Ajip Rosidi, dibaca Ayip Rosidi (80), penulis, wartawan, dan budayawan asal Jatiwangi, Majalengka, pernah menulis tentang pertunjukan wayang di wilayah Cirebon dan sekitarnya dengan cara bercerita yang mengalir indah dan mudah dipahami. Berbeda dari para penulis pertunjukan wayang yang biasanya berasal dari kalangan akademisi, Ayip mampu menceritakan kenangan masa kecil, dalang idola, kemeriahan suasana tontonan, hebatnya pertunjukan wayang, hingga pesan-pesan nilai luhur seni pewayangan dalam bahasa yang enak dibaca.
Dalam buku Rikmadenda Mencari Tuhan, terbitan tahun 1991, Ayip memunculkan sosok istimewa bernama Abyor, seorang dalang gaya Cirebonan yang aktif pada periode 50-an. Pada saat itu seni pertunjukan rakyat di Indonesia sedang berada pada suasana semarak, seiring dengan kebijakan politik kebudayaan di tingkat nasional yang sangat dinamis.
Abyor lahir pada 1914, dia adalah anak seorang dalang. Seperti banyak diketahui keahlian mendalang lazim diturunkan melalui keturunan. Ayahnya bernama Cita, seorang dalang yang berasal dari daerah Palimanan, dari Cirebon ke arah barat daya, berbatasan dengan Majalengka.
Abyor mengenal wayang seperti halnya mengenal cara dia berpakaian. Sedari kecil Abyor, sering duduk di dekat bapaknya saat melakukan pertunjukan. Tentu saja bukan hanya menonton bapaknya beraksi, Abyor kecil diajari untuk mengambil wayang-wayang yang diperlukan bapaknya dalam pertunjukan dengan hanya melihat 'petunjuk' kecil dari bapaknya. Dari puluhan wayang yang ada di dalam kotak, Abyor harus bisa mengenali satu demi satu tokoh yang diinginkan hanya dari melihat bentuk hidungnya.
Siang hari sebelum pertunjukan wayang utama adalah waktu yang tepat bagi Abyor untuk berlatih. Latihan dasar hingga keterampilan teknis mendalang tentu biasa dilakukan di rumah atau di sanggar, tetapi latihan melakukan pertunjukan dilakukan di siang hari yang juga dipertontonkan bagi umum. Lakon yang digelar adalah lakon-lakon pokok atau babon yang berasal dari cerita-cerita Wayang Purwa atau merujuk pada pakem pedalangan.
Hal ini yang membedakan pertunjukan wayang di wilayah Cirebon dengan pertunjukan wayang di Jawa, baik gaya Solo atau Jogja. Di Jawa pertunjukan wayang purwa biasa dipertunjukan oleh dalang senior untuk memperlihatkan keutamaan cerita-cerita wayang Purwa. Dalang wayang Purwa di Jawa harus mampu menyajikan pertunjukan yang memperlihatkan kesakralan, kemegahan, dramaturgi, koreografi, aransemen musik, hingga pesan-pesan tutur yang penting bagi masyarakat penontonnya. Di Cirebon, pakem wayang purwa harus mampu dimainkan oleh anak-anak sebagai cara untuk memberikan dasar-dasar ilmu pewayangan bagi generasi penerus. Jika kemampuan dasar sudah dimiliki oleh generasi penerus, kemampuan mendalang di tingkat 'senior' lebih ditantang lagi dalam bentuk lakon kreasi sendiri atau carangan.
Tradisi memberikan kesempatan mendalang bagi anak-anak di siang hari, menurut perkiraan beberapa peneliti wayang yang ada saat ini seperti Matthew Cohen dari Royal University of London, sebenarnya juga ada dalam tradisi pewayangan di Jawa. Cirebon sebagai wilayah yang mempunyai sejarah khas masa transisi. Dari masa awal ke Hindu-Buddha, dari Hindu-Buddha ke Islam, hingga masa kolonial Belanda, hampir semuanya terdapat peninggalannya di dalam artefak seni budaya Cirebonan.
Baru-baru ini di Universitas Yale, New Haven Connecticut, New York, beberapa peneliti mendata koleksi wayang yang bisa mereka kumpulkan dari berbagai penyumbang dan kolektor. Dalam koleksi mereka yang konon mencapai lebih dari 20.000 artefak lengkap dengan kostum, lukisan, lampu, topeng, buku, dan lainnya terdapat wayang-wayang yang dibuat khusus untuk pertunjukan anak-anak. Para dalang menyebutnya sebagai wayang Kidang Kencana. Wayang-wayang itu menampilkan tokoh-tokoh pewayangan dalam bentuk-bentuk anak-anak.
Bentuk-bentuk wayang anak-anak inilah yang lazim digunakan para dalang di masa yang belum terlalu lampau untuk memudahkan mengajarkan keahlian mendalang bagi anak-anak. Dalang Abyor adalah kisah sejarah proses kreatif dari seorang anak dalang, belajar mendalang, belajar mempertunjukkan, dan lebih lagi selalu belajar dari berbagai macam sumber untuk menjadikan dirinya seorang dalang yang hebat.
Seorang dalang, dalam penuturan Ayip, yang dia dapat dari wawancara pribadi dengan Abyor, hanya akan menjadi tukang pertunjukan wayang saja jika berhenti belajar. Dia tidak akan lebih dari itu. Mungkin penonton akan senang karena dalang bisa menyajikan hiburan, tetapi wayang sebagai seni tingkat tinggi, tidak hanya hiburan semata, tidak akan bisa tersampaikan dari dalang yang tidak mau belajar. Menjadi dalang adalah profesi yang menuntut kemampuan dan kemauan belajar seumur hidup.
Sujiwo Tejo, jurnalis, penulis buku, dalang, koreografer musik, dan aktor, pernah mengatakan bahwa seni mendalang menuntut dalang menjadi seniman serba bisa. Segala macam yang dibutuhkan bagi pertunjukan wayang semuanya berada dalam otoritas seorang dalang. Mulai dari menyusun komposisi gamelan yang dibutuhkan, menciptakan suasana teaterikal yang dikehendaki, menentukan siapa yang harus memainkan atau menyanyikan apa yang sesuai dengan lakon yang dia bawa sampai dengan membuat sendiri wayang-wayang unik yang akan memunculkan signatur atau ciri khas wayangnya, semuanya harus dimiliki oleh seorang dalang.
Dan di Cirebon, kemampuan seni pedalangan lebih ditantang lagi dengan tingginya mutu seorang dalang yang diukur dari lakon kreasi sendiri. Pada titik ini kemampuan intelektual, kebijaksanaan, imajinasi, hingga kemampuan melontar kelucuan seperti seorang komedian tunggal harus dimiliki oleh seorang dalang.
Sebagai sebuah ilustrasi, konon Ki Nartosabdho, dalang legendaris dari Jawa Tengah, bukanlah anak dalang. Ayahnya hanya seorang penabuh gendang karawitan. Untuk mempunyai kemampuan hingga menjadi dalang Ki Nartosabdho memulai dari menjadi pemain wayang orang, pengambil wayang, penabuh gamelan, pengendang, dan pendamping pribadi dalang mulai dari nama-nama seperti Ki Sastrosabdo, Ki Gitocarito, Ki Pujosumarto, dan Ki Wignyo Sutarno. Semuanya dia lakukan dalam kurun waktu dua puluh tahun. Jika diibaratkan dengan belajar di universitas, seorang dengan kemampuan seperti Ki Nartosabdho setara dengan doktor yang harus benar-benar menguasai ilmunya. (Y-1)