Indonesia.go.id - Solidaritas Sosial dalam Sunat Poci dan Mantu Poci

Solidaritas Sosial dalam Sunat Poci dan Mantu Poci

  • Administrator
  • Senin, 16 September 2019 | 20:31 WIB
KULINER
  Macam-macam teh dari Tegal. Foto: Istimewa

Demikianlah potret lekatnya tradisi minum teh mengejawantah pada hajatan sunat poci dan mantu poci. Sayangnya, ritus sosial yang mencerminkan kuatnya solidaritas sosial dan hubungan timbal balik antarmasyarakat ini belum banyak dieksplorasi. Walhasil, ritus sosial ini hingga kini masih merupakan wacana subaltern, wacana yang tersembunyi dan nisbi tidak diketahui oleh khalayak luas.

Seperti telah diulas pada artikel sebelumnya, “Teh, sebuah Ikonik Kabupaten Tegal”, sulit untuk mengetahui secara historis sejak kapan persisnya minum teh telah menjadi tradisi kuliner masyarakat Tegal. Sekalipun demikian menarik disimak adanya ritual adat tertentu, yang notabenebe memiliki korelasi dengan poci. Adanya ritus sosial ini, membuat secara antropologis menjadi dapat disimpulkan tentang bagaimana kuatnya tradisi minum teh dalam masyarakat Tegal.

Bagi masyarakat Tegal poci atau teko tanah liat tidak hanya digunakan untuk minum teh, tapi juga digunakan sebagai tradisi menggelar hajatan bagi warga. Menarik dicatat di sini, selain tradisi sunat poci, masyarakat juga mengenal tradisi mantu poci.

Merujuk penelitian Syamsul Bakhri (2018), Resiprositas dalam Sunat Poci dan Mantu Poci Masyarakat Tegal, tradisi sunat poci terdapat pada masyarakat Desa Getaskerep, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal. Sedangkan, tradisi mantu poci ialah hajatan pernikahan yang telah mendarah daging bagi masyarakat di Desa Sidakaton, Sidapurna, Dukuhturi, Kupu, Lawatan, dan Kepandaian. Desa-desa itu terletak di Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, sebuah desa basis dari para pengusaha kuliner warteg.

Tradisi ini sangat menarik dan berbeda dengan tradisi hajatan di berbagai daerah lainnya. Bagaimana tidak, warga yang tidak memiliki keturunan atau anak tentu tidak bisa menyelenggarakan hajatan. Atau sekiranya mereka tetap menginginkan menggelar hajatan, maka sepasang suami istri tanpa anak itu akan menikahkan saudaranya atau menggelar sunatan anak dari saudaranya. Demikianlah, lazimnya tradisi hajatan di luar daerah Tegal.

Berbeda daripada itu. Masyarakat Tegal khususnya di daerah-daerah basis pengusaha kuliner warteg, bagi mereka yang tidak mempunyai anak, hajatan sunatan maupun mantu masih dimungkinkan dilakukan secara simbolik. Pertanyaannya ialah, apa makna dan fungsinya?

Masih merujuk artikel Bahkri, disebutkan bahwa masyarakat Tegal khususnya di daerah basis penguasaha kuliner warteg, memiliki tradisi saling menyumbangkan uang, barang, dan jasa kepada salah seorang warga atau kerabat yang tengah melakukan hajatan. Namun sumbangan itu bukanlah pemberian cuma-cuma. Sumbangan itu secara normatif harus mereka kembalikan pada saat seseorang yang pernah menyumbang tersebut nantinya bergantian melangsungkan acara hajatan bagi keluarganya.

Ya, bagi golongan ekonomi menengah ke bawah, mendatangi hajatan berarti juga sedang menitipkan uang, meski sifatnya tidaklah resmi. Orang yang berhajat dan pernah disumbang oleh para tamu itu berarti memiliki posisi berhutang. Dalam dialek bahasa Bayumasan Tegal disebut sebagai ‘kepotangan’. Hingga suatu saat nanti orang yang pernah menyumbang ini tentu akan gantian mengundang mereka jika keluarganya juga hendak hajatan. Lazimnya orang-orang yang diundang ialah mereka yang pernah kepotangan. Dengan begitu mereka pun harus datang ketika kini mereka tiba gantian sedang diundang. Dalam dialek Bayumasan Tegal disebut ’nyaur’.

Demikianlah, sunat poci merupakan tradisi melakukan hajatan sunatan pada keluarga yang tidak memiliki keturunan, namun juga tidak mengangkat anak. Ritus ini diadakan supaya sumbangan yang pernah mereka berikan kepada warga atau kerabatnya yang berhajat di masa lalu, kini bisa gantian mereka terima kembali sebagai bentuk sumbangan dari para tamu.

Mirip hajatan pada umumnya, sunat pjuga mengundang seluruh warga dan kerabat. Rumah dihias dengan ucapan selamat datang. Tak jarang di antara mereka juga menyiapkan sesaji berupa kopi hitam, susu putih, air putih, pisang raja, pisang susu, beras ketan, beras putih, dan kembang tujuh rupa.

Laiknya sunatan pada umumnya, keseriusan hajatan ini juga terlihat dari dipasangnya tratak di depan rumah untuk menambah kapasitas tamu. Selain itu, keluarga pengundang juga mempersiapkan jamuan tradisional seperti dodol, wajik, bongko, nogo sari, arem-arem dan lain-lain, hingga jamuan makan besar.

Acara inti sunat poci yaitu memajang poci terbuat dari tanah liat, yang ujungnya diikat dengan kain putih atau perban selayaknya alat vital anak laki-laki yang baru saja dikhitan. Poci tersebut dipajang di atas meja. Poci tersebut dipajang dan disaksikan oleh para tamu undangan dan kerabat keluarga pelaksana hajatan.

Laiknya sunatan pada umumnya, ritual sunat poci juga ditutup dengan sesi acara selamatan puji syukur dan memohon keberkahan bagi keluarga pelaksana hajatan. Tamu undangan juga akan mengeluarkan sumbangan, entah itu uang, barang atau jasa, bagi keluarga pelaksana hajatan sesuai dengan nilai yang dulu pernah diberikan oleh pihak keluarga tersebut kepada mereka.

Tak jauh berbeda ialah mantu poci. Masih merujuk artikel Bahkri, konon, dahulu kala ada sepasang calon pengantin yang berbuat nekat kabur dari Desa Sidakaton jelang pesta perkawinan mereka. Kedua mempelai ini tidak mau dijodohkan oleh kedua orang tuanya, alasannya mereka sudah mempunyai pilihan sendiri. Sehingga rencana pernikahan tersebut menjadi kacau.

Dalam kekacauan itu, ada seorang warga yang memberikan usul untuk menempuh perkawinan poci sebagai pengganti calon pengantin yang telah kabur. Usulan itu ternyata disambut dengan suka-cita, baik oleh pihak perempuan maupun dari pihak laki-laki. Itulah tutur cerita asal muasal mantu poci yang pertama.

Tradisi mantu poci pada awalnya dimaksudkan untuk meredam rasa malu karena calon pengantinnya kabur. Namun, akhirnya dalam makna yang berbeda, tradisi ini kemudian menyebar ke desa-desa tetangga di wilayah kecamatan Dukuhturi. Dari sumber lain, mantu poci diperkirakan muncul pada tahun 1930-an.

Mirip sunat poci, dalam perkembangannya tradisi mantu poci ini dimanfaatkan sebagai hajatan alternatif bagi pasangan keluarga yang tidak mempunyai anak. Tujuannya juga tidak jauh berbeda dari sunat poci. Selain sebagai ajang mendoakan sepasang suami istri supaya segera beroleh anak, tujuan lainnya ialah supaya sumbangan yang pernah mereka keluarkan bagi warga atau kerabatnya di masa lalu juga bisa kembali.

Singkat kata, hajatan mantu poci dilakukan laiknya tata cara hajatan pernikahan yang sesungguhnya. Perbedaannya mempelai pria dan wanita digantikan oleh sepasang poci. Untuk membedakan mana mempelai pria dan wanita, orang bisa melihat dari besar dan kecilnya poci yang dipajang di singgasana pengantin. Poci besar merupakan simbol mempelai pria, sedangkan yang kecil merupakan simbol mempelai wanita.

Sebelum nantinya Poci itu digunakan sebagai kotak sumbangan, Poci diberi rangkaian hiasan dari bunga melati dan diarak keliling desa. Baru kemudian, setelah itu, sepasang poci itu diletakkan di atas kursi yang telah dihias dan diapit oleh kedua orang tua.

Tak tanggung-tanggung, laiknya hajatan pernikahan sesungguhnya, acara mantu poci ini bisa digelar selama tiga hari berturut-turut. Sebelum acara ini digelar, keluarga yang menyelenggarakan mantu poci, jauh-jauh hari juga sudah mendata jumlah titipan sumbangan yang pernah mereka berikan kepada warga atau kerabat yang dulu menggelar hajatan.

Laiknya tata cara menghadiri acara pernikahan sesungguhnya, ritual mantu poci juga mengenal tradisi “buka sumbangan”. Di sini sengaja nilai dari sumbangan tersebut disebutkan di depan umum bukanlah untuk melecehkan keberadaan para penyumbang, melainkan sekadar untuk mengetahui seberapa besar sumbangan yang harus dikembalikan oleh para tamu kepada keluarga pengundang hajatan.

Dalam sistem nilai-nilai masyarakat Tegal, khususnya yang bekerja di sektor kuliner warteg, apabila mereka yang diundang tidak hadir dan tidak mengembalikan sumbangan yang pernah diberikan oleh keluarga pemilik hajat, maka sudah tentu mereka bakal mendapatkan sanksi moral. Sudah tentu bakal jadi bahan pergunjingan dan olok-olok oleh masyarakat setempat.

Demikianlah potret lekatnya tradisi minum teh dalam masyarakat Tegal, yang mengejawantah pada hajatan sunat poci dan mantu poci. Sayangnya hingga saat ini, ritus sosial yang mencerminkan kuatnya solidaritas sosial antar masyarakat ini belum banyak dieksplorasi. Ritus sosial sunat poci dan mantu poci hingga kini masih merupakan wacana subaltern, wacana yang tersembunyi dan tidak diketahui oleh khalayak luas. (W-1)