Tuan Hamzah dari Pancur, yang dikuburkan di tanah para bangsawan, tentu bukan orang sembarangan. Itulah yang dibaca oleh Claude Guillot, peneliti epigrafi dari Prancis pada 1999, setelah membaca tulisan yang ada di nisan yang disalin oleh El-Hawary dari Museum Kairo.
Nisan yang diteliti adalah nisan berukuran 24 x 36 cm, yang menandai seseorang bernama Syaikh Hamzah bin Abdullah al Fansuri. Nisan itu adalah salah satu nisan yang pernah didirikan di Pekuburan Ma'lah, Mekah. Seperti telah banyak diketahui sejak pertengahan 60-an pekuburan Ma'lah telah diratakan dengan tanah. Satu tragedi yang menyesakkan bagi dunia sebenarnya. Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, dengan dalih menjaga tanah suci dari praktek syirik, telah menghapuskan ribuan warisan sejarah tak ternilai harganya yang berada di sekitar dua tanah suci.
Berdasarkan dokumen-dokumen yang terselamatkan dalam koleksi Thesaurus d'Epigrafie Islamique, ada sepuluh baris bernomor yang dipahat di nisan yang terbuat dari batu basalt itu. Catatan itu ditulis dalam bentuk huruf Naskhi. Bunyinya jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:
- Dengan nama Tuhan yang Pemurah lagi Penyayang, dia adalah yang Maha Hidup.
- Ingatlah, sesungguhnya wali-wali itu tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, (Al-Qur'an 10:62).
- Ini kubur orang yang selalu memikirkan Allah yang Maha Tinggi, Sayyidina (Orang Mulia)
- Syaikhusaleh abdi Allah, orang zahid, syaikh yang berjuang di garis depan (dengan Allah)
- Hakikat Baja (Allah) Syaikh Hamzah bin Abdullah Al Fanshuri
- Semoga Allah menganugerahi kash sayang dan menerima dalam sorganya amin, dia dipulangkan
- Oleh kesetiaan kepada rahmat Allah ta'ala pada fajari hari suci Kamis tanggal 9 bulan Rajab yang suci pada tahun 933 hijrah Nabi kepada sahabatnya berkah yang terbaik dan selamat yang terluhur semoga hadir.
Kedudukan Tinggi
Claude Guillot menilai catatan tentang Tuan Hamzah dari Pancur ini menunjukkan seorang yang punya kedudukan tinggi. Pengandaiannya adalah, dia adalah orang luar Mekah, sangat dihormati, diakui keutamaannya, dan lebih penting lagi adalah orang yang mulia dalam arti cukup berada. Mampu membiayai pembuatan nisan dengan catatan dalam pahatan khusus yang tentu sangat mahal harganya.
Berdasarkan, studi tentang keberadaan orang-orang dalam berbagai tariqah sufi, sebutan Syaikhussaleh dan zahid adalah sifat-sifat khas seorang sufi. Di ayat kedua juga disebutkan dengan jelas kalau dia adalah salah seorang yang termasuk di dalam golongan Aulia atau Wali.
Pada ayat kelima, Claude Guillot menerjemahkan sebagai "tambang hakekat Ilahi", sementara penulis menilai terjemahan yang lebih cocok adalah Metal Truth atau keyakinan membaja pada Allah.
Guillot mencatat nama ayah Hamzah yakni Abdullah sebagai salah satu petunjuk penting. Nama ini adalah nama yang pada konteks zaman itu umumnya ditujukan pada orang yang baru memeluk agama Islam. Biasanya yang mempunyai nama ini ayahnya bukan pemeluk Islam.
Ayat Al-Qur'an yang ditulis dalam baris kedua ternyata sangat langka padanannya dalam keseluruhan koleksi basis data epigrafi yang adai di Paris. Dari sekitar 18.000 inskripsi yang berhasil direkam hanya terdapat 20 inskripsi yang memuat ayat itu. Hampir semuanya berujud epitaf atau nisan kubur. Hanya satu yang bukan nisan tetapi masih menunjukkan tentang keberadaan seorang sufi. Semua petunjuk menunjukkan pada keberadaan tokoh sufi yang dikuburkan di dalam satu tempat bersama kerabat sufi lainnya.
Pentingnya Nisan Hamzah bagi Sejarah
Jika nisan Hamzah Al Fansuri di Ma'lah bisa lebih dikuatkan kembali data-data pendukung kesejarahannya maka salinan nisan ini akan membawa berbagai perubahan penting dalam sejarah. Lebih khusus lagi penting untuk membaca sejarah tentang Kota Barus dan sejarah Nusantara di masa pramodern.
Sebenarnya tidak cukup penting untuk memastikan siapa sebenarnya yang dikuburkan di Ma'lah. Kesimpulan yang lebih penting adalah pada awal abad 16, ada seorang yang berasal dari Pancur pernah bermukim di Kota Mekah dalam waktu lama dan dimakamkan di tempat kehormatan.
Temuan ini memperkuat kesimpulan bahwa hubungan dagang yang terjalin sekurang-kurangnya sejak abad ke 9 Masehi ternyata masih sangat kuat di awal abad 16. Seorang Syaikh yang berasal dari daerah terjauh ternyata telah menjadi bagian komunitas keagamaan sufistik yang berkembang pada masa itu di dua tanah suci. Memang pertanyaan apakah Hamzah dari Pancur ini sama dengan yang penyair itu belum bisa dipastikan jawabannya hingga saat ini karena petunjuk sejarah yang lain berasal dari interpretasi terhadap karya sang penyair.
Ada satu hal yang membingungkan para peneliti sejarah perihal tidak tercatatnya nama Hamzah Fansuri dalam khazanah sastra yang berasal dari zaman kerajaan Aceh Darussalam. Penemuan tanggal meninggal Tuan Hamzah dari Pancur yang berada di Mekah sepertinya bisa menjadi penerang tentang hal itu.
Jika Hamzah tidak tercatat dalam khazanah Kerajaan Aceh tentu saja sangat mudah dimengerti karena semasa dia hidup Aceh belum berdiri. Yang ada dalam karya-karya Hamzah adalah sebutan tentang daerah Pasai yang pada waktu itu merupakan daerah yang terpenting. Kekuasaan Pasai bahkan meluas sampai ke Barus. Satu data yang mendukung adalah tentang muasal Syamsuddin As Sumatra-i yang ternyata juga berasal dari Pasai.
Kronologi sejarah ujung Sumatra jika berpatokan dari temuan makam Tuan Pancur di Mekah akan menjelaskan keberadaan polemik Syamsuddin dan Nuruddin Arraniri sebagai kejadian yang terjadi pada kurun yang berbeda dan berada pada konteks kekuasaan dan zaman kerajaan yang berbeda.
Sumatra, Bandar Kosmopolitan Lama
Penemuan makam Tuan Hamzah dari Pancur jika diperbandingkan dengan catatan penjelajah Ibnu Battuta akan memperkuat beberapa hal. Pertama, hubungan Sumatra dengan semenanjung Arabia ternyata sudah lama sudah terjalin. Hubungan itu sangat erat karena melibatkan jejaring alim ulama atau kaum terpelajar yang tukar-menukar khazanah melewati samudera. Keberadaan Kerajaan Pasai pada pertengahan abad 14 dalam catatan ibnu Battutah telah memperlihatkan bentuk masyarakat yang sangat maju. Soal-soal fikih yang diajukan oleh raja Pasai kepada Ibnu Battutah memperlihatkan kebutuhan masyarakat yang sudah sangat berkembang.
Ibnu Battutah juga menyaksikan bahwa Bandar Pasai adalah tempat persinggahan tokoh-tokoh terpelajar dari berbagai belahan dunia. Dia bertemu orang-orang yang berasal dari Tus, di sekitar Khurasan, Asia Tengah. Dia juga bertemu dengan orang dari Shiraz dan dari Isfahan yang merupakan ahli fikih yang berada di sana. (Y-1)