Pejabat pemerintahan, kepala daerah, dokter, tenaga medis, relawan, hingga ibu-ibu rumah tangga belakangan sering menyebutkan istilah-istilah khusus yang sebelumnya jarang terdengar. Mulai dari "lockdown", "mortality rate", "mass testing", "social distancing", “physical distancing”, sampai pada "flattening the curve". Istilah-istilah itu tiba-tiba saja menjadi pembicaraan masyarakat, berkelindan di media pers maupun media sosial.
Tidak semua memaknainya dengan cara yang sama. Kata lockdown, misalnya. Sebelum wabah virus corona merajalela, istilah ini sangat asing bagi orang Indonesia. Beberapa kalangan yang ingin cepat bereaksi malah kepleset menuliskannya "download", “lock dont”, “look down”, atau bahkan secara lebih ekstrem lagi keseleonya.
Pemahamannya pun berbeda-beda. Ada yang hanya memasang penghalang pada jalan-jalan utama di kota, melarang pekerja migran pulang ke rumah yang kebetulan melintas batas provinsi, dan ada pula yang serta memasang portal di mulut gang. Reaksi yang terdorong oleh kekhawatiran wabah akan menyebar. Urusan hukum, tanggung jawab pemerintah setempat, dan hak warga menjadi urusan nomor dua.
Di antara berbagai istilah itu ada yang paling mengusik empati, yakni "mortality rate". Terjemahan yang mungkin ialah "tingkat kematian" atau "derajat kematian". Semuanya memiliki konotasi yang berbeda-beda. Di Indonesia, ada istilah khas, orang dalam pemantauan (ODP) serta pasien dalam pengawasan (PDP). Lantas, memasuki bulan April ini ada kosa kata yang terasa baru lagi bagi awam. Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Virus SARS COV-2, penyebab wabah Covid-19, adalah biang keladinya. Tindakan ekstra diambil hampir semua negara di dunia. Pemeriksaan massal, misalnya. Apa yang dilakukan di Tiongkok berbeda dari Skandinavia. Kebijakan apa yang berjalan di Amerika Serikat berbeda dari yang ada di Korea Selatan. Tracing dan tracking ODP dan PDP di Indonesia berbeda dari Singapura. Pun jumlah pasien terinfeksi yang dipaparkan di Worldometer tak ada jaminan dihasilkan dengan diagnosis yang sama.
Kebingungan Global
Analis Richard Perez Pena dari New York Times menulis artikel di awal April 2020 yang berjudul Peaks, Testing, Lockdowns: How Coronavirus Vocabulary Causes Confusion. Dalam kerisauannya, ia mengutip pendapat Mark N Lurie, ahli Epidemiologi dari Brown University, yang mengatakan bahwa sumber-sumber yang memberi kabar tentang perkembangan kasus pandemi Covid-19 mempunyai banyak kekeliruan yang mendasar (deeply flawed). Salah satu alasannya adalah sumber data.
Data-data atau angka yang dilaporkan kepada publik atau Badan Kesehatan Dunia adalah data yang berasal dari negara-negara atau tempat yang berbeda. Metode maupun peruntukan pengumpulan data itu pasti berbeda. Bagaimana mungkin asal-usul yang berbeda itu kemudian dianggap sama di dalam situs-situs yang melaporkan perkembangan bencana.
Publik tentu ingin tahu, seburuk apa keadaan ini? Tentu, tidak perlu membesar-besarkan persoalan, tapi jangan menjadi tidak waspada. Sebagian warga masyarakat tak mau begitu saja menerima info tanpa mengecek lebih lanjut ke sumber lain yang lebih layak dipercaya. Namun, banyak cerita yang beredar menjadi keliru.
Richard Perez Pena menunjuk pada "Kasus Terkonfirmasi". Ia menyebutkan, ada perbedaan antara kasus Tiongkok dan Korea Selatan. Kedua negara berbeda dalam menyajikan keterbukaan sesuai tradisi politik masing-masing. Dengan cara pandang Baratnya, Pena mempertanyakan keabsahan statistik. Misalnya, angka kejangkitan (pasien terkonfirmasi) seyogyanya dihitung dengan pemeriksaan yang proporsional.
Richard Perez menulis bahwa Tiongkok tidak pernah memberitakan berapa banyak mereka melakukan pemeriksaan di seluruh Tiongkok. Sedangkan Korea Selatan, dalam laporan mereka, menyebutkan telah melakukan 800 tes per 100.000 populasi (0,8 persen). Italia 600 orang/100.000, Inggris 240 orang per 100.000 dan Amerika 200/100.000. Observasi dilakukan dengan rapid test kid dengan perkakas yang berbeda-beda pula tingkat ketelitiannya.
Sebagai negara pertama yang terserang corona, Tiongkok memang tidak sempat menyesuaikan kebijakan mediknya dengan negara lain. Pada awalnya, semua pasien diperiksa dengan piranti PCR yang canggih tapi makan waktu. Rapid test kit belum tersedia. Ketika antrean pasien bertumpuk di Wuhan, Otoritas Kesehatan Tiongkok mengizinkan dokter menyatakan pasien terkonfirmasi Covid-19 hanya dengan pemeriksaan klinis, foto scanning paru dan uji serologis darah.
Tentu, diagnosis itu bisa meleset. Namun, bagi dokter-dokter Tiongkok, itu lebih baik ketimbang pasien harus menunggu test PCR. Lagi pula, lebih baik memasukkan suspect (yang belum tentu positif) itu ke ruang rawat terisolasi ketimbang membiarkan pasien suspect membaur di tengah warga.
Insiden Statistik
Data-data termutakhir dari WHO maupun dari pelacak corona lain, seperti John Hopkins University atau Health Map, memang tampak mengesankan. Di sana bisa terlihat data yang real time layaknya perkembangan saham dunia, angka-angka wabah Covid-19 tersaji dalam berbagai pilahan, kalau perlu dengan grafis yang dramatis, dengan rincian per wilayah, mortalitas serta lonjakan penularan dan sebarannya.
Tetapi, tanpa menyepelekan upaya pengumpulan data yang telah dilakukan selama ini, yang tentu dilakukan dengan upaya yang tidak mudah dan biaya yang besar, Richard Perez Pena menyebut apa yang disajikan oleh situs-situs itu seperti insiden statistik.
Mengapa insiden? Kembali ke sumber data yang dikumpulkan. Pena mengamati pengumpulan data dilakukan dengan metode yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin angka-angka yang berbeda derajat keabsahannya bisa disebut sebagai statistik korban corona. Apa jaminannya jika ketidakakuratan tak muncul dari cara pengambilan spesimen cairan di rongga hidung, penyimpanannya, transportasinya, hingga pengolahannya di laboratorium. Tanpa jaminan akurasi data disodorkan, dan terbuka peluang orang tergelincir dalam memahami realitasnya.
Itu sebagian kecil dari pertanyaan akan pertunjukan angka-angka pandemik yang melahirkan depresi dan kecemasan yang mendunia. Negara-negara yang kini sedang bergulat melawan virus corona itu tak mengejar kaidah statistik. Mereka melakukan pengecekan pada orang-orang yang punya potensi tertular. Di samping itu memberikan pelayanan pada orang yang ingin mengecek secara suka rela. Tak ada pola statistik.
Atas nama pencegahan penularan itu banyak negara, seperti Singapura dan Israel, memeriksa gerak-gerik warganya. Dari fitur-fitur yang ada dalam smartphone, negara bisa melacak siapa berdekatan dengan siapa dan di mana. Satu terpapar virus corona, mereka yang pernah berdekatan di hari-hari terakhir akan diuber untuk diobservasi dan didiagnosis.
Yuval Noah Harari dalam beberapa tulisannya menyebut Covid-19 sebagai pembenaran bagi negara untuk menjadi lembaga super yang mempunyai hak untuk mengawasi semua warganya.
Heroisme-Populisme
Tidak hanya pertunjukan angka-angka yang sebenarnya rentan kekeliruan. Munculnya angka-angka penyebaran virus dan korban-korban yang berjatuhan di banyak negara telah memunculkan banyak pihak yang awalnya ingin berbuat kebaikan tetapi belakangan malah menjadi penyebar ketakutan yang paling keras suaranya. Mereka ingin memberi kabar, sebaik-baiknya tentang bahaya wabah yang sangat menular dan mengancam populasi umat manusia.
Mereka tidak peduli bahwa angka-angka korban berjatuhan, antara di Tiongkok, Amerika, Spanyol, Italia, Iran, termasuk Indonesia, masing-masing berbeda derajat keabsahannya. Banyak pihak yang seolah berlomba menyajikan angka-angka dramatis dan mendesakkan tindakan-tindakan dramatis oleh otoritas negara.
Pilihannya adalah segera lakukan apa saja yang telah dilakukan oleh negara-negara yang dianggap sukses telah berhasil mengurangi bahkan menghentikan penyebaran virus. Bisa model Tiongkok, Korea Selatan, atau negara-negara Skandinavia. Jangan tiru cara Spanyol atau Amerika Serikat yang belakangan terbukti menjadi negara dengan tingkat orang tertular paling tinggi jumlahnya di dunia.
Persoalannya, tetap saja yang mereka kabarkan baru sebagian saja dari fakta-fakta pandemi Covid-19 yang sangat kompleks. Banyak hal yang harus dikerjakan terlebih dahulu sebelum melakukan langkah-langkah drastis yang mempunyai konsekuensi korban manusia yang jauh lebih banyak akibat kemerosotan ekonomi dan kelaparan.
Apa yang terjadi di India beberapa waktu lalu bisa memberikan penggambaran bahwa mengambil langkah -langkah dramatis dengan tiba-tiba, memaksakan physical distancing dengan menghentikan semua urat nadi perekonomian, bisa menimbulkan reaksi balik yang memilukan. Dunia pun telanjur mengetahui bahwa penerapan 'jarak fisik itu dilakukan dengan kekerasan fisik terhadap rakyat.
Apa yang terjadi kemudian, kekacauan sosial yang melibatkan jutaan orang terjadi jauh lebih dramatis ketimbang kabar akan adanya kuburan massal bagi para korban Covid-19 di New York yang tak diurus keluarganya. Saat terjadi kekacauan sosial, tidak ada pencatat yang sempat menghitung korban. Mereka korban kebijakan heroisme-populisme para pemimpinnya. Nasib mereka tak sempat dipikirkan, karena para politisi ingin buru bisa teriak “lockdown”. Karantina total.
Sebagian masyarakat miskin di negara yang padat penduduk harus bekerja hari ini untuk hidup hari esoknya. Tak ada simpanan di bank, tak ada aset yang bisa dijual cepat. Mereka rela bekerja dalam kerumunan dengan risiko terpapar virus, karena merasa tak punya pilihan. Bila ekonomi berhenti dan tak ada yang membutuhkan tenaga mereka lagi, mereka akan terpapar kelaparan. Intervensi pemerintah dalam bentuk jaring pengaman sosial mutlak diperlukan.
Masyarakat Indonesia memasuki era Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keputusan PSBB diambil setelah sebagian warga berjalar norma work from home sebagai langkah konkret social distancing. Di Jabodetabek, norma PSBB diberlakukan secara lebih ketat. Ada ancaman pidananya bagi para pelanggar. Toh, pintu ekonomi tak digembok mati. Ada pula berbagai bantuan sosial dari pemerintah pusat, provinsi, atau kabupaten/kota. Pasti tidak sempurna, tapi setidaknya risiko buruk sudah dipertimbangkan.
Penulis : Yul Amrozi
Editor : Putut Trihusodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini