Indonesia.go.id - Gotong Royong, Antara Sukarno, Suharto, dan Dangdut Koplo (2)

Gotong Royong, Antara Sukarno, Suharto, dan Dangdut Koplo (2)

  • Administrator
  • Rabu, 23 Januari 2019 | 07:50 WIB
KEBUDAYAAN
  Sumber foto: Antara Foto

Ditingkahi dengan kebutuhan manusia yang ingin selalu tersambung satu sama lain, piranti genggam berkembang menjadi faktor pengubah peradaban manusia pada saat ini.

Perkembangan teknologi jejaring maya telah menghadirkan potret mini interaksi sosial masyarakat manusia. Salah satu yang cukup menarik, terkait dengan pembahasan soal gotong royong adalah munculnya cara mengembangkan sistem interaktif dunia maya ini dengan filosofi “opensource”. Opensource adalah cara mengembangkan program-program komputasi yang meletakkan kode program sebagai akses yang terbuka bagi siapa saja, untuk bisa dikembangkan juga oleh siapa saja, berdasarkan komunitas. Cara ini mampu secara efektif mengembangkan kode komputasi yang lebih canggih dan handal mengikuti perkembangan teknologi cyber global. Tentu ada faktor tertentu seperti model kerahasiaan kode-kode komputer di perusahaan-perusahaan teknologi besar semacam Apple Inc yang menjadi faktor penting dalam kompetisi kemajuan teknologi siber.

Gotong royong komunitas programmer memunculkan lisensi GPL (general public license) yang membolehkan siapa saja, dengan kemampuan pemrograman, untuk mengolah kode-kode program yang dibagikan di tengah-tengah komunitas dunia maya. Linus Torvald adalah nama yang terkenal yang mengembangkan teknologi sistem operasi komputer berjejaring dengan mengembangkan sistem operasi berbasis UNIX yang kemudian menjadi terkenal dengan namanya, Linux.

Sejak awal 90-an sistem operasi Linux yang benar-benar merupakan kerja banyak orang berkembang setapak demi setapak menjadi sistem operasi yang terbukti paling tangguh dalam menghadapi perkembangan teknologi berjejaring maya yang sangat rentan dengan gangguan atau manipulasi dari komunitas-komunitas siber canggih bahkan jenius. Model teknologi gotong royong Linux ini kemudian mengukuhkan semakin kuatnya jaringan antar-“server” komputer di dunia ini.

Tetapi tantangan kemajuan teknologi berjejaring tidak lagi berada pada tingkatan server komputer. Infrastruktur teknologi/hardware yang berkembang pesat, kecepatan prosesor yang kencang, kapasitas penyimpanan data yang semakin besar, jalur tol lalu-lintas data yang semakin lebar, ditambah pengembangan teknologi komputer yang semakin kompak, luwes, dan mengecil membuat gotong-royong siber ini berkembang ke kualitas yang lebih baru.

Komunitas-komunitas pengembang atau disebut distro di dalam jagat opensource, tidak lagi melulu mengembangkan platform berbasis “server”. Distro-distro ini mulai mengembangkan platform berbasis “user”.  Platform user ini berkembang seiring majunya teknologi piranti genggam atau bisa disebut “gadget”. Dalam piranti genggam, komputer-komputer menemukan huniannya yang baru. Ditingkahi dengan kebutuhan manusia yang ingin selalu tersambung satu sama lain, piranti genggam berkembang menjadi faktor pengubah peradaban manusia pada saat ini.

Sistem operasi android adalah kisah sukses teknologi “gotong royong” berhadapan dengan teknologi serba berbayar bikinan Apple Inc. Steve Jobs adalah seorang pengusaha, ahli komputer, yang semasa hidupnya membela mati-matian ekslusivitas teknologi Apple berhadapan dengan teknologi Android yang berbasis distro “gotong royong”. Apa mau dikata, ternyata kekuatan kontribusi komunitas “gotong royong” ternyata tidak kuat dibendung oleh Steve Jobs. Sampai dengan meninggalnya Steve Jobs, sistem operasi Android telah bersanding sejajar dengan iOS bahkan tingkat ekspansinya tidak bisa dikejar lagi. Apa yang bertahun-tahun diteliti secara rahasia oleh Apple, ternyata dalam waktu singkat bisa dicapai teknologi Android. Apalagi saat prosesor Apple mulai menggunakan teknologi pabrikan lain yang kodenya sudah dikuasai oleh komunitas “gotong royong” maka laju teknologi hasil kepala orang banyak menjadi pemimpin hingga saat ini.

Di Media Sosial

Fenomena media sosial berbanding lurus dengan fenomena piranti genggam selular. Piranti genggam yang biasa disebut dengan ‘smartphone’ telah memindahkan komputer yang paling portabel sekalipun hanya dalam genggaman. Banyak pakar teknologi meramalkan di masa depan evolusi komputer ke piranti genggam dan bentuk lainnya akan semakin luwes hingga ke bentuk yang tidak bisa dibayangkan. Seringkali, satu model yang diramalkan gagal justru menjadi pemimpin teknologi karena faktor manusia penggunanya.

Komputer tablet yang sekarang juga berteknologi smartphone awalnya tidak menarik dan hampir dianggap gagal karena serba tanggung. Perkembangan teknologi gotong royong yang mempertimbangkan keluwesan bagi penggunanya membuat komputer tablet adalah pemimpin kemajuan teknologi lengkap dengan kode-kode aplikasi baru, yang jumlahnya juga sudah tidak bisa dibayangkan. Pada zaman piranti genggam ini banyak muncul aplikasi pemrograman komputer yang sebelumnya memang belum pernah ada.

Lewat piranti genggam inilah muncul media sosial. Media sosial adalah aplikasi internet berbasis jaringan yang menyambungkan penggunanya di seluruh dunia hingga menyerupai masyarakat atau sosial. Bentuk-bentuk perubahan piranti genggam beserta aplikasi di dalamnya menyesuaikan dengan watak masyarakat penggunanya yang terhubung secara viral bahkan multiselular. Kecenderungan penggunaan media sosial dari masyarakat penggunanya secara bersama-sama memunculkan watak gotong royong yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Masyarakat pengguna media sosial dengan dinamikanya telah membuat media sosial menjadi aplikasi yang saling bersaing dalam efektifitas penggunaannya. Awalnya adalah Facebook yang muncul saat teknologi piranti genggam belum setinggi sekarang, sedangkan teknologi komputer sudah mampu menjadi sarana interaksi antara pengguna komputer. Facebook muncul dengan kelengkapan yang mewah karena dia merupakan miniatur komputer organiser. Apa saja ada di dalamnya, dari mulai data pribadi, agenda pribadi, catatan pribadi, hobi, karya, game, hingga kelengkapan e-mail dan chating. Hampir tanpa saingan, Facebook berdiri di atas kuburan beberapa aplikasi media sosial rintisan sebelumnya seperti Myspace dan Friendster.

Kemudian muncul Twitter, nyaris tanpa ancaman, karena hanya dianggap sebagai pencontek status Facebook. Tetapi kemudian teknologi piranti genggam menjadi penentu. Pindahnya komputer dalam genggaman menyiratkan teknologi yang tidak terlalu berat tapi handal. Twitter menjadi sangat lincah karena memang dia hanya menyajikan fitur yang “sekadar” status yang dia sebut sebagai “twit” atau celotehan. Bersama munculnya sistem operasi berbasis selular berbayar seperti Blackberry Messenger dari RIM, Twitter mulai menemukan tajinya.

Perkembangan Twitter menjadi sangat cocok di dalam teknologi piranti genggam adalah bukti watak masyarakat siber yang menentukan arah pengembangan teknologi berdasarkan sifat-sifat konsumsi globalnya. Satu hal lain pembeda Twitter dengan Facebook adalah model relasi jejaringnya. Jika di Facebook hubungan antara pengguna aplikasi berdasarkan saling kenal atau pura-pura kenal dan pertemanan, maka di Twitter hubungan antara pengguna aplikasi berdasarkan pada kerelaan saling menjadi pengikut, atau cukup antara idola dengan para pengikutnya. Perbedaan kecil inilah yang kemudian menjadi pembeda besar media sosial gaya Facebook dengan Twitter.

Twitter adalah media sosial yang naik derajat karena mampu menjadi indikator demokratisasi masyarakat penggunanya. Watak konsumsi global yang mengubahnya. Media sosial yang di zaman Facebook menjadi ajang pamer eksistensi diri, jualan, mencari jodoh, iseng-iseng, hingga penipuan, dan kejahatan lainnya, menjadi berbeda saat fitur yang dimunculkan hanya berupa status pendek.

Twitter dengan mengubah otoritas antarpengguna dari berdasar saling kenal atau pura-pura kenal, menjadi antara idola dengan pengikutnya kemudian menciptakan model “mini-trust” di masyarakat pengguna Twitter. Sangat sulit menjumpai pengguna-pengguna Twitter sukses memanipulasi, menipu, atau menjahati pengguna lain. Yang berkembang di Twitter adalah manipulasi argumentasi, opini, hingga penentuan kebijakan. Twitter benar-benar menjadi sarana demokratisasi bagi masyarakat penggunanya.

Langkah besar aplikasi teknologi media sosial yang bernama Twitter adalah kesuksesannya menerjemahkan prinsip Fallibilisme yang berasal dari diskursus demokrasi. Prinsip Fallibilisme adalah prinsip “sangat mungkin untuk salah”  yang menjadi dasar tumbuhnya demokrasi. Di jagat Twitter argumentasi adalah panglima, sehingga argumentasi itu sesuai wataknya akan selalu diuji oleh argumentasi-argumentasi lain. Saat suatu argumentasi mampu muncul rasional, masyarakat Twitter akan mengukuhkan keberlangsungan hidupnya. Ada yang mencoba untuk sekadar memanipulasi dengan konsisten dengan sistem agitasi dan propaganda atau perang data, tetapi masyarakat Twitter yang niat berumur panjang sudah mempunyai kuburan bagi “abuser” dan “manipulator”.

Berita palsu atau ‘hoax’ dengan sangat cepat diklarifikasi di Twitter. Bahkan kebohongan seorang pemimpin politik tidak akan mudah dilupakan karena jutaan orang mengingat dan saling mengingatkan itu di media sosial. Klaim atas satu kebenaran sudah tidak mungkin lagi, karena jutaan referensi bisa hadir bahkan tanpa diminta. Politik yang manipulatif dengan memanfaatkan sentimen ras, atau perbedaan derajat atau kepercayaan, tidak bisa berkembang karena selalu ada pemberi alternatif pandangan yang lebih rasional dan mengkoreksi kesalahan.

Demokrasi nyata di Twitter. Para filsuf dulu membayangkan demokrasi di masyarakat yang sangat besar seperti sekarang ini sepenuhnya ilusi. Tapi sekarang ini dengan adanya teknologi media sosial yang mampu menerjemahkan prinsip-prinsip demokrasi, itu bukan angan-angan lagi. Demokrasi tidak utopis di dunia maya, setiap orang berhak mengatakan argumentasinya, sejauh dia rasional dan didukung data ilmu pengetahuan argumentasinya akan kukuh. Bagi yang malas atau kukuh pada doktrin ideologisnya akan melihat Twitter sebagai kesia-siaan belaka, seperti menggarami lautan.

Hanya saja demokrasi di Twitter sesungguhnya adalah demokrasi yang elitis. Walaupun pengguna piranti genggam sudah masuk hingga pelosok, model kemampuan argumentatif dalam demokrasi ala Twitter mensyaratkan hal-hal yang hanya dipunyai oleh kelas menengah. Syarat-syarat itu adalah tingkat pendidikan yang tinggi, sedikit uang lebih untuk membeli perangkat berteknologi, dan yang paling mewah adalah waktu luang. Secara sosiologis Twitter adalah anak sah kelas menengah atau boleh dibilang borjuasi yang ada di muka bumi ini. Twitter adalah kelas menengah yang secara sadar atau tidak sadar bekerja sama satu sama lain, gotong-royong untuk menegakkan demokrasi. Kalau kelompok diskusi 80-an berdebat soal batasan kelas menengah sebagai faktor demokratisasi, diskusi abad 21 di sosial media via Twitter mampu meletakkan kelas menengah ke dalam komunitas besar jejaring maya dengan demokrasi yang berkedip-kedip di layar piranti genggam. (Y-1)