Sekalipun istilah batik berasal dari bahasa Jawa, menyederhanakan tradisi batik menjadi hanya bersumber pada etnis Jawa merupakan sebuah kesalahan tersendiri. Tradisi batik bukan hanya fenomena etnis Jawa, Tradisi itu tersebar di banyak daerah. Sebut saja, antara lain, di Aceh, Minahasa, Minangkabu, Batak, Nias, atau bahkan Papua.
Jadi, bicara tradisi batik sebenarnya juga bicara tradisi Nusantara. Sudah barang tentu, itu bukan terkait soal penamaan, tapi juga perihal ciri khas. Bahwa kemudian penamaan seni melukis dan mewarnai kain di daerah-daerah lain mengacu pada penamaan berbahasa Jawa, barangkali lebih disebabkan dominasi dan popularitas komoditas batik Jawa terhadap pasar.
Kuat dugaan, selain karena penyerapan bahasa Jawa menjadi bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia, bukan tak mungkin popularitas istilah batik seiring sejalan dengan fungsi terminologi ini sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) dalam dunia perdagangan. Sebagai fenomena industri, merujuk catatan Denys Lombard, laiknya rokok kretek, batik memang telah muncul di Jawa sejak paruh kedua abad ke-19, sebagai prototipe industri.
Walhasil, muncullah semacam konsensus tak tertulis. Bahwa, seni membuat corak atau gambar yang secara teknis menerakan lilin (malam) pada kain--sekalipun masing-masing etnis atau daerah di Indonesia memiliki corak karakteristik dan warna khas yang berbeda-- akhirnya disebut dengan nama yang sama, batik.
Penamaan batik sendiri agaknya lebih merujuk pada seni dan teknik pembuatannya. Secara etimologi, batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu ‘ngembat’ dan ‘titik’. Secara harfiah, itu dapat diartikan membuat titik. Masih dalam bahasa Jawa, proses pembuatan batik sendiri disebut sebagai ‘mbatik’. Maknanya ialah ‘ngêmban titik’. Mbatik bisa juga berarti ‘mbabaté sâkâ sithik’. Yang artinya, proses pembuatannya sedikit demi sedikit. Dalam prakteknya, membatik memang membutuhkan kesabaran, ketelitian, dan ketelatenan tersendiri.
Dari sisi etimologi, teknik membatik sendiri merepresentasikan proses pembuatan lukisan ornamentasi yang unik dan rumit. Baik dalam corak dan warna yang membentuk aneka rupa bentuk geometris tertentu, yang ditampilkan oleh sebuah motif batik tertentu.
Jumlah motif batik se-Nusantara itu sendiri diketahui sangatlah banyak. Bukan hanya soal ragam, tapi juga kekayaan corak. Pasalnya, hampir di semua daerah di tanah air ditemui adanya fenomena batik. Analisis dan inventarisasi yang dilakukan Bandung Fe Intitute dan Sobat Budaya menunjukkan, setidaknya terkumpul 5.849 motif batik.
Merujuk deskripsi UNESCO, batik sebagai intangible heritage memiliki keragaman motif yang mencerminkan adanya berbagai pengaruh dari budaya bangsa-bangsa lain. Mulai dari motif kaligrafi Arab, karangan bunga Eropa, phoenix Cina, bunga sakura Jepang, hingga motif burung merak, baik yang bercorak India ataupun Persia.
Demikianlah, fenomena budaya hibrida jelas tecermin dalam tradisi batik, yang ditetapkan UNESCO sebagai Indonesian Cultural Heritage, yaitu warisan budaya tak bendawi, pada 2 Oktober 2009. Dan adanya banyak pengaruh dari bangsa lain tentu berkorelasi erat dengan kesejarahan batik yang boleh dikata sangat panjang.
Sekalipun kata ‘batik’ berasal dari bahasa Jawa, ternyata sejarah kehadirannya di Jawa tidaklah tercatat. Terkait itu, ada beberapa tafsiran sejarah. Sebutlah tafsir GP Rouffaer and HH Juynboll dalam De Batik-Kunst in Nederlandsch-Indie en haar Geschiedenis, yang terbit pada 1914. Indonesianis ini mendalilkan, sejarah teknik batik berasal dari India atau Sri Langka dan masuk Indonesia kisaran abad ke-6.
NJ Krom juga menguatkan hipotesa bahwa batik berasal dari India. Meskipun begitu, GP Rouffaer and HH Juynboll juga memberikan catatan menarik. Bahwa motif gringsing setidaknya telah dikenal di Kediri (Jawa Timur) sejak abad ke-12. Pola seperti itu, menurut keduanya, hanya dapat dibentuk melalui alat canting.
Dalam buku itu juga dicatatkan, ukiran menyerupai pola batik telah ditemukan dipahat pada arca Prajnaparamita dari Jawa Timur, pada abad ke-13. Sedangkan seorang Indonesianis Belanda, JLA Brandes, mendalilkan posisi sebaliknya. Bahwa, bersama keris, gamelan, dan unsur-unsur budaya lainnya, batik senyatanya telah dikenal jauh hari bahkan sebelum Hindu dan Budha masuk Indonesia.
Hipotesa itu dikukuhkan oleh peneliti sejarah dari Indonesia, FA Sutjipto. Menurutnya, batik jelas tradisi asli Indonesia. Setidaknya, dia mengingatkan, batik juga ditemukan di Toraja, Flores, Halmahera, dan Papua. Di mana wilayah-wilayah itu bukanlah area yang secara kultural dipengaruhi kuat oleh bangsa India.
Bukan Desain Sederhana
Yang juga menarik dicatat di sini adalah temuan penelitian Bandung Fe Institute. Lembaga yang dimotori Hokky Situngkir itu selain berhasil meluncurkan Pohon Filomemetika atau Pohon Kekerabatan Batik-batik se-Nusantara, juga memberikan pemaknaan baru perihal logika dasar di balik pembuatan desain batik.
Menurut Bandung Fe Institute, lukisan ornamentasi dan dekorasi pada motif batik itu sesungguhnya bukanlah lukisan sederhana. Sebab pola ornamentasi dan dekorasi batik dilukis bukan dengan desain model geometri konvensional, melainkan justru telah dikerjakan melalui desain model geometri fraktal.
Geometri fraktal sendiri adalah cabang matematika yang baru ditemukan abad ke-20. Teori itu bermaksud mempelajari sifat-sifat dan perilaku fraktal. Kata fraktal dicetuskan pertama kali oleh Mandelbrot melalui artikelnya ‘A Theory of Fractal Set’ pada 1975. Bahasa Inggris ‘fraktal’ adalah fractal. Sedangkan akar kata fraktal berasal dari kata latin ‘frangere’ yang berarti terbelah menjadi fragmen-fragmen yang tidak teratur.
Fraktal merupakan bentuk geometris apa saja yang jika bagian-bagian penyusun dari sebuah bentuk itu skalanya diperbesar, akan terlihat bahwa bagian-bagian kecil yang menyusun bentuk geometris tertentu sebagai keseluruhan itu ternyata juga menduplikasi desain besar dari bentuk geometris tersebut sebagai modelnya. Itulah logika utama dari pembuatan pola ornamentasi pada motif batik.
Dengan demikian, membatik atau dalam bahasa Jawa ‘mbatik’, menurut Bandung Fe Institute, adalah hasil dari proses dan tahapan-tahapan pseudoalgoritmik. Bergerak lebih jauh, pola batik itu kemudian diterjemahkan dalam rumus fraktal atau matematik.
Lantas, dengan bantuan komputasi hasilnya rumusan fraktal itu dimodifikasi sebegitu rupa sehingga memungkinkan dihasilkan desain pola baru yang sangat beragam. Baik itu secara grafis, warna, ukuran, sudut, maupun bentuk perulangannya (iterasi).
Dengan begitu, proses pembuatan motif batik fraktal dipastikan dapat memecahkan keterbatasan motif, sekaligus juga dapat menghasilkan desain-desain kreasi baru tanpa sedikitpun keluar dari pola klasik dari penciptaan motif batik di masa lalu.
Menariknya lagi, hari ini sektor industri kreatif juga sudah bergerak ke arah sana. Sebuah software berinisial JBatik Fraktal pun sudah diluncurkan. Bicara soal harapan, peta jalan pelestarian tradisi batik sebagai amanah UNESCO kini tampak semakin benderang. Artinya, jikalau bicara soal langkah ke depan, seharusnya proyeksinya bukan hanya jadi tuan di negeri sendiri, melainkan bahkan go international.
Dan harapan itupun kini seharusnya juga menjadi lebih mudah dibayangkan bagi pengembangan kemajuan industri batik di tanah air.