di Medang Kamulan. Raja Aji Saka sanggup menghalau semua raksasa yang gentayangan di Pulau Jawa, mengembalikan keseimbangan yang goyah, mengembalikan ketertiban, dan membangun peradaban, serta menciptakan huruf Jawa. Dari nama Raja Aji Saka itulah diduga istilah Tahun Saka juga bermula.
Meski demikian, sebenarnya tetap tidak diketahui secara pasti sejak kapan sistem Tahun Saka ini telah digunakan di Indonesia. Konon, sejalan dengan masuknya agama Hindu-Budha dari India.
Menarik dicatat di sini, bahwa diadopsinya sistem Tahun Saka ini dilakukan melalui proses adaptasi, yaitu dengan cara diintegrasikan dengan sistem Pawukon yang merupakan pemerian waktu yang asli dan khas Nusantara.
Sejak kapan tahun Saka mulai dikenakan? Sebutlah Prasasti Kedukan Bukit dari Kerajaan Sriwijaya, misalnya, sejauh ini prasasti beraksara Pallawa berangka 605 tahun Saka atau 683 Masehi ditengarai adalah yang tertua.
Sebelum periode ini, sebenarnya telah ditemukan prasasti yang notabene berusia lebih tua. Prasasti Mulawarman, misalnya, ditemukan di Kutai dan diperkirakan ditulis awal abad ke-5 Masehi. Atau juga Prasasti Kebun Kopi, ditemukan di Bogor dan diestimasi juga berasal dari kisaran abad ke-5.
Namun perkiraan abad ke-5 Masehi pada kedua prasasti itu sebenarnya bukan berasal dari catatan angka tahun yang tertera secara definitif dalam prasasti, melainkan sesungguhnya lebih ditafsirkan dari asumsi bentuk gaya penulisan, jenis bahasa, dan huruf yang dikenakan saat itu.
Dari berbagai sumber disebutkan, bahwa memasuki era Kerajaan Majapahit praktis Tahun Saka telah digunakan sebagai penanda waktu di Nusantara. Bahkan, konon, pergantian tahun Saka saat itu dirayakan secara resmi, yaitu setiap masuk bulan Caitra (Maret).
Sistem kalender Saka terdiri dari 12 bulan. Merujuk pada sistem luni-solar. Selisih perbedaan antara Tahun Saka dan Tahun Masehi terpaut 78 Tahun. 1 Tahun Saka ialah 79 Tahun Masehi.
Kalender Jawa-Islam
Memasuki era Mataram-Islam, khususnya pada zaman kekuasaan Sultan Agung (1613-1645), sistem kalender tahun Saka itu diperbaharui. Sultan Agung memperbaharui sistem kalender Jawa itu dengan menggabungkan antara sistem kalender tahun Saka dan sistem kalender Islam (Hijriyah).
Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari. Pertama, ialah siklus mingguan. Terdiri dari tujuh hari, di mana pemberian nama hari itu menyerap dari bahasa Arab. Ahad atau Minggu, Isnain atau Senin, Tsalasa atau Selasa, Arba’a atau Rabu, Khamisi atau Kamis, Jum‘ah atau Jumat, dan Sab’ah atau Sabtu. Kedua, ialah siklus pancawara. Terdiri dari lima hari pasaran, yaitu Manis, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon.
Sedangkan dalam pemerian Tahun Jawa-Islam terdapat 12 bulan, yaitu Suro, Sapar, Mulud, Bakdomulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, dan Besar.
Perubahan sistem kalender di Jawa itu dimulai pada Jumat Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 Saka bertepatan dengan tanggal 1 Muharram tahun 1043 H, atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi.
Uniknya, periode Tahun Saka saat itu, yaitu 1555, tetap diteruskan dalam hitungan kalender Jawa dan tidak memulainya dari Tahun Islam. Selain itu juga mengubah dasar penghitungan kalender dari sistem solar pada Tahun Saka, untuk kemudian disesuaikan menjadi sistem lunar pada Tahun Islam.
Hasilnya, hingga saat ini awal tahun baru kalender Jawa selalu jatuh bersamaan dengan tahun baru Islam. Implikasinya ialah, saat umat muslim merayakan tahun baru Islam, yaitu 1 Muharam 1440 Hijriah, maka pada saat yang sama masyarakat Jawa juga merayakan tahun baru kalender Jawa, yaitu 1 Sura 1952.
Pembaharuan sistem kalender yang dilakukan oleh Sultan Agung tersebut merupakan bukti alkulturasi antara agama Islam dan kebudayaan Jawa yang luar biasa.
Hingga saat ini, sistem penanggalan Jawa masih digunakan oleh banyak kalangan khususnya etnis Jawa. Tujuan utamanya, menentukan hari baik dan menghindari hari buruk untuk kepentingan tertentu, seperti perkawinan, membuat rumah, upacara ritual slametan atau bancakan, dan lain sebagainya. (W-1)