Indonesia.go.id - Memukul Beduk Sudah ada Sejak Abad ke-16

Memukul Beduk Sudah ada Sejak Abad ke-16

  • Administrator
  • Jumat, 28 Juni 2019 | 18:17 WIB
KEKAYAAN TRADISI
  Tradisi memukul beduk. Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki

Tradisi menabuh drugdag sudah digelar sejak zaman Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Hingga saat ini tradisi tabuh drugdag masih terus dilestarikan Keraton Kasepuhan untuk meramaikan bulan suci Ramadhan.

Tradisi ini merupakan tradisi yang dilakukan dengan membunyikan bedug dengan irama yang ditentukan. Bedug yang ditabuh berirama dari lambat ke cepat. Bunyi dari lambar ke cepat merupakan pemberitahuan kepada masyarakat akan datangnya bulan suci Ramadhan sekaligus mengakhiri bulan Sya’ban.

Tradisi ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu yang pada saat itu Sunan Gunung Jati menggunakan media bedug untuk menginformasikan kepada khalayak karena belum ada alat pengeras suara seperti sekarang ini. Sultan melanjutkan, memukul beduk dengan tidak asal mengeluarkan suara, tempo pukulan harus dari lambat ke cepat, lebih cepat dan lebih cepat lagi. Tempo ini juga mengartika sebagai perjalanan manusia dari lahir hingga akhir hayatnya.

Tradisi drugdag tidak hanya dilakukan pada saat menyambut bulan suci Ramadhan hingga mengakhiri bulan Sya’ban, tetapi juga dibunyikan setiap malam pada saat sahur, yaitu ketika masyarakat akan melaksanakan sahur untuk menjalankan ibadah puasa. Seperti yang dilakukan di lingkungan keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat melalui tradisi uniknya yaitu drugdag.

Drugdag sendiri merupakan peninggalan Wali Songo. Di Keraton sendiri, tradisi drugdag dilakukan dengan memukul bedug di dalam Masjid Keraton Kasepuhan  sehabis Sholat Ashar atau pada sore hari  menjelang malam sebagai tanda bahwa esok hari untuk umat muslim melakukan Shaum. Keunikannya adalah dalam hal menabuh.

Di dalam Keraton Kasepuhan ini, saat menabuh drugdag atau memukul beduk tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang dan yang harus melakukanya adalah orang keturunan dari Keraton Kasepuhan. Selain Sultan, kerabat Keraton dan abdi dalem juga terus menabuh bedug yang merupakan peninggalan Sunan Gunung Jati selama hampir satu jam. Untuk melestarikan budaya drugdag, Keraton Kasepuhan Cirebon menyiapkan berbagai agenda bernuansa reliji dan budaya dengan tujuan terus mengingatkan tradisi drugdag karena salah satu bagian dari agenda reliji tersebut adalah membunyikan drugdag.

Makna Menabuh Drugdag

Pada masa itu, Keraton Kasepuhan Cirebon menyambut bulan suci Ramadhan dengan  drugdag yakni pemukulan bedug secara bertalu – talu. Tradisi drugdag ini diawali dengan Shalat Ashar berjamaah di Langgar Agung yang diikuti Sultan Sepuh, abdi dalam, serta sejumlah warga sekitar. Sebagian dari mereka menggunakan pakaian khas dari Keraton yaitu baju berwarna putih, bersarung serta bertopi batik. Seusai melaksanakan Shalat Ashar berjamaah, Sultan dan abdi dalam bersama – sama menuju tempat bedug samogiri disisi Langgar Agung. Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan membuka dan langsung memimpin tradisi drugdag. Sultan sepuh memulai membunyikan  bedug secara bertalu – talu. Setelah sultan, para abdi dalam mulai bergantian melakukan pemukulan bedug menandakan pemberitahuan kegiatan yang akan dilakukan.

Menabuh bedug sebenarnya dilakukan karena memiliki makna. Makna tersebut yang pertama adalah sebagai ungkapan suka cita telah datangnya bulan suci Ramadhan, bulan yang dinanti – nanti oleh umat muslim, sebagaimana sesuai dengan ajaran islam. Makna tradisi menabuh drugdag yang kedua adalah sebagai symbol silaturahim antara raja dengan para abdi dalam dan warga sekitar. Makna terakhir menabuh drugdag yaitu mendapatkan hikmah. Hikmah yang bisa dipetik dari melaksanakan tradisi menabuh drugdag adalah bisa bersilaturahim bersama abdi dalam dan masyarakat.

Tradisi ini merupakan tradisi turun temurun  sejak abad ke-16 silam (1678 M). Menurut Mustaqim Asteja pemerhati sejarah dan budaya Cirebon, mengingatkan kepada masyarakat agar mempersiapkan diri secara lahir dan bathin. Dalam catatan sejarah setempat, Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, tradisi drugdag yang ada saat ini  dimulai pada tahun 1677 M, meskipun sebelumnya ditempat ini juga ada Keraton Pangkuwati  yang dibangun pada tahun 1529 M.

Sedangkan bangunan awal dalem Agung Pangkuwati dibangun oleh pangeran Cakrabuana sekitar tahun 1452. Konon menurut sumber yang layak dipercaya, hingga saat ini belum ada sejarah yang jelas tentang tradisi ini. Namun semenjak Agama Islam berkembang dan masuk ke Indonesia khususnya Cirebon, Jawa Barat, menabuh bedug dikalangan masyarakat Islam merupakan media atau alat music yang digunakan sebagai tanda masuk waktu Shalat.

Sebenarnya, alat bedug sudah ada jauh sebelum Islam masuk di Indonesia. Para Wali Songo yang di Pulau Jawa mengakomodasi semua seni, budaya, adat, tradisi yang ada saat itu. Kemudian mereka memanfaatkan bedug sebagai prasarana dalam kegiatan Agama Islam. (K-AD)