Indonesia.go.id - Sektor yang Masih Gemilang

Sektor yang Masih Gemilang

  • Administrator
  • Selasa, 23 Oktober 2018 | 03:44 WIB
INDUSTRI KOPI
  Produsen kopi Indonesia. Sumber foto: Pesona Indonesia

Membawa kopi ke tingkat dunia merupakan keinginan Presiden Jokowi. Peringkat Indonesia pun terus digenjot agar segera jadi produsen pertama kopi dunia. 

Presiden menginginkan perbaikan posisi Indonesia sebagai produsen kopi dunia. Indonesia kini di peringkat keempat negara penghasil kopi di dunia, setelah Kolombia, Vietnam dan Barsil pada posisi puncaknya. Presiden berharap posisi Indonesia dapat naik kelas ke posisi ketiga, kedua atau bahkan menjadi nomor satu.

Presiden Jokowi pernah menyatakan keinginannya untuk membawa kopi Indonesia ke tingkat dunia. Itulah sebabnya, dia berharap adanya perbaikan posisi Indonesia sebagai produsen kopi dunia.

Kini, Indonesia berada di peringkat keempat negara penghasil kopi di dunia, setelah Kolombia, Vietnam, dan Barsil pada posisi puncaknya. Presiden ingin, posisi Indonesia dapat naik kelas ke posisi ketiga, kedua atau bahkan menjadi nomor satu.

Optimisme ini sebenarnya tak berlebihan, mengingat Indonesia memiliki varietas kopi yang beragam dibandingkan negara lain. Juga sekiranya mengingat posisi Indonesia pernah menjadi negara eksportir ketiga terbesar di dunia.

Bicara areal lahan, saat ini Indonesia memiliki total luas lahan perkebunan berada pada kisaran maksimal 1,3 juta hektar. Merujuk BPS 2016, struktur kepemilikan lahan terbesar dimiliki Perkebunan Rakyat (PR). Luasnya mencapai 1,181 juta hektar. Luas lahan milik BUMN atau Perkebunan Besar Negara (PBN) mencapai 26,78 ribu hektar. Sedangkan luas areal milik swasta atau Perkebunan Besar Swasta (PBS) kisarannya ialah 18,90 ribu hektar.

Areal perkebunan kopi tersebar di banyak daerah. Terkonsentrasi di Pulau Sumatra. Pada 2015, kopi yang dihasilkan sebanyak 460.000 ton. Jumlah ini setara 69% dari total produksi kopi Indonesia. Provinsi penghasil kopi terbesar di pulau ini meliputi Sumatra Selatan (20% dari total produksi kopi di Indonesia), Lampung (16%), Sumatra Utara (9%), dan Bengkulu (8%). Daerah penghasil kopi penting lainnya ialah Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Kedua pulau ini menyumbangkan hampir seperempat dari total produksi.

Untuk jenis Robusta luas lahan mencapai 1 juta hektar. Produktivitasnya sebesar 601 ribu ton atau 80,4%. Sedangkan jenis Arabika mengambil areal 0,30 juta hektar dengan hasil 147 ribu ton atau 19,6%. Jumlah produksi paling kecil ialah varietas Liberika. Karena hanya sebesar 2%, secara statistik penghitungan jenis kopi ini sering disatukan dengan Robusta.

Produksi Robusta terutama berasal dari Lampung, Sumatra Selatan, dan Bengkulu. Setidaknya dari ketiga daerah ini menyumbang tiga perempat dari produksi Robusta. Arabika, di sisi lain, sebagian besar bersumber dari daerah yang lebih tinggi seperti Aceh dan Sumatra Utara. Kedua daerah ini menyumbang hampir tiga perlima dari produksi Arabika.

Adanya konsentrasi produksi Robusta ini sebenarnya mencerminkan kondisi lingkungan alam Indonesia. Suhu yang hangat, curah hujan yang tinggi, dan ketinggian daerah tanam yang secara mayoritas berada pada posisi lebih rendah. Semua faktor ini mendukung produksi Robusta ketimbang jenis Arabika. Nilai ekonomis Arabika di pasar internasional bernilai lebih dari dua kali harga Robusta.

Sedangkan bicara permintaan kopi di tingkat global ke depan trennya diperkirakan masih akan naik. Data ICO (International Coffe Organization) menunjukkan, konsumsi kopi dunia pada periode 2016 - 2017 tumbuh 1,9% menjadi 157,38 juta karung dari periode sebelumnya.

Per karung sendiri berisi 60 kg. Dari sumber yang sama, pada 2017 – 2018 diperkirakan naik lebih tinggi dari 5,7% menjadi 164,81 juta karung. Output produksi jenis Arabika meningkat 2,2% menjadi 101,82 karung, sedang Robusta tumbuh 11,7% menjadi 62,99 juta karung.

Merujuk artikel “Analisis Rantai Nilai Global untuk Ekspor Kopi Indonesia” yang disusun The Conference Board of Canada, jika menyangkut produksi kopi posisi Indonesia ialah pemain penting di pentas dunia. Pada 2016 Indonesia memproduksi 10 juta karung kopi ukuran 60 kg. Ini setara dengan sekitar 7% dari produksi global. Sebagai perbandingan, Brasil memproduksi 55 juta karung, Vietnam sebanyak 25,5 juta, dan Kolombia sebanyak 14,5 juta, serta di bawah Indonesia ialah Ethiopia sebagai penghasil kopi kelima di dunia memproduksi sebanyak 6,6 juta karung.

BPS sendiri mencatat bahwa, pada 2016 ekspor kopi ke Negeri Paman Sam adalah terbesar. Jumlah ekspor mencapai 67.324 ton atau 16,24%. Adapun nilainya mencapai US$269,94 juta atau sekitar Rp3,5 triliun. Peringkat kedua adalah Jerman. Jumlah ekspor sebesar 42,63 ribu ton atau 10,28% dengan nilai US$90,19 juta.

Peringkat ketiga ialah Malaysia. Jumlah ekspor sebesar 40,39 ribu ton atau 9,74% dengan nilai US$71,43 juta. Peringkat keempat ialah Italia. Jumlah ekspor 35,82 ribu ton atau sekitar 8,64% dengan nilai US$66,4 juta. Peringkat kelima adalah Japan. Jumlah ekspor 35,35 ribu ton atau 8,53% dengan nilai US$86,51 juta. Sedang sisanya yaitu sejumlah 46,58% di ekspor ke banyak negara lain.

Bicara total ekspor kopi secara keseluruhan mencapai 412 ribu ton dengan nilai US$ 1 miliar. Berkaitan dengan ragam komoditas agrikultur, kopi ialah penghasil devisa terbesar keempat setelah minyak sawit, karet dan kakao.

Sedang bicara konsumsi dalam negeri, data ICO mencatat konsumsi kopi sepanjang tahun 2000 – 2016 mengalami tren kenaikan. Pada 2000 konsumsi kopi baru mencapai 1,68 juta karung berisi 60 kg per karung. Meningkat tajam pada 2016, yakni mencapai 4,6 juta karung atau melonjak lebih dari 174%.

Atau jika dihitung konsumsi per kapita, meningkat dari 0,5 kg per tahun pada tahun 2000 menjadi 1,1 kg pada 2016. Bahkan kini, menurut Wakil Ketua AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) Pranoto Sunarto, angka konsumsi per kapita masyarakat pada 2017 naik menjadi 1,2 kg kopi dan pada 2018 diprediksi berada pada 1,4 – 1,5 kg kopi.

Jika di antara negara-negara pesaing utama eksportir kopi dunia diperbandingkan, maka potretnya ialah: pada 2015 Indonesia mengekspor sekitar 65% dari total produksinya. Jauh di bawah ekspor Vietnam (92%), Kolombia (88%), dan Brasil (73%). Ini mudah dipahami. Problem utamanya ialah bukanlah disebabkan terjadi penurunan produktivitas lahan-lahan kopi dan kualitas hasil biji kopi yang dihasilkan Indonesia. Jelas bukan karena itu.

Tapi, penurunan ekspor ini disebabkan terjadinya peningkatan permintaan kopi di dalam negeri. Selain jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, peningkatan jumlah konsumsi domestik ini tak terlepas dari perkembangan ekonomi Indonesia.

Ekonomi Indonesia yang tumbuh jelas mendorong terjadinya peningkatan pendapatan masyarakat. Muncul, tumbuh dan membesarnya kelas menengah urban ini jelas mendukung perubahan gaya hidup mereka. Ekonomi tak lagi semata berbasis pada soal pemenuhan kebutuhan, melainkan juga soal gaya hidup. Munculnya tren konsumsi kopi ialah produk dari ekonomi berbasis gaya hidup khususnya segmen kelas menengah perkotaan.

Ya, selama lima tahun terakhir, perbandingannya antara jumlah ekspor dan konsumsi domestik ialah, jika Indonesia mengekspor rata-rata 2 kg kopi maka untuk setiap 1 kg kopi dikonsumsi sendiri. Artinya tanpa adanya kenaikan produktivitas yang signifikan, maka dalam jangka panjang pertumbuhan kelas menengah dan peningkatan konsumsi kopi jelas akan membatasi potensi ekspor kopi itu sendiri.

Artinya, jika tujuan Indonesia ialah meningkatkan kuantitas ekspor menjadi negara eksportir ketiga menggeser posisi Kolombia, maka Indonesia harus mendorong kebijakan produktivitas secara besar-besaran. Selain melalui mekanisme standar budidaya tanaman kopi secara berkualitas, misalnya implementasi konsepsi “hijau”, juga peremajaan pohon-pohon kopi, dan, utamanya ialah melalui kebijakan ekstensifikasi lahan perkebunan secara cukup signifikan.

Kebijakan ini tentu mahal dan tidak semudah kebijakan untuk mendorong strategi kreatif secara optimum. Menggencarkan promosi dan branding atas produk kopi-kopi unggulan, serta mempopulerkan beberapa brand merek produk kopi lokal yang terbukti memiliki kualitas mutu yang baik dan citarasa yang telah teruji oleh pasar, atau mendorong riset untuk memunculkan berbagai produk turunan lainnya di sektor hilir dari industri kopi.

Harapannya ialah, ekspor kopi ke depan tidak lagi didominasi oleh bentuk ekspor biji kopi (green bean). Tapi, lebih dari itu, ekspor kopi telah mengambil bentuk produk hilir kopi dan berbagai produk turunannya, seperti ekspor kopi seduh dan kopi bubuk merek lokal, atau bahkan memproduksi parfum atau cream kulit beraroma kopi misalnya, dan lain-lain.

Kebijakan ini bukan hanya bakal memperpanjang mata rantai industri dan memperbesar kapasitas serapan tenaga kerja di sektor tersebut, melainkan lebih jauh juga memberi nilai tambah signifikan atas komoditas kopi itu sendiri.

Penting diingat, Indonesia memiliki aneka kopi unggulan yang sohor di dunia. Jenis kopi unggulan ini sering disebut 'kopi spesialti'. ‘Specialty coffee’ istilah ini berasal dari Amerika Serikat. Awalnya istilah ini digunakan untuk membedakan produk olahan kopi yang dijual di kedai-kedai kopi “bergengsi”, dengan maksud membedakan dari produk-produk kopi umum yang dijual di supermarket atau toko-toko pengecer lainnya.

Tapi, kini kopi spesialti bermakna kopi yang memiliki kualitas tinggi; juga bermakna kopi dengan latar belakang “tidak umum” atau memiliki “riwayat” khusus, sekaligus memiliki cita rasa yang spesial dan unik.

Indonesia memiliki banyak jenis kopi spesialti ini. Sebutlah misalnya Lintong Coffee, Mandheling Coffee, Gayo Mountain Coffee, Toraja Coffee, Kalosi Coffee, Kintamani Bali Coffee, Flores-bajawa Coffee, Baliem Highland Coffee (Papua Wamena), Java Estate Coffee, Java Preanger Coffee, Java 'Kopi Luwak‘ Arabica, dan Luwak Coffee.

Untuk jenis kopi yang terakhir ini, saking sohornya sebagai produk kopi spesialti, ternyata berhasil mencatatkan diri sebagai kopi termahal di dunia yang memiliki harga paling fantatis.