Sebanyak 58 peneliti Indonesia masuk peringkat top dunia. Terdiri dari kalangan perguruan tinggi negeri/swasta, periset BRIN, dan lembaga penelitian lainnya.
Sains, ilmu pengetahuan, dan teknologi merupakan basis dari kemajuan suatu bangsa. Kebijakan suatu negara tanpa mengacu pada science based policy berbasis riset dan teknologi sulit untuk bersaing dalam meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan rakyatnya.
Sebelum 2016, penelitian Indonesia di tingkat regional masih tertinggal dengan negeri jiran. Awal 2021, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro menyatakan, publikasi riset Indonesia di antara negara ASEAN berada di urutan kedua sepanjang pada 2016-2020. Meski ada kemajuan dibandingkan periode sebelumnya, pencapaian Indonesia itu masih berada di bawah jumlah total hasil riset yang dipublikasikan Malaysia dalam kurun empat tahun terakhir.
Pada periode 2016 hingga 2020, Indonesia mengalami lonjakan paling tinggi dari posisi sebelumnya yang relatif rendah di tahun 2016. Dari rangking 4, kini di tahun 2020 menjadi nomor satu.
Dari jumlah publikasi riset, perinciannya, artikel jurnal sebanyak 23.607 buah dan conference paper sebanyak 22.906 buah. Dengan demikian, jumlah publikasi ilmiah dalam negeri berjumlah 46.513 buah pada 2020.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek sejak awal selalu mendorong agar para peneliti di perguruan tinggi maupun lembaga penelitian lainnya aktif dalam menerbitkan publikasi dan jurnal ilmiah sebagai tolok ukur kemajuan sains dan riset di Indonesia.
Tidak hanya dari segi kuantitas yang dikejar, soal pengakuan keilmuan para peneliti Indonesia sudah tak diragukan lagi. Terbukti sebanyak 58 ilmuwan asal Indonesia termasuk dalam daftar 2 persen saintis paling berpengaruh di dunia 2021 (Top 2% World Ranking Scientists). Daftar ini dirilis Elsevier BV yang diperbarui tiap tahun.
Daftar tersebut dirilis dalam pemeringkatan yang dilakukan peneliti dari Stanford University, Profesor John Ioannidis bersama Jeroen Baas dan Kevin Boyack yang dipublikasikan pada 20 Oktober 2021. Jumlah peneliti Indonesia mengalami kenaikan tahun ini dibandingkan 2020. Tahun lalu, ada 40 ilmuwan berafiliasi Indonesia yang masuk dalam daftar tersebut.
Dari 58 peneliti Indonesia yang masuk top rangking dunia itu terdiri dari kalangan perguruan tinggi negeri/swasta, periset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dan lembaga penelitian lainnya. Dalam World Ranking Scientist yang dipublikasikan Stanford University tersebut, matriks penilaian didasarkan pada basis data lebih dari 100.000 saintis top. Basis data tersebut memuat informasi terstandar tentang sitasi, h-indeks, hm-indeks yang disesuaikan dengan penulisan bersama, serta indikator gabungan.
Saintis diklasifikasikan menjadi 22 bidang dan 176 sub-bidang keilmuan. Data sepanjang karier saintis diperbarui hingga akhir 2020. Pemilihan saintis yang masuk dalam daftar “Top 2% World Ranking Scientists” didasarkan pada posisi 100.000 teratas berdasarkan skor-c (dengan dan tanpa self-citation) atau ranking persentil 2% atau lebih.
Sains untuk Komunitas
Dari 58 peneliti Indonesia tersebut, ada dua periset BRIN yaitu Dr Ratih Pangestuti dan Dr R Tedjo Sasmono. Mereka menorehkan prestasi sebagai sosok yang masuk dalam daftar prestisius saintis teratas dunia tersebut.
Doktor Ratih Pangestuti adalah peneliti dari Balai Bio Industri Laut (BBIL) BRIN. Peraih gelar Doktor bidang Marine Biochemistry dari Pukyong National University Korea Selatan pada 2012 itu banyak menaruh perhatian pada eksplorasi sumber daya laut secara berkelanjutan. Selain aktif sebagai peneliti, Ratih Pangestuti saat ini juga ditugaskan sebagai pelaksana tugas Kepala Kantor BBIL BRIN di Nusa Tenggara Barat dan juga sebagai ketua kelompok penelitian bio industri laut.
"Saat ini kita banyak melupakan lautan, lupa akan seberapa besar potensi laut yang kita punya dan pemanfaatannya untuk kesejahteraan bangsa," ujar Ratih, Selasa (26/10/2021) seperti dilansir dari laman BRIN.
Menurutnya, seorang peneliti tidak hanya mempublikasikan hasil risetnya ke dalam artikel ilmiah (science for science). Melainkan juga harus berkontribusi dalam pilar IPTEK yang lain, yakni science for scientific community dan science for stakeholders (sains untuk komunitas dan masyarakat lokal).
Riset yang sedang dikembangkannya saat ini adalah pengembangan under-exploited rumput laut untuk meningkatkan daya saing produk kelautan nasional dan industri pangan bahari. Adapun Doktor R Tedjo Sasmono adalah peneliti senior pada Pusat Riset Biologi Molekular (PRBM) Eijkman BRIN. Pria berkacamata ini memulai kariernya sebagai periset di LBM Eijkman pada 1994. Meraih PhD dalam bidang molecular bioscience dari University of Queensland, Australia, pada 2003. Saat ini, Dr Tedjo adalah ketua kelompok Unit Penelitian Demam Berdarah Dengue di PRBM Eijkman.
Dari kalangan perguruan tinggi, tiga peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yaitu Profesor Dr Abdul Rohman SF, Apt, MSi, Profesor Dr rer nat Muh Aris Marfai SSi, MSc, dan Profesor Ahmad Maryudi Shut, MFor, PhD, juga masuk top 2% World Ranking Scientists 2021.
Profesor Abdul Rohman, merupakan Guru Besar Fakultas Farmasi UGM dan menjabat sebagai Ketua Pusat Unggulan Ipteks Perguruan Tinggi Institute for Halal Industry and System (PUI-PT IHIS) UGM. Peraih gelar doktor Institut Penyelidikan Produk Halal, Universiti Putra Malaysia dalam bidang Halal Food Analysis pada 2011 itu banyak menaruh perhatian pada kajian kehalalan dan autentikasi produk makanan, farmasi, serta kosmetik.
Ketertarikan Abdul bermula karena minimnya riset terkait produk halal. Penelitian terhadap kehalalan produk kurang menarik bagi peneliti dari negara-negara besar dunia karena tidak terkait dengan kepentingan mereka. Sementara itu, penggunaan produk-produk halal kian meningkat seiring kesadaran masyarakat muslim dunia akan produk halal baik makanan, farmasi, hingga kosmetik.
Muh Aris Marfai, adalah Guru Besar bidang Geomorfologi Bencana Fakultas Geografi UGM. Ia meraih gelar doktor dalam bidang Geografi dan Bencana Alam di Justus-Liebeig Universitat, Giessen, Jerman pada 2008.
Aris yang saat ini menduduki jabatan sebagai Kepala Badan Infomasi Geospasial (BIG) ini fokus mengkaji geomorfologi pesisir dan informasi geospasial dan aktif memublikasikan hasilnya di berbagai jurnal internasional. Dia mengungkapkan ketertarikannya menekuni kedua kajian tersebut karena melihat Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya merupakan lautan.
Selanjutnya, Profesor Ahmad Maryudi, merupakan Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM, yang meraih gelar doktor dalam Kebijakan Pembangunan Hutan dari Universitas Göttingen (Jerman). Sejak 2005, Maryudi aktif melakukan penelitian dan publikasi terkait kebijakan kehutanan, tata kelola hutan, dan tata guna lahan, termasuk kebijakan hutan rakyat dan kehutanan sosial.
Penulis: Kristantyo Wisnubroto
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari