Nama kecilnya Raden Mas Mustahar. Nama yang cukup asing di telinga orang Jawa kebanyakan. Saat remaja hingga dewasa dia dipanggil Pangeran Ontowiryo. Sampai di sini, orang mungkin tidak lagi berkerut kening. Nama itu tidak asing. Apalagi kalau nama Diponegoro. Mayoritas orang Indonesia kenal namanya.
Orang zaman sekarang mungkin mengira Mustahar itu bukan orang Jawa. Bisa orang Sumatra atau Melayu. Setidak-tidaknya Makassar. Atau orang Pakistan. Bisa jadi Iran atau Persia. Mesin pencari di internet banyak menemukan nama Mustahar di dua negara yang disebut belakangan.
Kedekatan Persia dengan Kraton Mataram bukan hal yang aneh. Khususnya di mata sejarawan Indonesianis. Peter Carey, adalah peneliti berkebangsaan Inggris asal Skotlandia. Dia menghabiskan 40 tahun hidupnya untuk sebuah obsesi. Mengupas sosok pangeran Jawa yang berturban. Seorang Jawa dalam busana Turki-Persia. Pemimpin perang besar yang membangkrutkan Belanda.
Buku Kuasa Ramalan, karya Peter Carey, bercerita banyak tentang Mustahar. Seorang anak selir yang tinggal dengan nenek buyutnya. Perempuan luar biasa dengan karakter dan inteligensia. Permaisuri pendiri dinasti. Pemimpin pasukan wanita lingkar pertama. Pengawal paling pribadi Raja Jawa.
Mustahar sejak belia hingga dewasa berada di bawah asuhannya. Di pinggir barat Jogjakarta. Di antara pekarangan dan sawah yang mengitarinya. Tegalrejo adalah rumah, sanggar, dan juga sekolah. Sesekali, sang buyut mendatangkan orang berilmu. Kyai, tentara, atau ulama.
Penghulu istana, Kyai Muhammad Bahwi alias Muhammad Ngusman Ali Basah, adalah salah satu di antaranya. Lalu ada komandan pasukan Suronatan, penjaga masjid pribadi sultan, Haji Badarudin. Penghulu istana berikutnya, Kyai Rahmanudin bahkan sempat tinggal satu tahun bersama.
Tidak hanya dari istana, Ratu Ageng, sang buyut mendatangkan juga dari luar. Dia adalah sosok misterius bernama Kyai Taptajani. Seorang kyai sepuh yang mengasuh pesantren di salah satu dari empat masjid penjaga kerajaan Yogyakarta. Sebutannya, Pathok Negoro.
Kyai Taptajani bertempat di Pathok Negoro sebelah Barat-Utara. Tepatnya di Desa Mlangi, Sleman. Dia guru Ratu Ageng. Sosoknya yang tua dan berkharisma memang bukan sembarangan. Asalnya dari Sumatra. Namanya dikenal hingga Kartasura. Konon saat Diponegoro membangun aliansi dengan Kyai Maja, dia yang mempertemukannya. Kyai Maja adalah penerus wilayah Pajang, kerajaan sebelum Mataram yang didirikan Sultan Hadiwijaya.
Taptajani atau Taptonjani adalah pelafalan orang Jawa atas Taftazani. Hingga saat ini garis keturunan dengan nama Taftazani cukup dikenal. Salah satunya adalah pengusaha perjalanan haji yang terkemuka di Jakarta. Belakangan, pengusaha itu menjadi besan seorang ulama sepuh di Rembang, Jawa Tengah.
Penerjemah Naskah Islam yang Sulit
Kyai Taptajani dikenal juga sebagai Bagus Taptajani. Di Kartasura dia dikenal dengan nama itu. Darah keturunan bangsa Persia masih kental dalam dirinya. Tak heran dia adalah pengajar sekaligus penerjemah naskah-naskah Islam koleksi istana yang sulit. Seminar Naskah Keraton Yogyakarta baru-baru ini mengungkapkan sebagian manuskrip-manuskrip yang sulit itu.
Sebelum meletusnya pemberontakan, Mustahar alias Pangeran Ontowiryo menyaksikan sendiri penyerbuan tentara Inggris Raya ke dalam keraton di tahun 1812. Tidak hanya merusak, mereka merampok dan menjarah apa yang berkilau dan berharga. Mahkota, perhiasan, hingga kancing baju. Dari lukisan, dekorasi, hingga naskah-naskah pusaka. Raffles mengincar yang paling mahal. Sisanya dia serahkan pada Crawfurd dan Mackenzie.
Annabel Gallup, kurator Museum Britania, yang menjadi pembicara dalam seminar Naskah Yogyakarta bercerita tentang ini. Raffles, dalam kepalanya hanya ingin menjadi kaya. Maka, dia singkirkan naskah-naskah pusaka yang berat itu kepada bawahannya. Dia hanya mengambil beberapa.
Merle Calvin Ricklefs, Indonesianis asal Leiden Belanda, adalah salah seorang yang membuat annotasi manuskrip-manuskrip Keraton Yogyakarta yang berada di Museum Britania. Dialah yang berkolaborasi dengan Peter Carey meneliti naskah-naskah yang dibawa pergi.
Dalam "An Inventory of The Javanese Manuscript Collection in the British Museum" setidak-tidaknya ada 10 naskah yang menggunakan tulisan Arab-Pegon, yang berada di sana. Sembilan di antaranya berasal dari koleksi Crawford.
Koleksi Crawfurd meliputi Serat Nawawi, terjemahan Jawa dari Bustanus Salatin karya Ar-Raniri. Kemudian adaptasi dari AlTuhfah Al Mursalah Ila Ruh Al Nabi karya Burhanpuri. Selanjutnya adalah naskah Carita Dadine Bumi Salangit, Serat Menak, Kitab Pekih, dan beberapa naskah ajaran mistik yang tidak teridentifikasi. Termasuk di dalamnya naskah berbahasa Arab yang didapat dari pelaut bernama Charles Thomas yang mendapatkannya dari Borneo bertahun 1853.
Sisanya adalah naskah berbahasa Arab dengan baris-baris gantung terjemahan Jawa-Pegon, yang bukan koleksi Crawfurd. Voorhoove, peneliti sebelum Ricklefs mencatat judul naskah itu sebagai Mukhtasar Ba Fadl atau Muqaddimat Al Hadramiyah yang bertanggal penulisan 1545 H atau 1623 Masehi. Naskah ini menurut Azyumardi Azhra adalah naskah ortodoksi Islam bermadzhab Syafii, dalam bahasa Jawa-Pegon yang tertua di dunia. (Y-1)