Pengadaan biosolar Mandatory B20 bukan hanya sebatas kembang bibir. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan terus berupaya agar ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) berupa solar bercampur biodiesel dari kelapa sawit itu tersedia lebih banyak, bisa diproduksi dengan biaya lebih murah, dan berkualitas lebih baik.
Maka, rantai produksi biosolar kini sudah bergulir sampai ke kilang Pertamina di Plaju, Palembang. Dengan didampingi Dirut Pertamina Nicke Widyawati, Menteri Jonan meninjau persiapan produksi perdana biosolar, yang berpredikat green fuel alias bahan bakar ramah lingkungan tersebut, medio Januari lalu. "Kita patut memberikan apresiasi pada Pertamina yang konsen terhadap produk bahan bakar ramah lingkungan dan berasal dari renewable resources," kata Jonan.
Biodiesel yang ditambahkan ke minyak solar itu memang renewable karena berasal dari minyak sawit. Melalui proses transesterifikasi, pada industri khusus yang disebut Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BUBBN), minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) diubah menjadi biodiesel, yang sifat kimia dan fisiknya mirip nyaris serupa dengan solar turunan minyak bumi. Di dunia industri, biodiesel itu sering punya disebut sebagai Fatty Acid Methyl Ester (FAME).
Dalam kebijakan Mandatory B-20, yang diputuskan lewat Peraturan Presiden (Perpres) nomor 66/2018 yang diterbitkan Agustus lalu, pemerintah mewajibkan agar penyediaan minyak solar dalam negeri harus dalam bentuk campuran biodiesel dengan solar dalam proporsi blending 20 : 100 - alias B-20. Itulah yang disebut biosolar.
Perpres tersebut juga memperluas sasaran konsumsi biosolar, dari yang sebelumnya hanya sebatas untuk PSO (public service obligation) dengan harga subsidi. Yang tergolong PSO adalah segala mesin diesel untuk kepentingan umum seperti kereta api, pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), kapal perintis dan sejenisnya, Perpres baru itu pun menyasar keperluan yang lebih luas (non-PSO) seperti mobil pribadi, kendaraan umum, kendaraan berat untuk usaha, bahkan kendaraan militer.
Dengan begitu, diperlukan biosolar dalam jumlah lebih besar. Hal ini memang dimaksudkan untuk menampung produk CPO dan biodiesel nasional yang meruah, sementara pasar internasional tidak kunjung ramah.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548748999_110446_620.jpg" style="height:355px; width:620px" />
Deretan sejumlah truk. Sumber foto: Antara Foto
Ada gerakan antiminyak sawit dengan segala turunannya asal Indonesia dan Malaysia, di Uni Eropa, karena areal kebunnya dianggap menggusur hutan alam tropis. Karenanya CPO dari kedua nagra ini dipersulit masuk ke pasar Uni Eropa. Di India, produk CPO asal Indonesia dikenai bea masuk tinggi, karena urusan neraca-perdagangan.
Maka, Kebijakan Mandatory B-20 ini punya sasaran ganda. Selain menggenjot konsumsi renewable fuel, B-20 juga menyerap hasil industri CPO (terutama dalam bentuk biofuel). Di Indonesia saat ini produksi CPO mencapai lebih dari 40 juta ton per tahun, dan pabrik-pabrik biofuel (FAME) yang ada kapasitas produksinya sudah mendekati 9 juta ton.
Perlahan industri biosolar tumbuh di Indonesia. Toh, belum cukup cepat untuk menyerap limpahan produk CPO yang ada. Walhasil, sepanjang semester 2 tahun 2018 hingga awal 2019 ini, harga buah sawit di tingkat petani masih rendah, yakni sekitar Rp600 per kg tandan buah segar (TBS).
Maka, produksi biosolar di instalasi Pertamina Refinery Unit (RU) III Plaju itu merupakan percepatan langkah menuju kecukupan green fuel, selain menyelamatkan harga CPO dan buah sawit. Tak hanya di Plaju, biosolari juga akan diproduksi di Kilang Pertamina Dumai, Balongan, Cilacap, dan Balikpapan.
Sesungguhnya, blending biodisel sawit dengan solar itu dapat dilakukan di banyak tempat. Di depot-depot BBM, bahkan di stasiun pompa bensin (SPBU). Tinggal dicampur dan diaduk beres. Tapi, mutu campurannya berbeda dan biayanya lebih. Sistem injeksi di Plaju dengan kontrol temperatur segala, membuat mutu campuran lebih bagus, lebih homogen.
Dari sisi biaya, produksi di UR III Plaju itu lebih ekonomis, dibanding di depot Pertamina atau pun di SPBU yang harus mengangkut dan mengemas solar serta biodiesel secara terpisah. Di instalasi Plaju keduanya dikirim dalam jumlah besar, di-blending, lalu didistribusikan dengan tanker atau jaringan pipa.
Produksi biosolar di RU III Plaju itu mencapai 180.000-200.000 kiloliter (KL) per bulan. Prioritasnya untuk kebutuhan Sumatra Selatan dan Lampung. Kelebihannya dipasok ke daerah lain. Kehadiran industri biosolar Plaju itu juga akan memangkas impor solar 7.360 barel solar per harinya. Dengan adanya selisih harga yang ada, biosolar dari Plaju itu akan membuat Pertamina menghemat Rp2,3 triliun per tahun.
Bukan saja lebih kompetitif pada harga, secara umum campuran biodiesel (FAME) dalam biosolar juga bisa meningkatkan kinerja mesin. Uji coba Pertamina atas kinerja biosolar B-2 menunjukkan adanya kenaikan cetane number ke 50, dari angka 48 pada solar murni.
Makin tinggi cetane number berarti makin sempurna pembakaranya. Kerapatan energi per volume juga makin besar. Selain itu, campuran FAME otomatif menurunkan sulfur (bawaan Solar) produk biosolar tersebut. Alhasil, residu pencemar seperti SOx menurun kadarnya dari cerobong knalpot. Sementara itu, berkurangnya sulfur tak berakibat buruk pada efek pelumasannya. Pasalnya, viskositas FAME itu lebih tinggi dari minyak solar dan itu membantu pelumasan mesin.
Biosolar B-20 itu sudah diedarkan sejak 2014. Namun, karena konsumsinya lebih banyak untuk PSO, produksi biodiesel (FAME) masih sekitar 3 juta KK. Namun, seiring lonjakan harga minyak dunia, pemakaian biodiesel ini semakin menggeliat. Diperkirakan produksi 2018 lalu mencapai 6 juta KK. Sebanyak 4 juta KK digunakan untuk Biosolar B-20 dan lebihnya diekspor. Hasilnya, penghematan devisa yang setara Rp28,6 triliun.
Peemerintah terus tancap gas. Tahun 2019 ini ditargetkan hasil produksi biodiesel oleh Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (swasta) itu sebesar 6,2 juta KL. Dari jumlah itu, dua per tiganya untuk biosolar B-20 dan selebihnya diekspor. Diharapkan dari bisnis ini akan tercatat penghematan devisa sebesar USD 4 miliar, atau sekitar Rp42 triliun. (P-1)