Suku Sasak di Lombok mengenal tradisi bau nyale, yaitu memburu cacing-cacing laut aneka warna dan diyakini sebagai jelmaan Putri Mandalika yang menceburkan diri ke laut karena menolak pinangan banyak pangeran.
Mentari baru beberapa jam menjejak peraduannya dan serangga malam telah menyelesaikan bait-bait indah konser rutin. Namun kelap-kelip ribuan cahaya itu belum juga menyingkir dari bibir permukaan air asin tepian karang terjal di antara riak deburan ombak. Mereka bukanlah kunang-kunang bercahaya, melainkan ribuan warga yang telah memenuhi segenap permukaan garis pantai yang panjangnya tak lebih dari 500 meter.
Mereka menyebar, ada yang memilih tepi bebatuan pantai, meski tak sedikit pula yang membenamkan separuh badannya di bibir pantai. Sejauh mata melayangkan pandang, nyaris sulit menemukan ruang kosong sekadar untuk menjejak kaki karena warga sudah mengisinya.
Tersemat juga alat penerang aneka bentuk bak cahaya kunang-kunang tadi. Ada yang digenggam erat kedua tangan atau diikatkan di kepala, seolah sejoli tak ingin melepaskan diri. Bukan hanya alat penerang. Seolah sudah diperintah, ribuan orang inipun menenteng wadah atau ember, jaring penangkap ikan aneka rupa dan warna-warni jaket serta kardigan penghalau dinginnya malam. Tak sedikit pula yang membiarkan tubuh mereka terjamah dinginnya embusan angin malam, karena hanya bermodal pakaian tipis melekat di tubuh.
Sekuat tenaga mereka kalahkan kantuk malam itu, meski sang waktu telah mengingatkan satu jam lagi hari segera berganti. Malam itu mereka berharap pada satu janji seorang putri cantik untuk memunculkan diri. Tak berselang lama, dari sela-sela bebatuan karang terjal dan tajam siap melukai kulit, bermunculan cacing aneka warna. Ada merah, kuning, hijau, abu-abu, dan cokelat seolah ingin mencontek warna pada pelangi.
Kemunculannya bak komando bagi warga. Dengan seluruh perlengkapan yang dibawa, para warga itu serentak mengejar dan menjaring jutaan cacing laut. Tua muda, perempuan laki-laki, besar kecil, anak-anak hingga dewasa, begitu bersemangat untuk mendapatkan hewan tak berkaki dan bertangan ini menggunakan jaring. Ember dan aneka wadah menjadi tempat untuk menampung hasil buruan.
Kisah Putri Mandalika
Inilah bau nyale, sebuah tradisi lama milik masyarakat Sasak, suku terbesar di Lombok, pulau seluas 4.725 kilometer persegi (km2) dengan garis pantai sepanjang 1.364 kilometer (km) dan menjadi bagian penting dari Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Dalam bahasa Sasak, bau artinya menangkap dan nyale adalah cacing laut. Bau nyaleadalah aktivitas masyarakat untuk menangkap cacing laut yang dilakukan setiap tanggal 20 bulan 10 dalam penanggalan tradisional Sasak (pranata mangsa) atau tepat 5 hari setelah bulan purnama. Umumnya, antara bulan Februari dan Maret setiap tahunnya.
Masyarakat setempat percaya kalau nyale adalah jelmaan Putri Mandalika, anak pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting dari Kerajaan Tonjang Beru dalam hikayat kuno Sasak. Putri Mandalika diceritakan sebagai sosok cantik yang diperebutkan oleh banyak pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok seperti Kerajaan Johor, Lipur, Pane, Kuripan, Daha, dan Beru.
Tak ingin terjadi kekacauan di kemudian hari jika ia memilih salah satu di antaranya, Putri Mandalika pun menolak semua pinangan itu dan memilih mengasingkan diri. Akhirnya Putri Mandalika memutuskan untuk mengundang seluruh pangeran beserta rakyat di Pantai Kuta, Lombok pada tanggal 20 bulan 10, tepatnya sebelum Subuh. Seluruh undangan berduyun-duyun menuju lokasi.
Putri Mandalika yang dikawal ketat prajurit kerajaan muncul di lokasi. Kemudian dia berhenti dan berdiri pada sebuah batu di pinggir pantai. Tak lama, ia pun terjun ke dalam air laut dan menghilang tanpa jejak. Seluruh undangan sibuk mencari, namun mereka hanya menemukan kumpulan cacing laut yang kemudian mereka percayai sebagai jelmaan Putri Mandalika.
Pemijahan Massal
Menurut W Kastoro dalam Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, nyale dikategorikan sebagai Fillum annelida atau keluarga cacing-cacingan dari kelas Polychaeta. Di Pulau Lombok, terdapat 25 famili Polychaeta, di antaranya famili Eunicidae dan Nereidae. Dalam pantauan penelitian yang dilakukan pada 1993 silam itu, peneliti yang saat itu bekerja pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut, bau nyale sejatinya adalah peristiwa pemijahan massal (swarming)Polychaeta.
Pemijahan massal setahun sekali ini melibatkan jutaan ekor nyale di selatan Lombok, yaitu di Pantai Seger, Desa Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah. Pantai Seger dengan hamparan pantai berkarang dan laut dangkalnya menjadi rumah paling nyaman bagi nyale untuk berkembang biak dan berlindung dari para predator alami.
Dalam 1 meter persegi (m2) saja, populasi nyale dapat mencapai 67 ekor dari 11 famili. Peristiwa pemijahan massal para nyale hanya terjadi di Pantai Seger dan berlangsung setahun sekali saja. Dalam jumlah lebih kecil, 34-40 ekor per m2, nyale juga dapat ditemukan di kawasan Pantai Tampes (Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara), Pantai Padak (Kecamatan Pringgabaya, Kabupaten Lombok Timur) dan Pantai Kandangan (Kecamatan Gunung Sari, Kabupaten Lombok Barat).
Pepes Nyale
Bagi sebagian orang nyale bukanlah sekadar cacing laut. Nyale merupakan hidangan yang istimewa bagi warga Lombok. Hasil tangkapan nyale itu acap mereka jadikan pepes nyale yang dibakar dengan daun pisang.
Nyale pepes seukuran 250 gram ini pun kerap dijual di tepi jalan Lombok seharga Rp35 ribu-Rp50 ribu dan tak pernah sepi peminat. Nyale juga bisa dijadikan bokosuwu, sejenis sambal pedas berbahan nyale mentah. Agar mengusir amis si cacing laut, sambal pedas ini ditabur perasan jeruk purut dan daun kemangi.
Tak hanya sambal, nyale juga diolah menjadi kuah santan nyale. Ada pula disangrai dengan campuran kelapa parut, bawang merah, bawang putih, jahe, daun kemangi, perasan jeruk limai dan cabai lombok. Kudapan nyale yang diolah dengan cara digoreng tanpa minyak tersebut namanya nyale pa’dongo.
Rupanya ia mengandung protein tinggi, hingga sebanyak 43,84 persen, mengalahkan telur ayam (12,2 persen) dan susu sapi (3,5 persen). Begitu juga kadar fosfor dalam nyale sebesar 1,17 persen masih cukup tinggi jika diadu dengan telur ayam (0,02 persen) atau susu sapi (0,10 persen).
Uniknya lagi, kandungan kalsium sebesar 1,06 persen pada tubuh nyale ternyata masih lebih tinggi dari kandungan kalsium susu sapi yang hanya 0,12 persen. Menurut Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University Sri Purwaningsih, nyale juga berkhasiat sebagai antidiabet alami.
Di Tiongkok Selatan, ekstrak nyale bahkan telah lama digunakan sebagai obat tradisional untuk pengobatan penyakit tuberkulosis, pengaturan fungsi lambung dan limpa, serta pemulihan kesehatan yang disebabkan oleh patogen. Zat antibakteri pada nyale, terutama dari famili Eunicedae, memiliki daya hambat terhadap kuman patogen seperti Proteus vulgaris, Escherichia coli, Streptococcus pyogenes, dan Helicobacter pylori.
Air bekas cucian dan ekstrak nyale juga diyakini masyarakat Sasak dapat menyuburkan lahan pertanian mereka. Kemunculan nyale juga dijadikan pertanda bagi petani-petani Sasak akan berakhirnya musim hujan dan bersiap menuju musim kemarau. Artinya selama musim kemarau mereka tak lagi menanam padi hingga kembalinya bau nyale.
Dengan segala keunikannya ini Pemerintah Provinsi NTB telah mengemas tradisi unik masyarakat Sasak ini dalam sebuah agenda pariwisata tahunan. Ketika Festival Pesona Bau Nyale diadakan Dinas Pariwisata NTB di Pantai Seger pada 2019 atau setahun sebelum pandemi Covid-19 terjadi, sekitar 3.000 turis asing menyaksikan kegiatan yang berlangsung selama lima hari. Beragam aktivitas digelar, mulai dari lomba surfing membelah tingginya ombak di Pantai Mandalika dan bau nyale di Pantai Seger hingga pawai budaya Sasak di Praya, Lombok.
Pantai Seger sendiri masuk dalam Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, satu di antara lima destinasi superprioritas pariwisata Indonesia selain Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), Borobudur (Jawa Tengah), Likupang (Sulawesi Utara), dan Danau Toba (Sumatra Utara). Pada masa pandemi ini, bau nyale tetap berlangsung meski festivalnya diistirahatkan untuk sementara hingga berakhirnya pandemi.
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari