Saat tiba menulis tentang hal-hal yang menarik dari kepulauan Maluku ada satu nama yang menarik perhatian. Nama itu adalah M Adnan Amal. Dia adalah penulis buku yang berjudul Sejarah Kepulauan Rempah-rempah (2006). Nama ini serasa tidak asing. Sebagai mahasiswa yang banyak membaca berbagai literatur ilmiah populer dan studi keislaman di tahun 90-an nama ini mengingatkan pada seseorang bernama Taufik Adnan Amal.
Selidik punya selidik ternyata nama Taufik Adnan Amal muncul di halaman judul buku sejarah itu. Dia adalah penyuntingnya. Penulis buku adalah Mohammad Adnan Amal, ayahnya.
Sontak muncul satu pertanyaan dalam benak. Mengapa nama M Adnan Amal tidak pernah terdengar sebelumnya? Padahal nama sang anak sudah lebih dahulu dikenal karena cukup produktif menulis di zaman Jurnal Ulumul Qur'an.
Penelusuran berlanjut, dan akhirnya ketemu jawabnya. Penjelasan itu ada di bagian belakang buku tulisan M Adnan Amal yang berjudul Tahun-tahun yang Menentukan (2010). Satu hal yang membuat dia tidak sepopuler anak sulungnya pada masa itu adalah profesinya.
Borero, Lagu Kenang-kenangan
Seorang penulis bernama Sulasmi Kisman membagi sebuah tulisan tentang penulis sejarah Maluku ini. Dalam situs jurnalisme warga, Kompasiana, Sulasmi mengunggah foto buku terakhir yang ditulis almarhum M Adnan Amal. Sepertinya almarhum memang berkenan agar nama depannya cukup ditulis dengan satu huruf. Buku itu berjudul Borero, Tulisan-tulisan yang Tercecer.
Borero adalah lagu daerah Maluku Utara yang telah dikenalkan sejak bangku Sekolah Dasar. Lagu itu diciptakan oleh Abdul Karim Syafar. Dia biasa disebut Engku Doel. Riwayat itu dituturkan Taufik Adnan Amal dalam sebuah acara mengenang almarhum M Adnan Amal.
Dari pilihan judul lagu, sekilas pikiran langsung tebersit satu kata ‘bolero’. Ya, sejarah panjang Kepulauan Maluku adalah sejarah bertemunya pelaut-pelaut dari belahan barat dunia bertemu di silang timur kepulauan Nusantara. Bolero asalnya adalah musik pengiring dansa Andalusia. Sedangkan Borero ada penyerapan istilah musik pengiring tari bagi orang-orang, anak-anak kepulauan rempah-rempah yang kosmpolitan sedari mula.
Lewat buku Borero, almarhum Adnan Amal seperti ingin berpesan bergembiralah seperti kanak-kanak dalam menyikapi hidup. Sebagai seorang hakim karir yang lulus di tahun 1963, Adnan harus bersabar meniti karir. Dia memulainya dari Pengadilan Negeri Ternate, yang dekat dengan tanah kelahirannya di Galela, Halmahera Utara. Tekun menjalani karir dia kemudian menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Ambon. Baru pada 1980 dia menjabat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Manado. Tahun 1984 dia dipindahkan ke Pengadilan Tinggi Bandung. Tahun 1989 dia pindah ke Palu sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi sampai tahun 1992, dia lalu dipindahkan ke Makassar dalam jabatan yang sama. Hingga tahun 1994 dia menyelasikan karirnya sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Maluku di Ambon dengan hak pensiun.
Lebih dari tiga puluh tahun umurnya dia habiskan menjalani karir yang dalam kacamata karir birokrasi termasuk perjalanan yang sangat biasa. Bagi orang seangkatannya paling tidak posisi Hakim Agung bisa dalam genggamannya. Tetapi sepertinya itu sangat jauh di luar keinginannya. Mungkin karena dia adalah sosok hakim yang tidak macam-macam. Minatnya pada pendidikan, sejarah, dan kemanusiaan mengalahkan keinginan yang tak seberapa dari gemerlap karir birokrasi.
Mekar di Usia Tua
Usai karir sebagai hakim, Adnan Amal mencurahkan minatnya ke dunia pendidikan. Dia adalah dosen luar biasa Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata pada Universitas Khairun Ternate. Satu pengabdian lagi yang dia jalani hingga tahun 2007. Pengabdian pada satu lembaga pendidikan yang turut dia dirikan bersama mendiang Baharuddin Lopa.
Di sela-sela mendidik anak-anak Maluku dengan kisah-kisah sejarah yang selalu menjadi minatnya, Adnan Amal menyempatkan untuk menulis sejarah tentang tanah kelahirannya. Tanah kelahirannya yang sudah menjadi incaran para pencari emas, rempah dan keberuntungan. Tanah yang menumbuhkan tanaman-tanaman pilihan dewa. Tanah yang membuat ribuan orang mengarungi ribuan mil samudera dalam kurun seribu tahun. Tanah pusaka tempat bersilang keyakinan atas nama tuhan, dewa, dan leluhur.
Percaya tidak percaya, Adnan Amal melakukan riset bagi bukunya saat dia berumur di atas 60 tahun. Itu termasuk menelusuri naskah-naskah tua, dokumen-dokumen VOC yang ada di pusat arsip Jakarta selama dua tahun di awal 2000-an.
Maka sangat tepat apa yang dikatakan oleh almarhum Adri Bernard Lapian atau biasa disebut AB Lapian pada pengantar yang dia tulis di buku Adnan Amal. AB Lapian adalah sejarawan senior yang dikenal karena keunggulannya di bidang sejarah kelautan nusantara.
Sebagai sarjana hukum, penulis yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Maluku di Ambon dan aktif mengajar pada Uiversitas Khairun Ternate ini perhatiannya pada ilmu sejarah tidak pernah berkurang. Minat yang tinggi sejak duduk di sekolah menengah tidak pernah pupus. Sehingga justru di masa pensiunnya dia giat mencari data di Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI, dan Arsip Nasional. Malahan sekarang beliau mulai berpikir "masuk Fakultas Hukum berkarir sebagai hakim, mungkin suatu kekeliruan!".
Tetapi AB Lapian berpendapat justru karir sebagai hakim adalah dasar yang baik untuk mengadakan penelitian sejarah. Seorang hakim sebagaimana seorang sejarawan harus bersikap kritis terhadap sumber informasi, menyimaknya, dan mempertimbangkan sumber-sumber mana yang dapat diandalkan dan mana tidak dapat diterima, untuk merekonstruksi sebuah peristiwa.
Adnan Amal, bapak dari Taufik Adnan Amal, Chairunnisa Amal, Anastasia Raihana Amal, Marjorie S Amal, Wardah Amelia Amal, Nukila Amal, dan Miagina Amal, meninggalkan kenang-kenangan indah yang tak ternilai harganya bagi nusantara pada 4 Oktober 2017 di Ternate dalam usia 87 tahun. (Y-1)