Indonesia.go.id - Diaspora Persia-Gujarat di Nusantara

Diaspora Persia-Gujarat di Nusantara

  • Administrator
  • Selasa, 26 Maret 2019 | 08:53 WIB
NASKAH PUSAKA
  Lukisan Istana Mughal Gaya Turko-Persia; Alexander bertemu Plato. Sumber: Wikimedia

Pemikiran Taftazani mendapat simpati dari pemeluk Islam yang berkembang di wilayah Persia Timur. Pemikirannya berkembang hingga kemunculan Dinasti Mughal yang berpusat di Gujarat.

Nyai Ratu Ageng, dua penghulu kraton, dan seorang haji komandan pasukan Suronatan, hingga Kyai Taptajani adalah lingkaran-lingkaran yang mendidik Mustahar. Di luar itu, Peter Carey mencatat adanya dukungan dari seorang Syarif asal Jeddah. Di Jawa, Syarif dikenal sebagai Habib. Namanya Habib Ahmad Al-Ansari. Pendatang berdarah Hadramaut yang berdagang dari Semarang hingga Jogjakarta.

Lingkaran-lingkaran ortodoksi ini di sekitar anak tertua dari Hemengkubuwono III, terasa begitu kental. Apa sebenarnya yang terjadi. Lingkungan apa yang bisa membuat Mustahar kecil bisa menjadi Pangeran Ontowiryo yang kemudian menjadi Diponegoro.

Sosoknya mirip legenda. Dia adalah seorang ningrat, spiritualis, pemimpin yang dekat dengan rakyat, pemimpin perang, pecatur yang unggul, peminat sastra, dan penulis biografi yang tangguh. Walaupun tidak seindah tulisan juru tulis atau carik istana, Diponegoro mahir dengan tulisan Pegon. Surat-surat Diponegoro yang didokumentasi dengan baik oleh Peter Carey, memperlihatkan kemahirannya.

Ontowiryo dalam umur belum tiga puluh tahun memang sudah terpandang. Hal itu dikonfirmasi Babat Panular. Catatan harian Aryo Panular, anak Hamengkubuwono I dari selir asal Blambangan. Catatan itu mewakili pandangan “orang dalam” yang langka sebagai sumber historis.

Di antara putra-putra Sultan, Ontowiryo adalah salah satu yang paling terkemuka, tulis Panular. Ia cerdas, murah hati, dan bersemangat. Fasih berbicara, lembut penuh keakraban. Dia ikut merasakan penderitaan semua orang. Lebih penting lagi dia mendapat kepercayaan dari ayahnya.

Aryo Panular, yang lebih pas disebut sebagai kakek Mustahar, mencatat bahwa Ontowiryo adalah putra tertua sultan yang naik tahta kemudian. Dalam umur yang sangat muda dia bahkan sudah menjadi penasihat kakeknya, Hamengkubuwono II yang masih berkuasa sebelum penyerbuan Inggris.

Naskah-naskah Renaisans Sastra

Theodore Pigeud adalah salah seorang sarjana Belanda yang sangat menghargai koleksi manuskrip yang dirampok Inggris. Dia menyebutnya sebagai manuskrip-manuskrip yang mewakili masa renaisans atau pencerahan Sastra Jawa. Merebaknya penulisan naskah sejak awal abad 18 adalah periode yang membukakan mata dunia tentang luas dan kosmopolitnya kesusastraan Jawa.

Diponegoro adalah contoh pemimpin bermutu tinggi yang lahir dari masa pencerahan itu. Beberapa temuan Peter Carey tentang materi-materi yang dipelajari Diponegoro, terlihat mengesankan.

Salah satu favoritnya adalah Kitab Martabat Tujuh. Kitab tasawuf yang mengajarkan pentingnya “Manunggaling Kawula lan Gusti”. Kitab yang mengangkat pemikiran-pemikiran Ibnu Arabi gubahan Burhanpuri.

Kitab Usulbih yang ditulis di masa Pakubuwono I juga masuk dalam pelajarannya. Demikian pula dengan tembang-tembang Suluk yang ditengarai berasal dari wilayah-wilayah pesisir tempat ajaran para wali, tokoh-tokoh separuh mistis yang dipercaya sebagai perintis penyebaran islam di Pulau Jawa.

Sejarah para nabi, tafsir Quran, hingga pandangan-pandangan politik dan filosofi Islam juga menjadi bacaan Diponegoro. Kitab-kitab acuan para raja seperti Siratus Salatin, atau Hikayat Raja-raja Melayu dan Tajus Salatin, atau Mahkota Para Raja dia selesaikan selama di keraton.

Diponegoro bahkan memiliki koleksi hukum-hukum yurisprudensi Islam atau fiqih dalam konteks Jawa. Tak kurang kitab seperti Taqrib, Lubab Al Fiqh, Muharrar, dan Taqarrub masuk perbendaharaan Diponegoro saat pustaka pribadinya dibongkar Belanda.

Naskah-naskah Arab dan Persia bacaan para raja juga dia selesaikan. Kitab seperti Fatah Al Muluk, Hakik Al Modin, dan Nasihat Al Muluk adalah beberapa di antaranya. Khazanah lokal klasik seperti Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjuna Wijaya, dan Arjuna Wiwaha juga melengkapi.

Bagi pendidikan anak-anaknya, Diponegoro sudah tahu yang dia butuhkan. Salah satu yang dia titipkan kepada petugas Belanda saat berada di pengasingan di Makassar adalah salinan Serat Menak Amir Ambyah dan Asmara Supi. Kemudian Serat Manikmaya, Serat Gandakusuma, dan Serat Angreni. Jika dua sebelumnya adalah adaptasi dari pujangga Persia, tiga naksah yang terakhir adalah karya-karya empu Jawa sejak zaman Kediri.

Penasihat dari Persia

Salah satu kunci yang menunjukkan darimana khazanah pustaka itu berasal adalah Kyai Taptajani. Nama Taptajani atau Taftazani pada saat ini mungkin hanya nama populer yang berbau Persia. Tetapi sebagai nama ahli bahasa dan pengajar di lingkaran ningrat Yogyakarta jelas menunjukkan garis leluhurnya.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau Hamka adalah salah seorang yang pernah menulis tentang kitab-kitab tata bahasa Arab yang diajarkan di pesantren-pesantren di Sumatra. Salah satunya karangan Taftazani.

Kitab Taftazani ternyata adalah sumber pelajaran tata bahasa Arab yang umum diajarkan di pesantren dan Madrasah Aliyah hingga saat ini. Buku populer Ilmu Sharaf karangan Mohammad Anwar, misalnya. Kitab ini disebut juga Matan Kailani yang berasal dari komentar terhadap Tashrif al Izzi. Penulisnya adalah Sa’aduddin At Taftazani.

Sa’aduddin At Taftazani adalah intelektual Islam yang besar pada akhir abad 14. Pada umur 16 tahun, dia menulis komentar terhadap kaidah gramatika bahasa Arab yang ditulis Al Izzi. Kitab itulah yang dikenal sebagai Tashrif Al Izzi atau Sharaf Al Zinjani.

Taftazani terkenal saat berdebat dengan kompetitornya Al Jurjani. Timur Lenk, penguasa kesultanan Asia Tengah yang terkenal menampilkan debat dua intelektual besar itu ke publik. Dia juga menghadirkan seorang juri. Riwayat mengatakan, yang menjadi juri adalah Nu’man Al Khawarizmi. Alexander Knysh, dari Universitas Michigan yang meneliti tanggapan terhadap pemikiran Ibn Arabi, mencatat sedikit riwayat Taftazani.

Setelah melalui perdebatan yang sengit dan seimbang, dengan pertimbangan yang lama dari seorang juri yang agung, Al Khawarizmi memutuskan pemenangnya adalah Al Jurjani.

Taftazani begitu terpukul dengan kekalahan itu. Hingga ketika dia kembali ke kampungnya di Sarakh, hanya beberapa minggu kemudian dia meninggal.

Perdebatan itu kemudian memunculkan simpatisan dari kedua pihak yang berseteru. Satu pihak memilih pemikiran Taftazani, yang lain memilih Jurjani. Konon pemikiran Taftazani mendapat simpati dari pemeluk Islam yang berkembang di wilayah Persia Timur. Pemikirannya berkembang hingga kemunculan Dinasti Mughal yang berpusat di Gujarat.

Sejarah Nusantara mencatat dengan baik hubungan kepulauan Nusantara dengan Persia-Gujarat. Bukti sejarah berupa makam Fatimah binti Maimun di Leram, Gresik, Jawa Timur, yang bertarikh abad 11 jelas-jelas menuliskan huruf Arab-Persia sebagai keterangannya.

Tom Pires, apoteker Portugis dari abad 16 menulis tentang pemukiman-pemukiman kaum pedagang yang banyak berada di pantai utara Pulau Jawa. Dia menilai pedagang-pedagang dari Persia adalah salah satu yang berpenampilan paling baik.

Sejarawan Malaysia, Sayid Qudratullah Fatimi, atau SQ Fatimi memperkirakan bahwa ada migrasi dalam jumlah besar dari beberapa keluarga Persia yang bermigrasi ke Nusantara pada sekitar abad 10 M.

Agus Sunyoto, peneliti sejarah dari Lesbumi, organisasi kebudayaan Nahdlatul Ulama, menggarisbawahi teori itu dengan merujuk pada tulisan Profesor Wan Hussein Azmi yang menulis tentang sejarah masuknya Islam di Aceh.

Setidak-tidaknya ada empat keluarga Persia yang bermigrasi ke nusantara. Yang pertama adalah keluarga Lur yang diperkirakan menghuni pantai utara bagian timur Pulau Jawa. Yang kedua adalah keluarga Jawani yang merintis kesultanan Peureulak Aceh. Yang ketiga adalah keluarga Syiah yang masuk ke pedalaman Riau dan berkembang menjadi Kerajaan Siak. Yang keempat adalah keluarga Rumi atau Puak Sabangkara yang menetap di sekitar Sumatra Timur. Keempat-empatnya bermigrasi meninggalkan wilayah Persia setelah perang Syiraz yang terjadi pada tahun 823 M.

Jika para pendatang dari Persia telah ada setidak-tidaknya sejak abad ke 10 M, sejak kapan literatur Persia masuk dalam khazanah Islam di Nusantara? Abdul Latip Talib, penulis Malaysia mencatat terjadinya alih pengetahuan itu pada masa Kesultanan Malaka. Naskah itu dibawa para pendatang dari Gujarat pada awal abad ke-15 M. Juru tulis istana memerlukan waktu hingga 15 tahun untuk menerjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Lamanya waktu penerjemahan naskah-naskah itu disebabkan para ulama dari Gujarat belum mahir bahasa Melayu, demikian juga sebaliknya. 

Abdul Hadi WM dari Universitas Paramadina yang meneliti pengaruh ulama-ulama Persia-Gujarat di Nusantara memberikan nilai lebih pada naskah karya pujangga Aceh kelahiran Bukhara, Persia. Kitabnya bertajuk Tajus Salatin. Bukhari Al Jauhari yang hidup semasa Kesultanan Aceh di sekitar abad 16 dan 17 M, adalah penulis kitab kode etik bagi para raja. Kesultanan Aceh pula yang memberikan fasilitas pada pujangga yang bermigrasi dari Kesultanan Johor, Tun Sri Lanang. Dialah penulis Hikayat Raja-raja Melayu atau Sulalatus Salatin atau sering disebut dengan Siratus Salatin. (Y-1)