Indonesia.go.id - Kubur Batu Bagi Marapu

Kubur Batu Bagi Marapu

  • Administrator
  • Selasa, 16 Juli 2019 | 02:45 WIB
KEKAYAAN TRADISI
  Suasana masyarakat Sumba sedang menarik batu yang akan digunakan sebagai dolmen diatas liang kuburnya. Foto: Thespicerouteend

Tidak semua orang bisa menjadi Marapu setelah mati. Itu sangat bergantung pada apa yang telah dia lakukan selama hidupnya dan apa yang dilakukan oleh para keturunannya untuk membuatkan upacara penguburan yang megah.

Leluhur menempati kedudukan yang sangat penting dalam budaya masyarakat Sumba Barat. Kesaksian itu ditulis oleh Danielle C Geirnaert dalam artikelnya yang berjudul "Witnessing the Creation of Ancestors in Laboya (West Sumba, Eastern Indonesia)". Artikel itu merupakan bagian dari buku kumpulan tulisan yang dikumpulkan oleh Henri Chambert Loir. Buku itu berjudul The Potent Dead; Ancestors, Saints and Heroes in Contemporary Indonesia (2002).

Danielle telah meninggal pada 2006. Dia adalah antropolog Prancis yang sangat tertarik dengan tradisi tenun Sumba. Pada 1996 dia berkesempatan untuk ketiga kalinya mengunjungi Nusa Tenggara. Saat itu dia pergi ke Laboya, Sumba Barat. Pada kesempatan itulah Danielle menyaksikan prosesi penguburan orang Laboya yang sangat menarik perhatiannya.   

Upacara penguburan adalah hal yang paling penting dalam kehidupan masyarakat Sumba. Tradisi khas Nusantara bagian timur ini masih berjalan hingga hari ini seperti di Bali dan Tana Toraja.

Masyarakat Laboya, saat Danielle melakukan penelitian, jumlahnya kurang lebih 14.000 orang. Mereka tinggal di pantai selatan Pulau Sumba. Tradisi penguburan Laboya adalah kemampuan masyarakat Laboya untuk menyelenggarakan berbagai upacara besar yang melibatkan ribuan orang. Upacara-upacara itu adalah cara untuk menyempurnakan perjalanan orang-orang terhormat yang sudah mati menuju alam leluhur. Mereka harus "diberi makan" dengan teratur, biasanya dengan korban pemotongan hewan.

Sejak masih hidup, orang-orang Sumba yang biasanya memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat sudah menyiapkan bagaimana dia dikuburkan kelak. Persiapan itu membutuhkan biaya yang mahal. Sebuah kubur batu harus disiapkan. Kubur batu yang dibangun adalah kubur batu Dolmen. Batu-batu ukuran besar berbentuk kotak atau lonjong harus ditarik ribuan orang dari tempat-tempat pembuatannya menuju makam yang disiapkan.

Berumur Ribuan Tahun

Tradisi menarik batu raksasa adalah tradisi orang-orang Kepulauan Austronesia hingga Polinesia yang diperkirakan berumur ribuan tahun. Yang paling terkenal di dunia adalah patung-patung Moai yang ada di Pulau Paskah. Pulau yang saat ini merupakan bagian dari Negara Chile, adalah pulau yang berada di tengah-tengah samudera pasifik selatan. Saking jauhnya, daratan yang paling dekat adalah wilayah Chile bagian tengah sejauh 3.512 kilometer.  

Tradisi mengerahkan ribuan orang untuk menarik batu-batu raksasa dan mendirikan monumen-monumen pemujaan terhadap leluhur adalah tradisi kuno manusia yang masih banyak berselubung misteri. Budaya membangun monumen yang dibuat dalam ukuran yang sangat besar bisa ditemukan dalam peradaban manusia di mana saja di muka bumi ini. Pembangunan piramida di Mesir kerja-kerja dasarnya adalah menarik ribuan batu-batu raksasa dan membentuknya menjadi monumen. Demikian juga halnya dengan pendirian Borobudur, Angkor Watt, Menara Babel, Stone Henge, hingga Teotihuacan semuanya dilandasi oleh kerja-kerja menarik batu-batu raksasa.

Tradisi menarik batu raksasa yang masih hidup di Sumba, sedikit banyak membuka tabir mengapa masyarakat mau melakukan kerja-kerja yang sangat keras, tak kenal lelah, bahkan terasa konyol untuk ukuran zaman sekarang, semata-mata demi pemujaan leluhur. Apa yang terjadi di Sumba memperlihatkan bahwa kehormatan dan nama besar (bahasa Laboya-nya: ngara) adalah satu hal yang akan didapat jika mampu melakukan pekerjaan yang menunjukkan dua hal prinsip. Yang pertama adalah kekuasaan atau otoritas, dan yang kedua adalah kekayaan. Penguburan orang Laboya adalah bagian dari 'competitive feasting' dalam istilah Danielle. Persaingan untuk membuat upacara yang terbesar dan termegah yang akan membuat seseorang mendapat pengakuan sebagai Marapu atau nenek moyang yang paling dihormati. Leluhur atau pepunden dalam istilah Jawa.

Bagi orang Laboya seorang Marapu yang terbaik adalah seorang yang ketika mati dia telah lama dikenal sebagai seorang yang berkuasa atau kaya raya. Seorang Marapu adalah orang yang memiliki nama besar di masa hidupnya, entah itu melalui jalan satria, seperti jago perang, bertarung, berburu, atau jalan penguasa yang menunjukkan kebesaran kepemimpinannya. Selain itu Marapu bagi orang Laboya juga berarti seorang ibu yang mampu melahirkan anak-anak dalam jumlah yang banyak dan sehat.

Menjadi Marapu

Nenek moyang orang Laboya dalam pandangan mereka semuanya adalah Marapu. Tetapi tidak semua orang bisa menjadi Marapu setelah mati. Untuk mendapat pengakuan sebagai Marapu sangat bergantung pada apa yang telah dia lakukan selama hidupnya dan apa yang dilakukan oleh para keturunannya untuk membuatkan upacaya penguburan yang megah.

Kemampuan mengerahkan ribuan orang, memberi mereka makan, dan mengorganisasikan mereka dalam kegiatan-kegiatan massal adalah satu hal yang menunjukkan kebesaran seorang Marapu. Hewan persembahan yang dipotong dalam jumlah yang cukup bagi ribuan orang dan ribuan warga memberikan kehormatan yang pantas bagi Marapu. Jika semua itu telah dilakukan, tanda-tanda seseorang telah menjadi Marapu akan terlihat dari keberkahan yang muncul setelahnya.

Hujan yang turun akan menumbuhkan panen-panen melimpah. Matahari yang bersinar akan menjadi 'dingin' dan menguatkan. Air yang diminum akan memberikan kebahagiaan, kesehatan, dan ketahanan dari penyakit.  Jika seseorang yang berkehendak ternyata dalam prosesinya tidak layak menjadi Marapu, maka kebalikan dari kondisi itu yang akan terjadi. Hubungan yang erat antara yang hidup dengan yang mati sangat penting bagi masyarakat Laboya. Danielle menyimpulkan, keberlangsungan hidup yang baik sangat tergantung dalam hubungan ini. (Y-1)

Berita Populer